Site icon Parade.id

Sikap FH UII terhadap Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK

Foto: logo Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum (PSHK FH) UII, dok. istimewa

Jakarta (parade.id)- Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), melalui Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) mengeluarkan sikap terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertama, FH UII menyatakan bahwa seharusnya putusan MK tersebut tidak dapat berlaku untuk pimpinan KPK pada periode saat ini, karena lekat dengan pemberlakuan asas non-retroaktif yang mana hukum tidak dapat berlaku surut, sehingga, pemberlakukan Putusan MK dapat dilaksanakan pada periode selanjutnya saat masa periode ini berakhir.

“Di samping itu, pemberlakuan perpanjangan masa jabatan KPK ke depan juga guna menjaga MK dari pandangan masyarakat terhadap dugaan adanya kepentingan politis dengan pimpinan KPK saat ini,” demikian bunyi sikap FH UII, belum lama ini.

Kedua, FH UII menyatakan sikap bahwa pengubahan masa jabatan yang semula empat tahun menjadi lima tahun pada substansinya menekankan mengenai penetapan KPK menjadi lembaga eksekutif.

“Akan tetapi, hal ini dinilai tidak substansial karena tidak ada sangkut pautnya antara penetapan KPK menjadi lembaga eksekutif dengan masa jabatan pimpinan KPK. Selain itu, masa jabatan empat tahun pimpinan KPK bukan hal yang inkonstitusional, sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi pada Pasal 7 bahwa ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’, sehingga dalam dalam konstitusi yang memiliki masa jabatan lima tahun sejatinya adalah presiden bukan pimpinan KPK.”

Ketiga, FH UII menilai MK kurang memperhatikan implikasi Putusan 112/PUU-XX/2022 secara komprehensif berkaitan dengan perubahan masa jabatan pimpinan KPK yang merupakan lembaga negara independen terhadap penyelenggaraan negara, antara lain:

1) pengaruhnya terhadap independensi KPK sebagai lembaga negara independen yang mempunyai fungsi untuk pemberantasan korupsi,
2) Pengaruh terhadap lembaga negara independen lainnya yang mempunyai masa jabatan pimpinan yang sama.
3) Implikasi terhadap positive legislature, pada hal ini MK dinilai terlalu jauh masuk ke ranah legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan masa jabatan pimpinan lembaga negara independen.

Keempat, FH UII menyinggung indeks korupsi di Indonesia masih sangat tinggi di mana hal ini berarti bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia sangat bermasalah.

“Keberadaan pimpinan dalam suatu lembaga tentu akan mempengaruhi terkait dengan penyelenggaraan kewenangan lembaga tersebut. Bahkan, pimpinan KPK yang saat ini mempunyai beberapa permasalahan mengenai dugaan pelanggaran kode etik. Apabila dilihat dari track record pimpinan KPK saat ini, maka tidak seharusnya terdapat perpanjangan masa jabatan yang berlaku di periode ini.”

Terhadap beberapa catatan di atas, PSHK FH UII merekomendasikan: Pertama, kepada pembentuk undang-undang untuk segera melakukan perubahan Undang-Undang tentang KPK mengenai masa jabatan pimpinan KPK yang semula empat tahun menjadi lima tahun yang dapat diberlakukan pada periode selanjutnya.

Kedua, kepada KPK, untuk tetap focus terhadap tugas dan wewenang yang diberikan dalam Undang-undang yakni melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan menghindari berbagai penyalahgunaan wewenang.

Sebelumnya, MK dalam Putusan 112/PUU-XX/2022 menetapkan bahwa masa jabatan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semula 4 (empat) tahun menjadi 5 (lima) tahun. Hal ini dinilai karena masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun adalah inkonstitusional dan dianggap diskriminatif jika dibandingkan dengan ketua lembaga Negara independen lainnya yang memiliki masa jabatan lima tahun.

Namun, persoalan ini menjadi sorotan dan perdebatan terkait dengan kewenangan MK dalam menetapkan masa jabatan ketua KPK tersebut.

(Rob/parade.id)

Exit mobile version