Site icon Parade.id

Simposium Nasional: Peta Jalan Reformasi Hukum Perburuhan di Indonesia

Foto: dok. istimewa

Jakarta (parade.id)- Simposium Nasional: Peta Jalan Reformasi Hukum Perburuhan di Indonesia yang dihadiri Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea; Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal; dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rositta Silaban, bersama menyampaikan poin-poin terkait UU Cipta Kerja.

Pertama, keberadaan UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU No. 11 tahun 2020 yang diinisiasi oleh Pemerintah, sejak awal ditolak oleh Serikat Buruh/Serikat Pekerja karena secara nyata mengurangi dan menghilangkan hak-hak buruh/pekerja Indonesia terkait penetapan upah minimum, tenaga kerja alih daya atau outsourcing, pembayaran pesangon, ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan lain sebagainya.

Kedua, Komite Aplikasi Standar (Committee on the Application of Standards) pada Konferensi Perburuhan International (International Labour Conference) di Jenewa, Swiss, tanggal 5-16 Juni 2023, dalam kesimpulannya terkait pelaksanaan Konvensi ILO No. 98 tentang hak berorganisasi dan berunding bersama di Indonesia, pada tanggal 13 Juni 2023, menilai dan menyimpukan bahwa UU Cipta Kerja/Omnibus Law secara nyata bermasalah dan karenanya mendesak Pemerintah RI segera melakukan tindakan-tindakan efektif dan dalam kurun waktu yang ditentukan (time bound) oleh Komite Aplikasi standar untuk:

Ketiga, pada tanggal 11 Juli 2023, KSPSI, KSPI dan KSBSI menyurati Menteri Tenaga Kerja RI terkait tindaklanjut atas kesimpulan Komite Aplikasi Standar dan meminta Pemerintah untuk segera melibatkan mitra sosial dalam menyusun peta jalan (road map) reformasi Undang Undang Ketenagakerjaan, termasuk didalamnya UU Cipta Kerja No.6/2023 dan sejumlah peraturan pelaksananya dan merumuskan usulan-usulan terkait bantuan teknis dari ILO, namun sampai saat ini, surat tersebut, tidak ditanggapi oleh Pemerintah. Sebaliknya, Pemerintah melakukan serap aspirasi dengan beberapa serikat buruh/serikat pekerja terkait PP No. 35 tahun 2021 dan PP No. 36 tahun 2021 dan menentukan komposisi Lembaga Tripartite Nasional secara sepihak dan tanpa berkonsultasi dengan Konfederasi terbesar di Indonesia. Kedua hal tersebut, secara jelas tidak sejalan dan terkait langsung dengan kesimpulan Komite Aplikasi Standar.

“Terkait dengan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera menindaklanjuti kesimpulan dan rekomendasi Komite Aplikasi Standar ILO untuk meninjau kembali dan mengamandemen Undang Undang yang terkait dengan Ketenagakerjaan, termasuk didalamnya Undang Undang Cipta Kerja sesuai dengan standard-standar Perburuhan Internasional. Dan dengan segera, meminta bantuan teknis dari Lembaga Perburuhan Internasional (ILO) dan melibatkan mitra sosial, secara khusus Serikat Pekerja/Serikat Buruh terbesar di Indonesia seperti KSPSI, KSPI dan KSBSI,” demikian keterangan pers bersama, kepada media.

Mereka juga secara tegas menyatakan bahwa Undang Undang Cipta Kerja secara khusus kluster ketenagakerjaan harus dibatalkan karena secara nyata membawa kesengsaraan kepada buruh/pekerja di Indonesia dan akan terus melakukan upaya perlawanan baik secara hukum maupun aksi/demonstrasi terhadap undang-undang tersebut beserta ketentuan turunannya.

Atas pembentukan dan penentuan komposisi Lembaga Tripartite Nasional yang dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah dan tanpa berkonsultasi dengan Konfederasi Serikat Buruh/Serikat Pekerja terbesar (the most representative) seperti KSPSI, KSPI dan KSBSI tidak dapat diterima keberadaannya, karena bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam Konvensi ILO No. 144 mengenai Konsultasi Tripartit.

Sehubungan dengan langkah serap aspirasi terhadap perubahan PP No. 35 tahun 2021 dan PP No. 36 tahun 2021 ataupun serap aspirasi terhadap perubahan ketentuan turunan dari Undang Undang Cipta Kerja yang dilakukan oleh Pemerintah pada bulan Juli 2023, tidak dapat diterima dan dipakai sebagai alat legitimasi atau dikaitkan dengan tindaklanjut dari kesimpulan komite Aplikasi Standar.[]

Exit mobile version