Site icon Parade.id

Singapura Resesi, Seberapa Besar Ancamannya Bagi RI?

Jakarta (PARADE.ID)- Singapura telah dilanda resesi karena perekonomiannya minus dua kuartal. Pada kuartal I-2020 ekonomi Singapura juga telah mengalami kontraksi hingga 2,2% secara tahunan. Pada kuartal II tahun ini ekonomi Singapura terperosok dan mengalami kontraksi hingga 41,2%. Secara tahunan ekonomi Singapura mengalami kontraksi hingga 12%.

Bahkan, pada akhir Juni lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa kali mengingatkan para menterinya soal ancaman tersebut, melihat prediksi krisis ekonomi global yang berada di depan mata akibat pandemi COVID-19.

Melihat Singapura sebagai negara tetangga sudah mengalami resesi, bagaimana ancamannya terhadap Indonesia?

Menurut Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, dengan resesi Singapura sudah seharusnya Indonesia mulai waspada. Apalagi jika negara-negara lain sebagai pasar terbesar Indonesia ikut terseret ke jurang resesi akibat ganasnya dampak pandemi Corona terhadap perekonomian. Ia pun menyarankan Indonesia pasang mata dengan kondisi perekonomian negara-negara seperti China, Amerika Serikat, Jepang, dan India.

“Kalau sisa 4 negara sudah resesi, ya sudah kita terdistorsi dari banyak hal,” kata Tauhid, Sabtu (18/7/2020).

Menurut Tauhid, tak hanya perdagangan Indonesia dengan ke-4 negara tersebut, tapi juga sektor investasi dan pariwisata turut kena imbasnya.

“Dari sisi perdagangan, pasti volume dari neraca perdagangan kita turun. Kedua investasi, saya kira orang nggak akan bilang investasi negara luar, pasti bicara bagaimana mengamankan kantongnya sendiri di negaranya, karena pasti banyak investor mereka yang rugi. Ketiga pariwisata, walaupun ada yang masih kaya siapa yang mau bepergian terutama ke Indonesia? Padahal negara-negara tersebut menyumbang ke pasar kita besar sekali,” urai Tauhid.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat, kondisi resesi di Singapura tak akan berdampak langsung dan menyeret Indonesia ke jurang resesi. Pasalnya, perekonomian Indonesia bergantung pada konsumsi dalam negeri, bukan perdagangan internasional layaknya Singapura.

Namun, ia menyoti penanganan Pemerintah dalam perbaikan perekonomian yang bergantung pada konsumsi dalam negeri itu. Menurutnya, hal yang perlu diwaspadai itu ialah bukan resesi atau tidak, tetapi kondisi perekonomian Indonesia itu sendiri.

“Jadi nggak usah resesi atau tidak. Yang jelas ada kontraksi perekonomian. Kalau bicara resesi itu kan hanya masalah teknis. Yang penting pertumbuhan ekonomi yang cukup, dan apa yang bisa dirasakan masyarakat,” jelas Yose

Sayangnya, ketika perekonomian Indonesia masih di angka 2,97% pada kuartal I-2020, dampaknya pada masyarakat sudah terasa yakni peningkatan angka kemiskinan.

“Waktu ekonomi di kuartal satu cukup baik 2,97%, itu saja angka kemiskinan meningkat. Jadi itu ada kenaikan angka kemiskinan. Bagaimana bisa kalau pertumbuhan ekonomi bisa turun diprediksi 5%, negatif, kontraksi, berapa banyak orang yang akan menjadi miskin? Berapa banyak orang yang akan kehilangan pekerjaan?” tegas Yose.

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka penduduk miskin mengalami peningkatan. Per Maret 2020 jumlah penduduk miskin tercatat 26,42 juta bertambah 1,63 juta orang terhadap September 2019.

(Detik/PARADE.ID)

Exit mobile version