#AdianHusaini Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/adianhusaini/ Bersama Kita Satu Thu, 13 Aug 2020 12:04:43 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.2 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg #AdianHusaini Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/adianhusaini/ 32 32 Perlu Ilmu dan Hikmah untuk Berjuang https://parade.id/perlu-ilmu-dan-hikmah-untuk-berjuang/ https://parade.id/perlu-ilmu-dan-hikmah-untuk-berjuang/#respond Thu, 13 Aug 2020 12:04:43 +0000 https://parade.id/?p=5746 Jakarta (PARADE.ID)- Dalam melakukan perjuangan umat Islam Indonesia diperlukan ilmu dan hikmah. Ilmu dan hikmah itulah yang diberikan Allah kepada para Nabi dan orang-orang tertentu, sehingga mereka bisa melaksanakan aktivitas kehidupan dan perjuangannya dengan benar dan tepat. Ingatlah kisah Nabi Yusuf a.s. Beliau sukses dalam menjalani aneka ujian kehidupan dan bahkan kemudian berhasil memegang posisi […]

Artikel Perlu Ilmu dan Hikmah untuk Berjuang pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Dalam melakukan perjuangan umat Islam Indonesia diperlukan ilmu dan hikmah. Ilmu dan hikmah itulah yang diberikan Allah kepada para Nabi dan orang-orang tertentu, sehingga mereka bisa melaksanakan aktivitas kehidupan dan perjuangannya dengan benar dan tepat.

Ingatlah kisah Nabi Yusuf a.s. Beliau sukses dalam menjalani aneka ujian kehidupan dan bahkan kemudian berhasil memegang posisi yang sangat tinggi dalam pemerintahan di Mesir. Nabi Yusuf dididik langsung oleh ayahnya sendiri dan meraih hikmah dalam pengalaman kehidupannya yang sangat dinamis.

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيْنَٰهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ

“Dan ketika dia telah cukup dewasa Kami berikan kepadanya kearifan dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Yusuf: 22). (Dalam terjemah al-Quran terbaru oleh Kementerian Agama, kata “hukman” diterjemahkan dengan “kearifan”).

Dakwah Islam di Indonesia ini telah berlangsung selama ratusan tahun, sejak abad ke-7 M. Secara umum, dakwah di Indonesia meraih sukses yang sangat besar, karena berhasil menjadikan negeri yang semula 100 persen penduduknya bukan muslim, kemudian menjadi hampir 100 persen muslim.

Lebih hebat lagi, negeri seluas ini, seberagam ini dalam suku dan bahasa, berhasil disatukan dengan satu agama dan satu bahasa (Melayu). Ini bukan pekerjaan biasa. Ini adalah pekerjaan fantastis yang dilakukan oleh orang-orang hebat, khususnya para auliya dan ulama-ulama hebat.

Selama ratusan tahun, para ulama pejuang di Nusantara menyebarkan Islam dengan ilmu dan hikmah (dengan ilmu dan kebijakan/kearifan). Karena itu, generasi berikutnya, perlu memahami sejarah dakwah di Nusantara ini dengan baik. Jangan sampai dalam berjuang mengecilkan peranan dan keilmuan para ulama di Nusantara ini.

Misalnya, dalam soal pemikiran tentang kenegaraan. Para ulama Nusantara telah sangat memahami masalah ini. Sebagai contoh, dalam Muktamar NU ke-11, di Banjarmasin, 19 Rabi’ulawwal 1355 H (9 Juni 1936 M), dibahas satu masalah bertajuk: “Apakah Negara Kita Indonesia Negara Islam?” Ditanyakan, “Apakah nama negara kita menurut Syara’ agama Islam?” Jawabnya: “Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan “Negara Islam” karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama Negara Islam tetap selamanya.” Muktamar juga memutuskan, bahwa wilayah Betawi (Jakarta) adalah “dar-al-Islam”, begitu juga sebagian besar wilayah Jawa.

Mengutip Kitab Bughyatul Mustarsyidin bab “Hudnah wal-Imamah” dijelaskan: “Semua tempat dimana Muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam (Dar-al-Islam.pen.) yang ditandai berlakunya syariat Islam pada masa itu. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan “daerah perang” (dar-al-harb.pen.) hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa Tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Tanah Jawa adalah “Daerah Islam” karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan oleh orang-orang kafir.”) (Lihat buku “Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004)”, terbitan LTN-NU Jawa Timur, cetakan ketiga, 2007, hlm.176-177).

Para ulama dan pemimpin Islam di Indonesia pun sangat memahami kondisi Kekhalifahan Turki Utsmani, sebelum dan sesudah kejatuhannya. Dalam Majalah “Pandji Islam” nomor 12 dan 13 tahun 1940, Soekarno menulis sebuah artikel berjudul “Memudakan Islam”, yang isinya memuji langkah-langkah sekularisasi yang dijalankan Musthafa Kemal Attaturk di Turki. Tokoh Islam A. Hassan mengritik keras pandangan Soekarno tentang kedudukan agama dan negara tersebut. Di Majalah yang sama ia menulis artikel berjudul “Membudakkan Pengertian Islam”.

Sejak zaman pra kemerdekaan RI, para ulama sudah menggagas ide negara Islam atau negara berdasar Islam. Tetapi, kondisi nyata di Indonesia memaksa para ulama dan pejuang di Indonesia, menerima kompromi yan diajukan oleh Bung Karno, yakni Piagam Jakarta dan UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945.

Meskipun kecewa dengan hilangnya “Tujuh Kata”, tetapi para ulama mendukung fatwa KH Hasyim Asy’ari, 22 Oktober 1945, bahwa mempertahankan kemerdekaan RI adalah wajib hukumnya. Begitu juga ketika dibuka peluang perjuangan melalui Pemilihan Umum tahun 1955. Para ulama paham benar tentang kelemahan sistem demokrasi. Namun, mereka tidak menyebut Indonesia sebagai “negara kafir”. Dan hampir seluruh kekuatan Islam ketika itu ikut serta dalam pemilu 1955. Dua partai Islam mendapat suara besar, yakni Masyumi dan NU.

Ketika upaya memperjuangkan dasar negara Islam terhenti melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka para ulama dan pemimpin Islam Indonesia pun sepakat dengan Dekrit itu. Tapi, perjuangan terus dilakukan agar ajaran Islam semakin tertanam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Di era Orde Lama dan Orde Baru, umat Islam Indonesia pun mengalami berbagai ujian yang tidak ringan. Rongrongan dan kejahatan oleh PKI serta upaya Kristenisasi, sekularisasi, dan nativisasi dijalankan dengan massif. Alhamdulillah, dengan ilmu dan kebijakan para ulama dan pemimpin umat Islam, upaya itu tidak sepenuhnya berhasil.

Kini, umat Islam Indonesia kembali menghadapi ujian yang tidak ringan. Dalam keadaan seperti ini, seyogyanya para pegiat dakwah Islam di Indonesia memperkuat tali silaturrahim dan menahan diri untuk “bergaduh” di ruang publik. Semua paham, bahwa perpecahan adalah pangkal kelemahan.

Jangan sampai kita mengulang sejarah kejatuhan Kota Jerusalem di tahun 1099 dan 1918. Tiga jenis utama penyakit yang melanda umat ketika itu: cinta dunia, kelemahan dakwah, dan perpecahan umat.

Sekali lagi, kita perlu belajar ilmu dan hikmah dari para ulama dan pejuang-pejuang Islam yang arif bijaksana di Nusantara ini. Kita jangan berpecah belah dan merasa berjuang sendirian. Ingat, Allah hanya cinta jika kita berjuang dalam shaff yang rapi, seperti satu bangunan yang kokoh. (QS ash-Shaff: 4). (Depok, 8 Agustus 2020).

*Pengasuh PP Attaqwa Adian Husaini/Hidayatullah

Artikel Perlu Ilmu dan Hikmah untuk Berjuang pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/perlu-ilmu-dan-hikmah-untuk-berjuang/feed/ 0
Setelah Hagia Sophia Kembali Jadi Masjid: Apa Agenda Kita? https://parade.id/setelah-hagia-sophia-kembali-jadi-masjid-apa-agenda-kita/ https://parade.id/setelah-hagia-sophia-kembali-jadi-masjid-apa-agenda-kita/#respond Sun, 19 Jul 2020 04:31:52 +0000 https://parade.id/?p=4103 Jakarta (PARADE.ID)- Pada Jumat, 10 Juli 2020, Pengadilan Tinggi Turki memutuskan untuk mengembalikan status Hagia Sophia (Ayasopfya) sebagai masjid. Keputusan itu sekaligus membatalkan Dekrit Pemerintah Kemal Attaturk tahun 1934 yang mengubah status Hagia Sophia dari masjid menjadi museum.  Dengan itu, maka penggunaan Hagia Sophia dalam bentuk apa pun selain masjid, secara hukum tidak sah. Keputusan Pengadilan […]

Artikel Setelah Hagia Sophia Kembali Jadi Masjid: Apa Agenda Kita? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Pada Jumat, 10 Juli 2020, Pengadilan Tinggi Turki memutuskan untuk mengembalikan status Hagia Sophia (Ayasopfya) sebagai masjid. Keputusan itu sekaligus membatalkan Dekrit Pemerintah Kemal Attaturk tahun 1934 yang mengubah status Hagia Sophia dari masjid menjadi museum.  Dengan itu, maka penggunaan Hagia Sophia dalam bentuk apa pun selain masjid, secara hukum tidak sah.

Keputusan Pengadilan Turki itu sesuai dengan amanah Sultan Muhammad al-Fatih yang pada tahun 1453 merebut Kosntantinopel dan mengubah namanya menjadi Istanbul. Hagia Sophia pun diubah menjadi masjid.

Keputusan Pengadilan Tinggi Turki itu disambut antusias dan rasa syukur di berbagai kalangan umat Islam Indonesia. Sebagian kemudian mengangkat harapan akan kembalinya kejayaan Islam sebagai pemimpin dunia, seperti di masa Muhammad al-Fatih. Di media sosial juga terbaca berbagai tulisan tentang kejayaan Islam di masa khilafah, sekaligus harapan akan kembalinya khilafah, sehingga umat Islam akan berjaya kembali.

Tentu saja, kembalinya Hagia Sophia sebagai masjid merupakan satu momentum penting dalam lintasan sejarah Islam.  Peristiwa itu mengingatkan kita pada kehebatan seorang Sultan Muhammad al-Fatih atau Sultan Muhammad II, yang memimpin Daulah Turki Utsmani pada usia belia.

Perlu dicermati bahwa yang dipuji oleh Rasulullah ﷺ adalah “sosok pemimpinnya”. Dalam lintasan sejarah, khilafah Islamiyah pernah mengalami kejayaan – seperti di masa al-Khulafa’ al-Rasyidun dan banyak khalifah lainnya – dan juga pernah mengalami keterpurukan bahkan kehancuran, seperti di masa awal Perang Salib, kejatuhan Baghdad oleh Mongol, dan penjarahan Palestina oleh Zionis Yahudi.

Faktor-faktor kejayaan dan kejatuhan khilafah dalam sejarah Islam perlu dianalisis dengan cermat agar kita tidak salah strategi dan langkah dalam mewujudkan kebangkitan umat Islam. Sebagai lembaga politik Islam, khilafah memiliki sistem yang unik, yang berbeda dengan sistem politik lainnya. Para ulama Islam telah banyak membahas hal ini dalam kitab-kitab mereka. Intinya, khilafah mengakui kedaulatan Allah SWT dalam menentukan nilai dan sistem kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara.

Sebagai satu sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik – kekuasaan terpusat di satu tangan (khalifah) – maka kualitas seorang khalifah sangat menentukan. Sistem ini mirip dengan kerajaan dan kekaisaran. Dalam sistem semacam ini, negara akan cepat baik jika kepala negaranya baik. Sebaliknya, negara akan cepat hancur jika kepala negaranya buruk kualitasnya.

Intinya: Pendididikan

Karena itu, dalam kaitan dengan kejayaan Turki Utsmani di masa kepemimpinan Muhammad al-Fatih,  maka lihatlah kualitas pemimpin atau khalifahnya. Dan itu adalah Muhammad al-Fatih.  Tapi, jangan hanya berhenti pada kehebatan seorang al-Fatih ketika memimpin penaklukan Konstantinopel.

Lebih penting lagi, lihatlah proses pendidikannya. Bagaimana Muhammad al-Fatih menjalani proses pendidikan yang hebat sehingga menjadi pribadi dan pemimpin hebat. Muhammad al-Fatih tidak begitu saja tiba-tiba turun dari langit, laiknya seorang ‘Superman’ menjelma menjadi manusia hebat karena mendapat “jimat” tertentu!

Dalam buku “Pendidikan Islam, Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045” (Depok: YPI at-Taqwa, 2018), saya menulis bab khusus tentang Pendidikan Muhammad al-Fatih.

Kunci sukses pendidikan, menurut Ibrahim ibn Isma’il al-Zarnuji, dalam Kitabnya, Ta’lim al-Muta’allim,  terletak pada kesungguhan tiga pihak: yaitu guru, murid, dan orang tua.  Hal ini terlihat dalam proses pendidikan Muhammad al-Fatih.

Ayah Muhammad al-Fatih (Sultan Murad II) sangat peduli memilih guru yang hebat untuk anaknya.  Mereka adalah Syeikh Ahmad ibn Ismail al-Kurani dan Syeikh Aaq Syamsuddin. Dialah ulama besar yang mendidik Muhammad al-Fatih dengan adab dan ilmu yang tinggi. Syeikh Aaq Syamsuddin menguasai berbagai bidang ilmu, baik ulumuddin maupun ilmu kedokteran.

Sang guru, disamping memberikan ilmu kepada muridnya, juga memberikan motivasi dan mendoakan keberhasilan muridnya dengan sungguh-sungguh, khususnya saat proses penaklukan Konstantinopel. Yang sangat ditekankan adalah “mujahadah ‘alan nafsi”, agar Muhammad al-Fatih memiliki jiwa yang bersih, seperti zuhud, ikhlas, dan jauh dari sikap sombong.

Jika ditelaah, pendidikan yang diterima oleh Muhammad al-Fatih memang bertumpu kepada proses penanaman adab dan kesungguhan dalam meraih ilmu. Adab terhadap ilmu dijalankan dengan sungguh-sungguh, diaplikasikan dalam bentuk penanaman nilai-nilai kebaikan, khususnya pemahaman terhadap Allah, diri, hakikat dunia dan akhirat.

Muhammad al-Fatih sukses menjalani mujahadah ala al-nafsi, sehingga jihad secara fisik yang dilakukannya menampakkan keagungannya. Proses pendidikan yang dijalani oleh Muhammad al-Fatih itu sama dengan proses yang dijalani oleh para sahabat Nabi Muhammad ﷺ, dan juga pernah dijalani oleh Shalahuddin al-Ayyubi dan generasi sezamannya.

Jadi, menerapkan Pendidikan yang Benar dan Tepat! Inilah saat ini agenda kita yang terpenting. Tujuannya, agar kita bisa melahirkan generasi gemilang yang nantinya akan mengisi masjid  kita,  sekolah kita, kampus kita, rumah sakit kita, partai politik kita, dan institusi-institusi kita lainnya.

Jika pendidikan kita gagal melahirkan generasi hebat seperti generasi Muhammad al-Fatih, maka institusi-institusi peradaban Islam – termasuk institusi negara kita – akan berujung pada keterpurukan. Mungkin namanya saja yang masih menggunakan ”Islam”, tetapi isinya kosong dari nilai-nilai Islam!

Semoga kita sukses menerapkan pendidikan yang benar, sehingga kita menang (QS 91:9-10)!  Aamiin.

(Depok, 14 juli 2020).

*Dr. Adian Husaini, Pimpinan Pondok Pesantren At-Taqwa- Depok

Artikel Setelah Hagia Sophia Kembali Jadi Masjid: Apa Agenda Kita? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/setelah-hagia-sophia-kembali-jadi-masjid-apa-agenda-kita/feed/ 0
Buya Hamka: Agamalah yang Mengisi Pancasila, Bukan Saling Isi Mengisi https://parade.id/buya-hamka-agamalah-yang-mengisi-pancasila-bukan-saling-isi-mengisi/ https://parade.id/buya-hamka-agamalah-yang-mengisi-pancasila-bukan-saling-isi-mengisi/#respond Sat, 20 Jun 2020 15:44:02 +0000 https://parade.id/?p=1006 Jakarta (PARADE.ID)- DI MAJALAH Panji Masyarakat edisi No 216, (1 Februari 1977), Buya Hamka menulis artikel  berjudul “Ketahanan Ideologi Mutlak Ditingkatkan” dalam rubrik tetap “Dari Hati Ke Hati”.  Dalam tulisannya itu Buya Hamka memberikan komentar terhadap pernyataan Kas Koptamtib, Laksamana Sudomo, bahwa Ideologi Negara Pancasila perlu ditingkatkan. Menurut Buya Hamka, diantara pernyataan Sudomo yang menarik adalah pengakuannya […]

Artikel Buya Hamka: Agamalah yang Mengisi Pancasila, Bukan Saling Isi Mengisi pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- DI MAJALAH Panji Masyarakat edisi No 216, (1 Februari 1977), Buya Hamka menulis artikel  berjudul “Ketahanan Ideologi Mutlak Ditingkatkan” dalam rubrik tetap “Dari Hati Ke Hati”.  Dalam tulisannya itu Buya Hamka memberikan komentar terhadap pernyataan Kas Koptamtib, Laksamana Sudomo, bahwa Ideologi Negara Pancasila perlu ditingkatkan.

Menurut Buya Hamka, diantara pernyataan Sudomo yang menarik adalah pengakuannya bahwa: “Dasar Ketuhanan Yang maha Esa berarti bahwa Pancasila memberikan akomodasi untuk agama.”

Terhadap pernyataan tersebut, Buya Hamka menjelaskan: “Kita bersyukur karena dari pihak pemerintah sudah ada yang berfikir maju selangkah, yaitu mengatakan bahwa Pancasila dengan agama isi mengisi. Kalau selama ini ada yang mengatakan bahwa Pancasila memberikan jaminan dan perlindungan kepada agama, sekarang sudah ada yang maju selangkah dengan mengatakan bahwa Pancasila dengan agama isi mengisi. Dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa maka Pancasila memberikan akomodasi kepada agama.”

Meskipun menyambut baik pernyataan Sudomo tersebut, tetapi Buya Hamka juga menegaskan, bahwa bagi orang muslim, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tiang Agung dari Pancasila, Urat Tunggang dari Pancasila. “Kalau sila pertama ini runtuh, gugur hancurlah keempat sila yang lain,” tulis Buya Hamka.

Lebih jauh, Buya Hamka – yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum MUI — Ketuhanan Yang Maha Esa adalah jaminan yang akan membuat Pancasila itu berurat sampai ke bumi berpucuk sampai ke langit dalam alam pikiran bangsa Indonesia.

“Saya teringat apa yang pernah diungkapkan oleh DN Aidit ketika komunis mulai “mendapat angin” sebelum tahun 1964.  Dia mengakui bahwa Pancasila adalah alat pemersatu Indonesia. Dan apabila bangsa Indonesia telah dapat dipersatukan, dengan sendirinya Pancasila tidak diperlukan lagi,” kata Buya Hamka.

Buya Hamka pun mengingatkan jangan sampai sila Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap satu bagian Pancasila yang memiliki kedudukan sama dengan sila-sila lainnya. Jika begitu, maka Pancasila akan goyah. Hamka menjelaskan bahwa manusia memiliki fitrah untuk selalu “bertuhan” kepada yang dianggapnya Maha Kuasa. Bagi orang komunis, Yang Maha Kuasa ialah Partai. Siapa saja yang berkuasa maka dialah Yang Maha Kuasa.

Menurut Buya Hamka, yang dimaksud Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah SWT. Sebab, hal itu sudah dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …”. Bangsa Indonesia sejak awal sudah memilih untuk percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena itulah, dalam sumpah Sapta Marga, dalam sumpah para pejabat senantiasa disyaratkan untuk orang yang bertaqwa.

“Tidak ada ketaqwaan dalam alam ini kepada berhala atau kepada pemimpin atau kepada thaaghuut. Ketaqwaan hanya kepada Allah sahaja,” tegas Hamka.

Selanjutnya, Hamka menjelaskan, bahwa dalam Garis Gesar Haluan Negara (GBHN), juga dijelaskan bahwa kita sedang menuju kepada suatu negara yang adil dan makmur, yang diridhai oleh Tuhan.

“Oleh sebab itu, meskipun negara Republik Indonesia itu sendiri tidak beragama – karena suatu negara tidak perlu beragama, namun rakyatnya, warga negaranya, penduduknya laki-laki dan perempuan, mestilah beragama. Beragama untuk menjamin teguhnya urat Pancasila itu dalam jiwa, dalam masyarakat, dan dalam negara. Urat Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,” demikian tulis Hamka.

Lalu, ulama terkenal yang juga Pahlawan Nasional ini menegaskan sikapnya sebagai muslim:

“Menurut keyakinan saya sebagai pemeluk agama Islam, agama bukanlah isi mengisi dengan Pancasila, melainkan lebih tegas lagi: “Agama akan mengisi Pancasila.” Bertambah saya tha’at menjalankan perintah agama saya, menghentikan larangannya, bertambah suburlah ideologi negara saya.”

*****

Demikianlah cara pandang seorang Muslim terhadap Pancasila sebagaimana dirumuskan oleh Buya Hamka. Dan ini juga yang ditegaskan oleh para alim ulama NU dalam Munas di Situbondo tahun 1983, bahwa Pancasila bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama.

Dalam soal ini Buya Hamka pun tegas bersikap, bahwa bagi seorang muslim, Pancasila bukan saling isi mengisi dengan agama, tetapi agamalah yang mengisi Pancasila. Ini juga yang ditegaskan oleh Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh yang ikut lobi-lobi perubahan UUD 1945, pada 18 Agustus 1945.

Dalam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman Singodimedjo menyatakan, bahwa umat Islam tetap punya anggapan bahwa Islam itu adalah lebih sempurna dari Pancasila. “Hal itu tentunya tidak akan, dan tidak seharusnya dianggap salah oleh siapa pun,” tegasnya.

Bahkan, menurutnya, umat Islam keliru jika menganggap Pancasila lebih tinggi dari Islam. Sebab, Islam itu didekritkan langsung oleh Allah sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya. (QS 3:19). Bahwa ternyata Pancasila dan bukan Islam yang dijadikan sebagai dasar negara, Kasman mengakui, hal itu sebagai ujian dari Allah, dan agar umat Islam berusaha mengubah dirinya sendiri, agar menuju kondisi yang lebih baik.

“Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila, karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam,” demikian penegasan Kasman Singodimedjo.

*Dr. Adian Husaini

(hidayatullah/PARADE.ID)

Artikel Buya Hamka: Agamalah yang Mengisi Pancasila, Bukan Saling Isi Mengisi pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/buya-hamka-agamalah-yang-mengisi-pancasila-bukan-saling-isi-mengisi/feed/ 0