#Influencer Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/influencer/ Bersama Kita Satu Tue, 01 Sep 2020 05:32:04 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg #Influencer Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/influencer/ 32 32 Dunia Influencer https://parade.id/dunia-influencer/ https://parade.id/dunia-influencer/#respond Tue, 01 Sep 2020 05:32:04 +0000 https://parade.id/?p=6519 Jakarta (PARADE.ID)- Bagaimana sih mengumumkan ke seluruh dunia kalau kita itu hebat sekali? Mudah jawabannya: dengan prestasi. Sekali prestasi kita memang mentereng, wah, nggak perlu nyuruh siapapun ngomonginnya, mereka telah ramai2 ngomongin. Pemain bola, mentereng dgn level permainannya di lapangan. Pengusaha, terkenal dengan kesuksesan nyata, perusahaannya banyak, real, nyata. Dokter, terkenal dengan prestasi menyembuhkan pasiennya. […]

Artikel Dunia Influencer pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Bagaimana sih mengumumkan ke seluruh dunia kalau kita itu hebat sekali? Mudah jawabannya: dengan prestasi. Sekali prestasi kita memang mentereng, wah, nggak perlu nyuruh siapapun ngomonginnya, mereka telah ramai2 ngomongin.

Pemain bola, mentereng dgn level permainannya di lapangan. Pengusaha, terkenal dengan kesuksesan nyata, perusahaannya banyak, real, nyata. Dokter, terkenal dengan prestasi menyembuhkan pasiennya. Pekerja kreatif, terkenal dengan karya2nya yang dinikmati banyak orang. Dsbgnya, dstnya.

Ini logika sederhana sekali.

Tapi apa yang terjadi saat seseorang tidak punya prestasi tapi pengin terkenal, dianggap hebat?

Mulailah drama sensasi, heboh, settingan, dan segala hal yang tidak ada hubungannya dengan karya, kualitas, apalagi nilai tambah. Nol, alias zong saja. Yang penting rame. Dan orang lain menganggapnya berprestasi. Padahal kalau dilihat lagi, ada karyanya? Nggak ada.

Kalau ini dilakukan oleh orang, silahkan saja, maklumin sajalah. Namanya dunia akhir jaman. Toh, minimal dia tidak pakai uang orang lain. Bebas saja.

Tapi masalahnya, duuh, Gusti, metode ini juga dilakukan oleh orang2 di lembaga yang jelas2 dibiayai oleh rakyat banyak. Karena pengin dianggap sukses, berhasil, berprestasi, pejabat lembaga ini meniru gaya settingan tsb. Dengan cara apa? Membayar ‘influencer’. Mulailah mereka membuat settingan seolah berprestasi sekali.

Dulu, saat internet belum ada, orang2 ini nebeng di baliho, spanduk yang dipajang di pinggir jalan. Ada sosialisasi KB, eh wajah dia nongol. Ada sosialisasi Repelita, eh wajah dia nongol. Juga di selebaran, paket2 sembako, nyelip wajahnya di sana. Padahal duit dia juga bukan, itu pakai duit rakyat. Sekarang sih masih, lihatlah, banyak dimana2. Kasihan lihatnya, dia mungkin takut orang2 lupa siapa pejabat, bupati, walikota atau menteri, gubernur. Maklum sih, karena zong prestasi, rakyat memang sering lupa sama pejabatnya.

Saat dunia internet datang, media sosial ada, trik ini mengalami modifikasi. Membayar ‘influencer’ untuk jadi corong betapa sukses dan berprestasinya kinerja mereka. Nggak usah pura2 bodo lah, di twitter gampang lihat kerja orang2 ini. Juga di media sosial lainnya. Belum lagi berita2 yang dikasih tanda ‘adv’ atau ‘iklan’.

Separuh mau ketawa lihatnya, separuh sungguh sedih. Ya amplop, mereka lupa jika cara terbaik mengumumkan prestasi kita itu lewat: prestasi itu sendiri. Bekerja sebaik mungkin. Bekerja profesional, sungguh2, lantas hasil nyata-nya muncul. Tidak perlu bayar siapapun, rakyat akan bersorak memujinya. Sayangnya, cara berpikir orang2 ini terbalik.

Maka itulah yang terjadi. Mereka bersorak lewat influencer seolah semua hebat, brilian, saat situasi sedang buruk sekali. Ada lembaga yang bersorak lewat influencer seolah aparat penegak hukum sedang top banget prestasinya, tapi kenyataannya bumi langit. Ada yg bersorak di internet semua lancar, semua hepi, tapi kenyataannya orang banyak sedang kesal. Dsbgnya, dstnya. Dan sorakan itu semua bayar. Puluhan milyar.

Uang siapa? Rakyat.

Adik2 sekalian, jika besok lusa kalian jadi pejabat, semoga kalian tidak begini. Percayalah, cara terbaik agar kita itu dianggap sukses, berprestasi, adalah dengan prestasi itu sendiri. Cara terbaik mensosialisasikan sesuatu, adalah dengan teladan dari kalian.

Dan itupun tidak menjamin semua orang akan mengakuinya, tetap akan ada yang tidak suka. Apalagi saat kalian sudah tak berprestasi, eh sibuk pencitraan segala, sibuk memastikan anak, mantu, cucu, keluarga kalian jadi pejabat, lebih banyak lagi yang tidak suka. Tapi nasib memang, negeri ini masih butuh waktu panjang mendidik literasi politik rakyatnya. Agar tidak termakan strategi ‘influencer’.

Semoga generasi kalian mau merubah banyak hal. Sungguh kita tidak perlu membayar agar orang lain bersorak utk kita. Dan kita juga tidak perlu membayar orang lain untuk menangis di proses pemakaman. Kasihan memang. Bahkan untuk terlihat banyak yg sedih, banyak yg peduli, juru tangis pun harus dibayar.

*Novelis, Tere Liye

Artikel Dunia Influencer pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/dunia-influencer/feed/ 0
Pengamat: Influencer Lebih Pake Otak, Buzzer Hanya Pake Jempol https://parade.id/pengamat-influencer-lebih-pake-otak-buzzer-hanya-pake-jempol/ https://parade.id/pengamat-influencer-lebih-pake-otak-buzzer-hanya-pake-jempol/#respond Sun, 30 Aug 2020 02:39:33 +0000 https://parade.id/?p=6469 Jakarta (PARADE.ID)- Pengamat politik Hendri Satrio menyebutkan setidaknya ada dua perbedaan antara influencer dengan buzzer. Pertama, kata dia, influencer itu lebih mengutarakan opini pribadi, sementara buzzer hanya mempromosikan opini dari orang lain. “Ini yang kedua, influencer lebih pake otak sementara buzzer cuma pake jempol #Hensat,” kata dia, Minggu (30/8/2020), di akun Twitter-nya. “jadi jangan juga […]

Artikel Pengamat: Influencer Lebih Pake Otak, Buzzer Hanya Pake Jempol pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Pengamat politik Hendri Satrio menyebutkan setidaknya ada dua perbedaan antara influencer dengan buzzer. Pertama, kata dia, influencer itu lebih mengutarakan opini pribadi, sementara buzzer hanya mempromosikan opini dari orang lain.

“Ini yang kedua, influencer lebih pake otak sementara buzzer cuma pake jempol #Hensat,” kata dia, Minggu (30/8/2020), di akun Twitter-nya.

“jadi jangan juga Buzzer dibilang Influencer. Influencer beda dengan Buzzer,” sambungnya.

Selain itu, menurut Hendri, cara kerja buzzer dengan influencer bisa dikatakan berbeda. Ide influencer datang dari diri sendiri, sedangkan buzzer beramai-ramai (kolektif).

“Nah selama ini situ pake otak atau cuma ngandelin jempol, kalo cuma ngandelin jempol ya bukan influencer lah.”

(Robi/PARADE.ID)

Artikel Pengamat: Influencer Lebih Pake Otak, Buzzer Hanya Pake Jempol pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/pengamat-influencer-lebih-pake-otak-buzzer-hanya-pake-jempol/feed/ 0