Kemerdekaan Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/kemerdekaan/ Bersama Kita Satu Tue, 17 Aug 2021 07:34:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.3 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg Kemerdekaan Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/kemerdekaan/ 32 32 Merdeka yang Paripurna https://parade.id/merdeka-yang-paripurna/ https://parade.id/merdeka-yang-paripurna/#respond Tue, 17 Aug 2021 07:34:25 +0000 https://parade.id/?p=14455 Jakarta (PARADE.ID)- Seperti sudah menjadi tradisi menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi 17 Agustus, dahulu ada upacara bendera, setelahnya ada ragam perlombaan, dimulai dari lomba baris-berbaris, panjat pinang, lari karung dan lain sebagainya, semuanya tenggelam dalam euforia dan kegembiraan. Berbagai hiruk-pikuk menyambut hari kemerdekaan adalah suatu momen di mana ekspresi masyarakat direfleksikan, seolah tonggak kemerdekaan […]

Artikel Merdeka yang Paripurna pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Seperti sudah menjadi tradisi menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi 17 Agustus, dahulu ada upacara bendera, setelahnya ada ragam perlombaan, dimulai dari lomba baris-berbaris, panjat pinang, lari karung dan lain sebagainya, semuanya tenggelam dalam euforia dan kegembiraan.

Berbagai hiruk-pikuk menyambut hari kemerdekaan adalah suatu momen di mana ekspresi masyarakat direfleksikan, seolah tonggak kemerdekaan hanya pada 17 Agustus itu saja, sementara kurang-lebih 300-an hari yang lain adalah ‘ketidakmerdekaan’.

Hari ini, kita memasuki usia 76 Tahun kemerdekaan, berbeda dengan sebelumnya, hari ini kita merayakan kemerdekaan dibawah ancaman Pandemi COVID-19 yang hamper setiap hari merenggut nyawa anak bangsa. Banyak yang menyebut kita sedang ‘dijajah’ oleh wabah, karena itu kita harus segera merdeka darinya.

Tidak ada upacara bendera, tidak ada perayaan, tidak ada lomba, seluruh negeri sedang menderita dan berdukacita. Hampir keseluruhan refleksi adalah tentang upaya-upaya agar lepas dari jeratan dan ‘jajahan’ pandemi.

Lantas, apakah jika tanpa pandemi kita bisa membangun klaim kemerdekaan? Apakah masa depan Indonesia adalah suatu kepastian yang memungkinkan bendera merah-putih tetap terikat dan diarak naik ke puncak tiang tertinggi?

Pertanyaan ini sangat retoris. Tetapi menurut saya, mengukur hari kemerdekaan tidaklah sebatas perayaan-perayaan dan euforia satu hari. Kemerdekaan haruslah menjadi kebahagiaan yang abadi.

76 tahun yang lalu, sejarah seolah mencatat suatu momen di mana Soekarno dan Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdengklok sebagai akibat dari perbedaan pendapat antara kaum tua dan kelompok muda yang revolusioner. Peristiwa yang kemudian berlangsung cepat hingga naskah proklamasi yang diketik pada malam itu juga menghadirkan kemerdekaan bagi sebuah bangsa di pagi harinya.

Sebuah momen yang sangat epik, bersamaan dengan terbitnya matahari, terbitlah Indonesia.

Namun begitu, hari itu seolah menjadi periode baru bagi bangsa Indonesia modern, akibatnya periode sebelumnya hanya dianggap sebagai sejarah tekstual.

Padahal jika kita mengambil seluruh timeline sejarah, maka paradigma kemerdekaan tidak hanya akan berhenti pada semangat satu malam sebelum hari merdeka. Ada begitu banyak peristiwa heroik di masa lampau dalam menentang penjajahan dan kolonialisme, sebutlah perang Diponegoro, Peristiwa Buleleng, Perang Banjar, perjuangan sultan Hasanuddin, Perang Aceh hingga perlawanan Baabullah Datuk Syah di Ternate yang berhasil mengusir koloni Portugis.

Kesemuanya itu adalah peristiwa-peristiwa yang menyadarkan kita bahwa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang diraih hanya dengan satu malam atau Ketika sebuah naskah ide negara diketik satu halaman untuk kemudian dibacakan pada besok harinya.

Perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia dari segala bentuk penjajahan sesungguhnya memakan waktu yang berabad-abad, ada jutaan nyawa yang sudah gugur demi memperjuangkan Hasrat untuk berdiri sendiri, terbebas dari penindasan bangsa lain.

Hari ini, kemerdekaan kita baru berusia 76 Tahun, itu adalah waktu yang masih sangat sedikit dibanding penderitaan berates-ratus tahun dibawah kolonialisme. Karenanya, sangat disayangkan jika hari ini euforia kemerdekaan hanya direfleksikan pada tonggak tanggal 17 bulan Agustus saja.

Hari ini, kita hidup dibawah tekanan yang sangat massif, kita lupa bahwa kemerdekaan yang dikehendaki bukan hanya sekedar bebas dari penjajahan kemudian bebas membentuk suatu system administrasi baru yang lepas dari para kompeni, kemerdekaan tidaklah terbatas pada peralihan berkas dan atribut, kemerdekaan seharusnya memiliki nilai yang fundamental, suatu semangat abadi menuju masa depan Indonesia yang tetap utuh.

Konteks kemerdekaan Indonesia dalam proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno sesungguhnya tidaklah terbatas pada peralihan kekuasaan, namun juga peralihan situasi. Jika di bawah kolonialisme Belanda, Indonesia ditindas, maka kemerdekaan harus beralih pada kebebasan setiap individunya tanpa takut ditindas oleh siapapun.

Jika dibawah penjajahan Belanda, rakyat Indonesia tidak diberikan Pendidikan yang memadai, maka kemerdekaan harus beralih pada pemenuhan hak-hak Pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Jika dibawah penjajahan Belanda, Kesehatan masyarakat Indonesia tidak diperhatikan, maka kemerdekaan haruslah menjamin kesehatan seluruh rakyat kita.

Begitulah seterusnya janji kemerdekaan.

Hari ini kita menghadapi situasi yang sangat pelik, janji-janji kemerdekaan masih jauh dari kata tuntas. Jangan dulu jauh-jauh dengan penderitaan dibawah ancaman COVID-19, sebab optimisme kita belum cukup menjanjikan untuk mengatasi wabah brutal ini. Sebagai sebuah bangsa, kita harus memperbaiki dulu dinamika kebangsaan kita, semangat persatuan sebagai tujuan prinsipil kemerdekaan masih jauh dari kata ideal untuk kita bisa Bersama-sama mengatasi pandemi ini.

Persatuan Indonesia adalah kunci optimisme, karena itu perpolitikan nasional harus dipahami oleh seluruh aktor-aktor politiknya sebagai suatu proses menuju persatuan itu sendiri, bukan memecah-belah layaknya propaganda politik Belanda yang Bernama ‘Devide et Impera’.

Jika kita ingin keluar dari segala situasi sulit maka perpecahan nasional sebagai warisan kontestasi politik yang terakhir harus segera diakhiri, dari situlah kita bisa mengukur optimisme dan masa depan setelah hari ini.

Kesadaran seluruh anak bangsa untuk segera berembug Kembali guna mengalahkan ‘penjajahan’ wabah COVID-19 harus segera terbangun, kebijakan nasional yang berorientasi pada konsensus Bersama harus Kembali ditata, situasi politik yang masih panas harus segera diredam dengan mengesampingkan ego sektoral.

Kita tidak mau jika hanya di hari tujuhbelas Agustus inilah kita mendengar nyanyian lagu Indonesia Raya berkumandang dan melihat bendera merah-putih berkibar, sedangkan di luar dari hari tujuhbelas Agustus ini yang terdengar hanyalah raungan sirine mobil ambulans dan peti-peti mati yang dihantarkan ke pemakaman. Hanya melalui kesadaran kolektif sebagai bangsa lah, kitab isa terbebas dari ini semua.

Kemerdekaan yang paripurna adalah bebas untuk hidup, ada jaminan untuk hidup, ada kepastian untuk menjalankan segala proses kehidupan serta pemenuhan terhadap seluruh hak-hak hidup, sebagaimana cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa. Jika tanpa itu semua, kemerdekaan kita tidaklah paripurna.

*Pemerhati Sosial dan Politik, Taupan Iksan Tuarita

Artikel Merdeka yang Paripurna pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/merdeka-yang-paripurna/feed/ 0
COVID-19, TBC dan Konsepsi Manusia Merdeka https://parade.id/covid-19-tbc-dan-konsepsi-manusia-merdeka/ https://parade.id/covid-19-tbc-dan-konsepsi-manusia-merdeka/#respond Thu, 05 Aug 2021 04:08:42 +0000 https://parade.id/?p=14250 Jakarta (PARADE.ID)- Dimulai dari kota Wuhan, China, COVID-19 yang sebelumnya belum dikenal oleh manusia secara cepat berubah menjadi pandemi global yang sangat menakutkan bagi seluruh umat manusia di dunia. Tidak butuh waktu lama, COVID-19 pun telah ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO (World Health Organization) sejak 11 Maret tahun 2020 yang lalu. Hingga hari ini, […]

Artikel COVID-19, TBC dan Konsepsi Manusia Merdeka pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Dimulai dari kota Wuhan, China, COVID-19 yang sebelumnya belum dikenal oleh manusia secara cepat berubah menjadi pandemi global yang sangat menakutkan bagi seluruh umat manusia di dunia. Tidak butuh waktu lama, COVID-19 pun telah ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO (World Health Organization) sejak 11 Maret tahun 2020 yang lalu.

Hingga hari ini, COVID-19 masih menjadi momok yang menakutkan. Meskipun banyak di antara bangsa-bangsa di dunia yang telah beranjak keluar dari situasi ini, namun itu belum cukup mengubah situasi secara fundamental, terlebih di Indonesia, dampak COVID-19, terutama di bidang ekonomi yang sangat berat telah merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat dan negara.

Munculnya varian baru yang berasal dari India justru menambah masalah baru di tengah proses vaksinasi yang sedang dilancarkan oleh pemerintah. Hal ini telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu di antara negara-negara tersisa yang paling parah dihantam badai COVID-19. Meski kegiatan vaksinasi terus digalakkan, tetapi di saat yang sama, angka kematian terus bertambah.

Menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus nanti, Indonesia sedang dalam masa kedaruratan yang secara teknis dijalankan oleh pemerintah melalui pemberlakuan PPKM Darurat Level 4. Dua tahun ini menjadi tahun-tahun terberat yang harus dihadapi oleh bangsa ini, yaitu merayakan kemerdekaan ditengah-tengah ‘ketidakmerdekaan’ akibat ancaman pandemi.

Namun demikian, COVID-19 bukanlah satu-satunya ancaman di sektor kesehatan bagi bangsa ini.

Sebenarnya, bangsa ini telah sejak lama dihantui atau kalau boleh dikatakan; ‘dijajah’ oleh penyakit TBC (tuberculosis). Bahkan, tak jauh berbeda dengan COVID-19, peringkat Indonesia untuk kasus TBC juga termasuk yang paling tinggi di dunia.

Menurut data dari Global TB Report Tahun 2020, perkiraan orang yang jatuh sakit akibat TBC di Indonesia adalah 845.000, dengan angka kematian sebanyak 98.000 atau setara dengan 11 kematian perjam. Ini baru angka yang tercatat secara resmi, sebab secara kalkulatif, baru 67% yang ditemukan dan diobati, sisanya ada 283.000 pasien pengidap TBC yang belum diobati dan beresiko menularkan kepada yang lain.

Secara historis, penyakit TBC ditemukan pada tahun 1882, saat Robert Koch berhasil mengidentifikasi Mycobacterium Tuberculosis. Pada 1906 vaksin BCG berhasil di temukan, dan tidak lama setelah itu berhasil ditemukan obat anti Tuberkulosis (OAT).

Pada 1943 Streptomisin ditetapkan sebagai instrument anti TBC pertama yang efektif. Setelah itu ditemukan Thiacetazone dan asam para aminosalisilat (PAS). Pada 1951 ditemukan isoniazid (isonicotinic acid hydrazide; INH), di ikuti dengan penemuan Pirazinamid (1592) Cycloserine (1952), Ethinamide (1956), rifampin (1957), dan ethambutol (1962). Namun kemajuan dari pengobatan TBC mendapat tantangan dengan bermunculannya strain M. tuberculosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis (OAT).

​Semenjak ditemukan dan merebak ke seluruh penjuru dunia, penyakit TBC telah menginfeksi ratusan juta orang hingga hari ini. Data WHO pada tahun 2015 menyebutkan bahwa ada 10 juta orang di dunia yang menderita penyakit ini, di mana India menempati posisi teratas dengan 2,8 juta kasus disusul Indonesia di peringkat kedua dengan 1,02 juta kasus. Hingga tiba pada hari ini, ketika masalah TBC belum bisa teratasi secara maksimal, muncul pandemi COVID-19 yang memaksa perhatian sektor kesehatan harus tercurahkan pada masalah pandemi, sehingga penanggulangan masalah TBC mungkin harus berhenti sementara.

​Pertanyaannya kemudian, kenapa TBC yang telah diketahui keberadaannya sejak ratusan tahun yang lalu belum mampu teratasi hingga hari ini?

Secara prinsipil, ada beberapa hal yang melatarbelakanginya. Selain tidak diterapkannya pola hidup sehat dan standar minimum kehidupan masyarakat, taraf ekonomi masyarakat yang masih berada di bawah bayang-bayang kemiskinan adalah salah satu penyebabnya.

Menurut Paul E. Farmer dalam artikelnya yang berjudul; “The Consumption of the poor: Tuberculosis in the 21st Century”, penyebab fundamental masih belum bebasnya masyarakat dari penyakit TBC adalah kemiskinan.

Ringkasnya, kemiskinan menyebabkan manusia tidak peduli pada penerapan pola hidup sehat, hal ini adalah kesinambungan dari masalah-masalah mendasar berupa tidak kuatnya struktur ekonomi dan Pendidikan bagi masyarakat itu sendiri.

​Mengacu pada penyebab mendasarnya, maka membebaskan manusia Indonesia dari ancaman penyakit TBC sebenarnya adalah perpaduan dari tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu implikasi kemerdekaan dengan melindungi segenap bangsa Indonesia. Melalui pengentasan kemiskinan dan juga peningkatan kualitas sumber daya manusianya melalui pendidikan, maka dengan sendirinya akan mendorong masyarakat untuk sadar dan tahu pentingnya kesehatan mereka.

​Dengan fakta bahwa Indonesia masih termasuk sebagai negara ‘unggulan’ penyakit TBC, maka secara kasat mata kita bisa mengukur posisi negara ini baik secara ekonomi maupun pendidikannya. Jika ditarik lebih jauh lagi maka pemerintah dalam hal ini belum mampu menjalankan amanat kemerdekaan dan cita-cita pendirian bangsa ini.

​Di tengah-tengah pandemi COVID-19 yang sedang melanda, disertai dengan ancaman penyakit TBC, kita melihat urgensi dan keterkaitan yang berkelindan antara penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dan kebijakan peningkatan kualitas hidup serta perlindungan terhadap seluruh warga negara. Kebijakan itu haruslah dibuat dengan mempertimbangkan esensi utama, yaitu manusia Indonesia. Sebab bagaimanapun, tujuan kemerdekaan sebuah bangsa adalah membebaskan manusia-manusia yang ada di dalam bangsa tersebut dari cengkeraman dan ancaman, baik itu cengkeraman bangsa lain maupun juga cengkeraman penyakit.

​Keharusan hidup merdeka bukan hanya terimplementasikan pada kebebasan menghirup nafas tanpa terjajah oleh bangsa lain, tetapi juga pada kebebasan untuk menghirup nafas yang murni, tanpa penyakit di negeri sendiri. Karena itulah, di momentum yang bertepatan dengan terjangan pandemi COVID-19, menyambut hari kemerdekaan 17 Agustus ini, diperlukan sebuah refleksi menyeluruh akan pentingnya keselamatan warga negara dan upaya membebaskan mereka dari berbagai ancaman penyakit.

Selain kebijakan pemerintah, masyarakat secara heteronomi juga harus menyadari segala ketidakwajaran mengenai risiko tersebut dengan menjalin hubungan yang sinergis dengan pemerintah. dan untuk menempuhnya, pemerintah harus berperan untuk memberikan pendidikan yang signifikan terhadap pelajar melalui setiap agenda sosialisasi yang intensif.

Model sosialisasi yang bersifat edukatif ini juga tidak diharapkan akan berputar pada metode yang konvensional, sebagaimana yang diterapkan di sekolah maupun di perguruan tinggi. Kondisi Indonesia yang majemuk, mengharapkan agar instrument pendidikan mengenai sebab-sebab di atas, bisa digodok dengan upaya dan langkah praktis yang berbeda. Yakni dengan langkah konvensional, tradisional, dan virtual. Sehingga dari langkah-langkah tersebut, bisa memacu terjadinya laju perubahan.

*Pemerhati Sosial dan Politik, Taupan Iksan Tuarita

Artikel COVID-19, TBC dan Konsepsi Manusia Merdeka pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/covid-19-tbc-dan-konsepsi-manusia-merdeka/feed/ 0