#Kolom Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/kolom/ Bersama Kita Satu Thu, 11 Mar 2021 00:55:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.2 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg #Kolom Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/kolom/ 32 32 Moeldoko Mau Mendirikan Partai Demokrat Baru? https://parade.id/moeldoko-mau-mendirikan-partai-demokrat-baru/ https://parade.id/moeldoko-mau-mendirikan-partai-demokrat-baru/#respond Thu, 11 Mar 2021 00:55:25 +0000 https://parade.id/?p=11254 Jakarta (PARADE.ID)- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas punya nasihat penting bagi KSP Moeldoko. Ketimbang mengambil paksa Partai Demokrat dari tangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), lebih baik dia mendirikan partai sendiri. Namanya  bisa partai apa saja. Kalau memang tetap tertarik dengan nama Demokrat, bisa Partai Demokrat Baru, atau Partai Demokrat Berseri. Buya […]

Artikel Moeldoko Mau Mendirikan Partai Demokrat Baru? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas punya nasihat penting bagi KSP Moeldoko.

Ketimbang mengambil paksa Partai Demokrat dari tangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), lebih baik dia mendirikan partai sendiri. Namanya  bisa partai apa saja.

Kalau memang tetap tertarik dengan nama Demokrat, bisa Partai Demokrat Baru, atau Partai Demokrat Berseri.

Buya Anwar Abbas, begitu dia biasa dipanggil, meminta Moeldoko meneladani Ketua Umum PDIP Megawati.

Sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI)  Mega dikudeta Soerjadi melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Asrama Haji Medan (1996). Dia kemudian mendirikan Partai Demokrasi  Indonesia Perjuangan (PDIP).

Pada Pemilu 1999 di awal Reformasi, PDIP ikut berlaga bersama bersama PDI.

Hasilnya PDIP menjadi partai pemenang Pemilu. Megawati menjadi Wapres, dan kemudian menjadi Presiden.

Partainya juga selalu berjaya dari pemilu ke pemilu. Dalam dua pemilu terakhir (2014, 2019) PDIP menjadi pemenang.

PDIP masih mendapat bonus tambahan, Jokowi salah seorang kadernya  menjadi Presiden selama dua periode.   

Nasehat Buya Anwar Abbas ini sangat layak didengar dan dituruti Moeldoko.

Mega seperti kita saksikan,  saat ini menjadi figur sangat berpengaruh dalam peta politik Indonesia.

Beda sekali dengan Moeldoko. Sebagai mantan Panglima TNI, dan sekarang menjadi orang dekat Presiden Jokowi, citra Moeldoko berada dalam titik nadir.

Dia disebut sebagai pembajak, bahkan begal politik. Jabatan Ketua Umum Partai Demokrat  yang coba dia rampas, bukan membuatnya terhormat. Tapi malah dihujat.

Harus Belajar dari Para Senior

Sebenarnya Moeldoko tak perlu belajar ke orang lain. Cukup belajar dari para seniornya di TNI.

Mantan Menhankam Pangab Jenderal Edy Sudradjat misalnya. Setelah kalah bersaing dengan Akbar Tanjung memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar, dia mendirikan PKPI (1999).

Benar PKPI  tidak pernah lolos parlemen. Tapi sampai sekarang publik, dan  internal TNI, tetap respek. Mamandang dan menyebut namanya dengan takzim.

Mantan Menhankam Pangab Jenderal Wiranto juga membangun parpol sendiri.

Hanura (2006) yang dibangunnya sempat lolos parlemen. Tapi sejak kepemimpinannya dilepas ke Osman Sapta Odang, malah tidak lolos ke parlemen.

Letjen Prabowo Subianto juga sukses membangun Gerindra (2008). Hingga kini menjadi partai kedua terbesar di parlemen. Dia juga sempat tiga kali berlaga di pilpres.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sukses membangun Partai Demokrat (20010. Dengan Demokrat,  SBY berhasil meraih sukses menjadi Presiden selama dua periode.

Kalau mau cari model di luar TNI, dia bisa juga belajar dari Surya Paloh (SP).

Setelah kalah dari Aburizal Bakrie dalam Munas VIII Partai Golkar (2009) di Pekanbaru, Riau, SP mendirikan Partai Nasdem (2011).

Nasdem sukses, dalam dua periode terakhir selalu berada dalam koalisi partai-partai penguasa.

Semua nama yang disebut di atas, bahkan berasal dari satu partai yang sama. Golkar.

Masih ada figur lain yang bisa dicontoh Moeldoko. Ini bahkan figur anak-anak muda. Duet Anies Matta-Fahri Hamzah.

Mereka tak perlu ribut-ribut. Setelah merasa tidak cocok dengan pengurus PKS lainnya, mereka mendirikan Partai Gelora Indonesia.

Padahal konon kabarnya,  mereka sempat ditawari untuk mengambil alih PKS dengan model KLB. Tapi tawaran itu ditolak.

Anies-Fahri membangun partai dari nol. Dalam waktu singkat, kini telah memiliki pengurus di 34 Provinsi, dan seluruh kabupaten di Indonesia. Minus dua kabupaten di Jateng.

Partai Gelora sudah siap ikut   serta dalam pemilu.

Benarlah yang dikatakan Buya Anwar Abbas. Moeldoko bisa mendirikan Partai Demokrat Baru, Berseri, atau Perjuangan.

Bila tak mau susah payah membangun partai dari awal, sesungguhnya Moeldoko tetap bisa mengambil opsi KLB. Tapi bukan di Partai Demokrat.

Sebagai kader Partai Hanura, Moeldoko bisa melaksanakan KLB dan mendongkel Ketua Umum Partai Hanura Osman Sapta Odang.

Bila dia berhasil membenahi Hanura. Membawa kembali masuk ke parlemen.

Moeldoko akan dikenang sebagai tokoh politik yang terhormat. Bukan begal Partai Demokrat! End.

*Pengamat Politik Hersubeno Arief

Artikel Moeldoko Mau Mendirikan Partai Demokrat Baru? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/moeldoko-mau-mendirikan-partai-demokrat-baru/feed/ 0
Moeldoko: Merampas Partai Mau Menjadi Presiden? https://parade.id/moeldoko-merampas-partai-mau-menjadi-presiden/ https://parade.id/moeldoko-merampas-partai-mau-menjadi-presiden/#respond Sat, 06 Mar 2021 10:56:38 +0000 https://parade.id/?p=11179 Jakarta (PARADE.ID)- Banyak yang harus dikritik keras terkait cara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin Partai Demokrat (PD). Begitu juga cara pendinastian Partai Mercy itu kepada anak-anak beliau. SBY jelas-jelas menzalimi Anas Urbaningrum ketika dia terpilih sebagai ketua umum PD di Kongres II 20-23 Mei 2010 di Bandung. Pada 2013, SBY melakukan “kudeta” terhadap Anas untuk […]

Artikel Moeldoko: Merampas Partai Mau Menjadi Presiden? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Banyak yang harus dikritik keras terkait cara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin Partai Demokrat (PD). Begitu juga cara pendinastian Partai Mercy itu kepada anak-anak beliau.

SBY jelas-jelas menzalimi Anas Urbaningrum ketika dia terpilih sebagai ketua umum PD di Kongres II 20-23 Mei 2010 di Bandung. Pada 2013, SBY melakukan “kudeta” terhadap Anas untuk merebut posisi ketua umum.

Selain itu, SBY juga ikut bertanggung jawab atas pengukuhan kepresidenan Joko Widodo (Jokowi) yang kemudian mengelola negara ini dengan cara yang sewenang-wenang. Yang telah menimbulkan kekacauan ekonomi, kegaduhan sosial, dan kebobrokan politik.

Banyak tindak-tanduk SBY yang tidak elegan ketika dia menguasai PD. Ketika dia memanfaatkan partai ini untuk menopang kekuasaannya. Dan ketika dia menjadikan Demokrat sebagai “properti keluarga”.

Singkat kata, SBY memang pantas dicela dalam cara dia menguasai dan menjalankan PD.

Akan tetapi, cara Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengambil alih PD sekarang ini, jauh lebih parah lagi. Jauh lebih tak beradab. Bahkan sangat brutal. Pengecut. Dan menunjukkan keteladanan yang jorok dalam kehidupan politik Indonesia yang belakangan ini memang sudah rusak berat.

Moeldoko mengambil alih PD dengan cara “jalanan”. Mirip-mirip dengan aksi para begal yang merampas sepeda motor di tengah malam. Di tikungan-tikungan sepi.

SBY mengambil Demokrat dari tangan Anas lewat cara yang sah dan sesuai AD-ART. Ini saja pun terlihat sangat keji. Konon pula dengan cara-cara yang dilakonkan oleh Moeldoko.

Moeldoko bukan kader Demokrat. Kudeta mungkin masih bisa “dimaklumi” kalau dia adalah bagian dari partai. Kalau dia sudah lama bergelut di partai itu semisal Marzuki Ali.

Moeldoko melancarkan kudeta karena mentang-mentang. Mentang-mentang dia berkuasa. Mentang-mentang bisa mengendalikan aparat keamanan supaya tidak membubarkan Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit yang sangat bertentangan dengan protokol kesehatan.

KLB di Sibolangit (5-7 Maret 2021) yang dipimpin oleh Jhoni Allen Marbun adalah bentuk kepengecutan. Sengaja menjauh dari kekuatan solid PD di Jawa dan wilayah-wilayah lain yang mendukung kepemimpinan sah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tidak ada satu pun ketua DPD atau DPC yang hadir di Sibolangit, kata AHY.

KLB ini adalah perhelatan ala “kangaroo court” (pengadilan kangguru). Yaitu, cara-cara yang tidak sah. Simaklah cara Jhoni Allen ketika membacakan hasil Kongres berikut ini.

“Kongres Luar Biasa Partai Demokrat menimbang dan seterusnya, mengingat dan seterusnya, memperhatikan, memutuskan, menetapkan pertama, dari calon kedua tersebut atas voting berdiri, maka Pak Moeldoko ditetapkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat periode 2021-2025.”

Beginilah prosesi “kangaroo court” yang diketuai Jhoni Allen. Begitu kongres dibuka, saat itu juga Moeldoko langsung terpilih sebagai ketua umum. Menabrak semua ketentuan internal partai.

Kudeta Moeldoko ini tidak boleh dibiarkan. AHY sudah benar dalam menyatakan sikapnya untuk melawan. Menkum HAM tidak etis, tidak konstitusional, dan tidak aspirasional kalau mensahkan kepengurusan hasil kudeta terkutuk ini.

Moeldoko memberikan contoh yang sangat buruk kepada generasi penerus tentang cara menjadi pimpinan partai. Karena itu, jangan sampai orang seperti ini menjadi pemimpin bangsa dan negara. Jangan sampai dia menjadi presiden lewat PD yang dia rampas.

Publik perlu diingatkan karena sangat santer ambisi Moeldoko untuk ikut dalam Pilpres 2024. Kalau saja kendaraan politik Meoldoko adalah hasil rampasan, bagaimana lagi nanti dia mengelola negara ini jika diberi mandat sebagai presiden?

5 Maret 2021

*Wartawan Senior, Asyari Usman

Artikel Moeldoko: Merampas Partai Mau Menjadi Presiden? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/moeldoko-merampas-partai-mau-menjadi-presiden/feed/ 0
Sistem Politik Demokrasi Dewasa Ini https://parade.id/sistem-politik-demokrasi-dewasa-ini/ https://parade.id/sistem-politik-demokrasi-dewasa-ini/#respond Wed, 03 Mar 2021 03:42:04 +0000 https://parade.id/?p=11124 Jakarta (PARADE.ID)- Dalam pandangan saya, sistem politik demokrasi kita yang cenderung ‘menang-menangan’ ternyata mendatangkan banyak madharatnya sendiri. Apalagi di negara kita yang masyarakatnya belum sepenuhnya paham politik, di AS saja yang masyarakat terdidiknya lebih besar, demokrasi bebas membelah masyarakat dan menciptakan polarisasi. Demokrasi terbuka yg dirancang utk saling berkompetisi memang mendorong situasi politik menjadi lebih […]

Artikel Sistem Politik Demokrasi Dewasa Ini pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Dalam pandangan saya, sistem politik demokrasi kita yang cenderung ‘menang-menangan’ ternyata mendatangkan banyak madharatnya sendiri.

Apalagi di negara kita yang masyarakatnya belum sepenuhnya paham politik, di AS saja yang masyarakat terdidiknya lebih besar, demokrasi bebas membelah masyarakat dan menciptakan polarisasi.

Demokrasi terbuka yg dirancang utk saling berkompetisi memang mendorong situasi politik menjadi lebih dinamis, parpol serta politisi saling bersaing adu visi & strategi utk mendapatkan dukungan masyarakat. Tetapi harus diakui semua itu mendatangkan problem yg tidak sedikit juga.

Karena ukurannya hanya menang-kalah, banyak-banyakan mendapatkan suara, tak jarang politisi melakukan segala cara, yang penting menang. Politik transaksional yang pragmatis pun tak terhindarkan.

Masyarakat dibelah dengan logika ‘us vs them’, yang sama dukungannya adalah kawan, yang berbeda menjadi lawan. Ini besar risikonya dalam jangka panjang bagi bangsa ini.

Kita melihat sendiri dalam banyak pemilu, pilkada dan pilpres, sistem pemilihan terbuka membuat banyak politisi digerakkan dengan moralitas menan-kalah saja, akibatnya gagasan dan idealisme berbangsa dan bernegara sering dikorbankan.

Padahal kunci sukses demokrasi adalah berpegang pada nilai-nilai dan moralitas itu, bukan hanya kompetisi menang-kalah yang ‘zero sum game’.

Lebih repot lagi, setelah pertarungan selesai, ternyata para elit tetap bersatu untuk kekuasaan. Sementara masyarakat masih terbelah. Ongkos sosialnya besar sekali. Layak kita diskusikan bersama, bagaimana format terbaik kedepan?

Apa yang sebenarnya dimaksud oleh para founding fathers kita dengan demokrasi yang ‘musyawarah mufakat’ dan sistem perwakilan itu?

Saya kira kita perlu serius memikirkan ini bersama-sama. Jangan sampai soliditas bangsa terus terkoyak.

Melanjutkan diskusi kita sebelumnya bahwa kita perlu memikirkan ulang format penyelenggaraan politik demokrasi kita, saya akan menambahkan beberapa poin.

Kita belajar dari rangkaian pemilihan umum yang lalu. Termasuk pileg & pilpres 2019 serta pilkada serentak 2020.

Masih jelas di ingatan kita bagaimana ribuan korban petugas KPPS meninggal dunia, masyarakat terbelah dukungan politiknya dengan sentimen bernuansa SARA, hasil pemilihan yg menghasilkan rangkaian demonstrasi yg sempat rusuh. Politik kita jd tegang. Terlalu besar ongkos sosialnya.

Namun, apa hasilnya? Melebarnya kesenjangan sosial, terkoyaknya rasa kebangsaan, rasa saling membenci di tengah masyarakat, bahkan distrust terhadap pihak yang menang.

Di sisi lain, ternyata elit tetap cenderung berpikir kekuasaan saja. Dukungan kental dari masyarakat yang hampir membelah soliditas berbangsa, ternyata berakhir mengecewakan dengan bergabungnya pihak-pihak yang bersaing jadi satu kubu juga.

Untuk apa bertarung dengan ‘cara zero sum game’, jika toh capres-cawapres yang kalah kini berada di pemerintahan yang sama juga.

Sekali lagi, saya merasa kita harus mendiskusikan ulang format demokrasi dengan pemilihan terbuka ini. Paling tidak memperbaiki tata kelolanya. Format penyelenggaraan pemilunya. Jangan sampai ke depan masyarakat jadi korban saja, ongkos sosial yang harus dibayar mahal sekali!

Pasti ada maksud tersendiri dulu para ‘founding fathers’ merumuskan format politik kita sebagai ‘musyawarah mufakat’ dan sistem perwakilan. Tidak kompetisi terbuka yang ‘menang-menangan’ itu.

Bahkan masyarakat yang minoritas sekalipun, yang bukan kelompok mayoritas secara suku, agama, ras dan antargolongan pun ada perwakilannya.

Bagaimana seharusnya ke depan? Ini layak untuk kita diskusikan.

#PerspektifBangZul #ZulHas #OpiniBangZul

*Ketum PAN Zulkifli Hasan

Artikel Sistem Politik Demokrasi Dewasa Ini pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/sistem-politik-demokrasi-dewasa-ini/feed/ 0
127 Tahun MH. Thamrin, Orang Betawi dan Nasib Kaum Miskin Kota https://parade.id/127-tahun-mh-thamrin-orang-betawi-dan-nasib-kaum-miskin-kota/ https://parade.id/127-tahun-mh-thamrin-orang-betawi-dan-nasib-kaum-miskin-kota/#respond Tue, 16 Feb 2021 07:43:39 +0000 https://parade.id/?p=10810 Oleh: Roni Adi, Ketua Perkumpulan Betawi Kita dan Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi Pembangunan di DKI Jakarta dan Peran Aspek Budaya Orang Betawi Berdasarkan data BPS DKI Jakarta yang dirilis pada Senin (15/2/2021) jumlah penduduk miskin di Ibu Kota DKI Jakarta pada September 2020 meningkat menjadi 496,84 ribu orang atau 4,69 persen dari total penduduk Jakarta, masih […]

Artikel 127 Tahun MH. Thamrin, Orang Betawi dan Nasib Kaum Miskin Kota pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Oleh: Roni Adi,

Ketua Perkumpulan Betawi Kita dan Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi


Pembangunan di DKI Jakarta dan Peran Aspek Budaya Orang Betawi

Berdasarkan data BPS DKI Jakarta yang dirilis pada Senin (15/2/2021) jumlah penduduk miskin di Ibu Kota DKI Jakarta pada September 2020 meningkat menjadi 496,84 ribu orang atau 4,69 persen dari total penduduk Jakarta, masih lebih rendah dibandingkan kenaikan jumlah penduduk miskin secara nasional sebesar 11,1%. Bila dibandingkan dengan keadaan enam bulan lalu sejak wabah Covid-19 melanda Indonesia pada Maret 2020, kenaikan ini masih relatif kecil di mana pertambahan penduduk miskin sebesar 0,16 persen. Deflasi pada kelompok bahan makanan sebesar -0,495 persen membantu meringankan beban pengeluaran konsumsi. Di sisi lain, berbagai bantuan sosial yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi berkontribusi menjaga stabilitas konsumsi masyarakat miskin dan hampir miskin di DKI Jakarta.

Berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi persoalan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, namun hasilnya masih kurang memuaskan. Apalagi di tengah masa pandemi Covid-19 ini jumlah penduduk miskin di Jakarta sangat sulit dikurangi, terutama di wilayah pesisir Jakarta sejak sekitar sepuluh tahun terakhir menurut data Badan Pusat Statistik. Diduga budaya berperan sebagai salah satu penyebabnya. Fenomena ini terjadi pada penduduk asli (Betawi) dan juga terjadi pada penduduk pendatang. Di sisi lain, terjadi pula fenomena sebagian masyarakat Betawi yang mengalami proses pemiskinan sehingga tidak bisa bertahan di Jakarta dan pindah ke pinggiran ibukota.

Menarik untuk disimak hasil penelitian mengenai orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis a vis penduduk pendatang miskin yang dilakukan oleh Diana Aryanti (2011). Penelitian yang dilakukan secara mendalam pada tahun 2007 di Kelurahan Marunda (Jakarta Utara), Kelurahan Kebagusan (Jakarta Selatan), dan Kelurahan Menteng Dalam (Jakarta Selatan) dengan menggunakan metode sampling bertahap.

Gambar: Profil kemiskinan di DKI Jakarta per September 2020 (rilis BPS DKI Jakarta 15/2/2021)


Hasil penelitian Diana Aryanti menunjukkan bahwa hal positif yang sudah diyakini baik penduduk Betawi maupun pendatang adalah bahwa mereka telah menyadari bahwa untuk memperbaiki taraf hidup diperlukan ikhtiar, namun cara berikhtiar pada Betawi, berbeda dengan pendatang.

Budaya yang progresif/berpihak pada kemajuan cenderung jumlahnya lebih banyak pada kaum pendatang dibandingkan pada Betawi. Hal ini terlihat dari usaha yang lebih kongkrit, motivasi dalam berusaha, keinginan untuk berdagang, rajin/tekun dalam bekerja, keinginan untuk mencoba beragam pekerjaan, terlihat lebih kuat pada pendatang. Orang Betawi cenderung bersikap menerima keadaan hidupnya yang barangkali disebabkan mereka terbiasa hidup nyaman di daerahnya sendiri dan belum terlihat kecenderungan memiliki jiwa kewirausahaan. Pada beberapa kasus ditemui prinsip gengsi bila melakukan pekerjaan kasar.

Untuk saat ini keadaan penduduk miskin Betawi cenderung masih tertanggulangi oleh aset warisan tanah/rumah atau terjamin kehidupannya oleh kerabat dekat. Keadaan ini sesungguhnya merupakan kelebihan yang disandang oleh kepala rumah tangga Betawi, namun sifatnya cenderung tidak akan abadi karena aset yang jumlahnya semakin minim itu pun bisa menjadi habis dan kehidupan kerabat dekat juga bisa jadi tak selamanya baik. Kondisi ini diam-diam justru akan membuat penduduk Betawi terlena dan akhirnya terpinggirkan, kalah bersaing dengan pendatang yang datang ke Jakarta dengan keinginan memperbaiki taraf hidupnya.

Relevansi Perjuangan MH. Thamrin & Perhimpoenan Kaoem Betawi

Mohammad Husni Thamrin, atau lebih dikenal sebagai Mat Aseni oleh teman-teman sekampungnya, merupakan pahlawan nasional kelahiran Sawah Besar (orang Betawi menyebut Sao Besar), pada 16 Februari 1894. Dia berasal dari keluarga “gado-gado”. Kakeknya, Tuan Ort, berkebangsaan Inggris, yang menikah dengan neneknya Thamrin, Noeraini, seorang perempuan pribumi Betawi.

 JJ Rizal mengungkapkan, Thamrin memilih bergerak meninggalkan kenyamanan sebagai orang superkaya Batavia dan keturunan Eropa. Ia lebih memilih memperjuangkan kaum Betawi yang kampungnya telah dirusak. Mulai dari soal tanah orang Betawi yang diserobot, nasib kampung yang dihinakan, sampai urusan minyak tanah.

Thamrin, keluar masuk kampung becek, mandi di Kali Ciliwung, bergaul bahkan tidur bersama kalangan jelata. Ia menekankan pentingnya perbaikan jalan-jalan kampung dan sanitasi di Batavia pada masa itu. Dan Thamrin bersama Abu Bakar termasuk orang pertama yang mengkritik soal pembebasan lahan di Menteng, sebuah area pemukiman mewah pertama di masa kolonial Belanda.

Namun apakah cukup kita hanya memperingati ulang tahun Thamrin setiap tanggal 16 Februari untuk dijadikan pengingat kelahiran seorang pejuang Betawi pembela kaum miskin kota di pentas politik masa kolonial Belanda? Dan berpikir seolah-olah tanggung jawab penggerak perubahan sosial berikutnya hanya pada seorang agen seperti Thamrin tanpa berupaya melibatkan struktur dalam perubahan sosial.

Anthony Giddens (2010) menekankan pentingnya keberadaan ruang dan waktu dalam perubahan sosial. Gagasan tersebut menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidak hanya dipandang sebagai arena, tetapi menjadi setting dari berbagai praktik dan rutinitas sosial. Dalam realitasnya, agen akan dibentuk dan membentuk struktur dalam perentangan ruang dan waktu yang melatarbelakangi berbagai interaksinya

Untuk itu perlu juga kita sedikit mengulas sejarah kehadiran Perhimpoenan Kaoem Betawi yang merupakan perkumpulan politik pertama dari masyarakat Betawi yang menggunakan nama Betawi sebagai identitasnya. Permohonan pendiriannya pada tanggal 4 April 1923 oleh Masserie dan M. Damiri selaku Ketua dan Sekretaris perhimpoenan. Namun baru diakui pendirian sebagai badan hukum oleh pemerintah kolonial pada 22 Desember 1923. Walaupun dalam Besluit Perhimpoenan Kaoem Betawi dinyatakan bahwa perhimpoenan telah berdiri 29 tahun atau sejak tahun 1894.

Perhimpoenan ini lahir sebagai hasil dari meluasnya pendidikan barat di kalangan orang Betawi akibat dari politik etis pemerintah kolonial Belanda. Dalam perkembangan kemudian timbul semangat di antara organisasi-organisasi kedaerahan yang ada di Batavia termasuk Perhimpoenan Kaoem Betawi untuk melepas kedaerahan mereka menuju solidaritas kesatuan Indonesia yang melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

Siswantari dalam diskusi Betawi Kita ke-33 pada 21 Juli 2019 menyebutkan bahwa tujuan pendirian Perhimpoenan Kaoem Betawi seperti  yang tercantum dalam Majalah Tjahaja Betawi pada 15 Juli 1923 adalah sebagai berikut:

• Memadjoekan Boemipoetera Betawi serta sekalian Boemipoetera Hindia Nederland, dalam hal onderwijs, perniagaan dan pertoekangan.

• Memperhatikan segala keperloean bagi Boemipoetera Betawi serta sekalian Boemipoetera di Hindia-Nederland dengan daja oepaja jang tiada melanggar wet negeri teroetama perihal kesehatan.

Setelah Thamrin masuk ke dalam Parindra tahun 1935 dan selepas kepemimpinan Abdul Manaf di Perhimpoenan Kaoem Betawi pada tahun 1940 sepertinya orang Betawi belum menemukan kembali seorang tokoh pejuang kaum Betawi yang gigih membela kepentingan nasib kaum miskin kota dan hadirnya kembali organisasi seperti Perhimpoenan Kaoem Betawi yang gigih memperjuangkan solidaritas kaum Betawi sekaligus persatuan kebangsaan Indonesia.

Penutup

Soedjatmoko (1954) pernah mengingatkan bahwa pembangunan ekonomi bukanlah suatu proses ekonomi semata-mata, melainkan suatu penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan yang meliputi bangsa kita di dalam kebulatannya. Untuk itu kita harus mempertimbangkan peranan agama dan unsur-unsur di dalam warisan kebudayaan nenek moyang kita. Menurut Soedjatmoko, unsur-unsur yang positif perlu dihidupkan kembali dan yang negatif perlu diinterpretasikan ulang agar pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik.

Program pembangunan dan penanggulangan kemiskinan di DKI Jakarta hendaknya tidak sekadar menambah anggaran dan menambah jenis program pengentasan kemiskinan semata, namun perlu memperhatikan prilaku dari target sasaran program. Untuk mewujudkannya, perlu perhatian terhadap upaya memahami orientasi nilai budaya mereka (baik Betawi maupun pendatang) dalam menyusun kebijakan program pembangunan yang akan diambil.

Ke depan perlu perhatian lebih besar pada penduduk Betawi, untuk memberikan bantuan pendidikan setidaknya sampai jenjang SLTA (dan beasiswa perguruan tinggi bagi siswa yang berbakat) dan memberikan pelatihan bagaimana menggugah mereka untuk meningkatkan motivasi dari diri sendiri dan berupaya meningkatkan taraf hidup. Untuk penduduk miskin yang saat ini terlanjur hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat dasar, agar bisa mendapatkan penghasilan yang layak, perlu proaktif diajak mengikuti program Jakprenuer, pengembangan program kewirausahaan terpadu (d/h program OK OCE) untuk merubah mindset agar orang Betawi lebih produktif dan memberikan penyediaan modal usaha dengan bunga pinjaman rendah dan tenor cukup panjang untuk meningkatkan wirausaha / perdagangan serta membantu akses pasar.

Kita juga perlu melahirkan kembali tokoh-tokoh politik dan pegiat ormas kebetawian yang memiliki militansi dalam memperjuangkan hajat hidup orang banyak Betawi sekaligus memiliki jaringan pergaulan yang luas di lingkungan nasional serta melakukan institusionalisasi gerakan advokasi dan kontrol sosial masyarakat Betawi terhadap jalannya pembangunan di DKI Jakarta yang seringkali terjadi tarik menarik kepentingan antara kepentingan wilayah dan nasional. Sudah saatnya pula pegiat budaya Betawi dan intelektual Betawi melakukan sinergitas dengan penyelenggara urusan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yaitu Pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta agar dapat memberikan masukan dan usulan program-program pro rakyat miskin Jakarta yang tidak hanya untuk kalangan Betawi saja.

Artikel 127 Tahun MH. Thamrin, Orang Betawi dan Nasib Kaum Miskin Kota pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/127-tahun-mh-thamrin-orang-betawi-dan-nasib-kaum-miskin-kota/feed/ 0
Pers Nasional Itu Hanya 9 Februari Saja, Selebihnya Pers Jokowi https://parade.id/pers-nasional-itu-hanya-9-februari-saja-selebihnya-pers-jokowi/ https://parade.id/pers-nasional-itu-hanya-9-februari-saja-selebihnya-pers-jokowi/#respond Sat, 13 Feb 2021 11:13:34 +0000 https://parade.id/?p=10719 Jakarta (PARADE.ID)- Bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2021, Presiden Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah. Termasuk mengkritik Jokowi sendiri. Kemudian, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung malah lebih menantang lagi. Dia juga berbicara terkait HPN. Kata Pramono, pemerintah memerlukan kritik pedas. Kritik tajam. Tampaknya Jokowi “prihatin” melihat pers nasional yang utuh […]

Artikel Pers Nasional Itu Hanya 9 Februari Saja, Selebihnya Pers Jokowi pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2021, Presiden Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah. Termasuk mengkritik Jokowi sendiri.

Kemudian, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung malah lebih menantang lagi. Dia juga berbicara terkait HPN. Kata Pramono, pemerintah memerlukan kritik pedas. Kritik tajam.

Tampaknya Jokowi “prihatin” melihat pers nasional yang utuh dan total menjilat kekuasaan. Kecuali segelintir.

Kalau dicermati berita-berita tentang permintaan kritik dalam beberapa hari belakangan ini, kita semua berbesar hati. Rasa-rasanya pers segera menikmati kebebasan mengkritik penguasa.

Tapi, bisakah imbauan kritik itu dipercaya? Mungkinkah pers nasional terbebas dari ketakutan dan keterpaksaan menjilat kekuasaan?

Wallahu a’lam. Too good to be true. Terasa bagaikan mimpi indah.

Jokowi dan Pramono Anung mengeluarkan imbauan “mari kritik kami” itu tampaknya semata-mata untuk tujuan peringatan HPN. Mereka merasa wajib bercuap-cuap manis tentang kebebasan pers pada tanggal itu. Supaya mereka terlihat pro-kebebasan pers.

Padahal, imbauan kritik itu hanya berlaku satu hari saja. Khusus pada HPN 9 Februari itu. Tidak dimaksudkan berlaku tanpa batas waktu.

Argumentasinya adalah, HPN ditetapkan 9 Februari. Hanya satu hari saja. Selebihnya, dari 10 Februari sampai 8 Februari tahun berikutnya bukan Hari Pers Nasional. Melainkah Hari-hari Pers Jokowi (HPJ).

Jadi, sepanjang 364 hari dalam setahun, pers di Indonesia adalah pers Jokowi. Hanya satu hari saja pers di negara ini untuk kepentingan non-Jokowi.

13 Febaruari 2021

*Wartawan Senior, Asyari Usman

Artikel Pers Nasional Itu Hanya 9 Februari Saja, Selebihnya Pers Jokowi pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/pers-nasional-itu-hanya-9-februari-saja-selebihnya-pers-jokowi/feed/ 0
Semarang Banjir, Kemana Anies? https://parade.id/semarang-banjir-kemana-anies/ https://parade.id/semarang-banjir-kemana-anies/#respond Mon, 08 Feb 2021 13:47:50 +0000 https://parade.id/?p=10622 Jakarta (PARADE.ID)- Judul tulisan ini latah. Terinspirasi dari banyak tulisan di medsos. “Semua banjir Itu dituduhkan Anies!” Semua orang menganggap ini bahan lelucon. Sedikit hiburan di musim pandemi. Lelucon semacam ini masif di media sosial. Ini bukti kalau publik menyadari bahwa ada pihak yang was-was terhadap Anies. Kalimat “pokoknya salah Anies” selalu muncul di setiap […]

Artikel Semarang Banjir, Kemana Anies? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Judul tulisan ini latah. Terinspirasi dari banyak tulisan di medsos. “Semua banjir Itu dituduhkan Anies!”

Semua orang menganggap ini bahan lelucon. Sedikit hiburan di musim pandemi. Lelucon semacam ini masif di media sosial. Ini bukti kalau publik menyadari bahwa ada pihak yang was-was terhadap Anies.

Kalimat “pokoknya salah Anies” selalu muncul di setiap musim banjir. Meski banjir di Bekasi, tetap itu salah Anies. Banjir di Bogor, salah Anies juga. Banjir di Semarang, Pekalongan, Grobogan, Kudus, pokoknya salah Anies. Mungkin nenek anda mampus, itu salah Anies juga.

Disisi lain, banjir kali ini telah membuat Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, terlihat panik. “Jangan dihubungkan dengan pilpres”, katanya. “Awas hoax”, tambahnya lagi.

Kepanikan Ganjar bisa dimengerti jika kita memahami Ganjar sebagai sosok yang sedang “berupaya keras” untuk bisa ikut kontestasi di pilpres 2024. Ketika Ganjar, dengan tim medianya, sedang gencar-gencarnya promosi, tahu-tahu banjir hajar Jawa Tengah. Uniknya, dihajar banjir, ada yang posting tentang naiknya elektabilitas Ganjar. Gak logis, publik makin curiga. Seolah ini memperkuat tuduhan atas kepanikan kader PDIP ini.

Upaya Ganjar untuk menaikkan elektabilitas, menarik dukungan kader PDIP, dan terutama menggeser Puan Maharani yang isunya akan dijadikan cawapres Prabowo di 2024, bisa terganjal karena banjir.

Nampaknya, Ganjar ingin meniru pola Jokowi saat menggusur Megawati di pilpres 2014. Jokowi berhasil dengan memanfaatkan elektabilitasnya yang melampaui Megawati saat itu. Bagaimana dengan Ganjar?

Isu “Madam” yang lagi gencar di kasus korupsi bansos boleh jadi angin segar buat Ganjar. Setidaknya, satu persatu “batu sandungan” boleh jadi bisa tersingkir. Tapi, banjir Jawa Tengah kali ini betul-betul tak disangka viralnya. Bagi Ganjar, ini bisa jadi “petaka politik”. Makanya, Gubernur Jawa Tengah ini minta: “Banjir parah di Jateng tidak digoreng jadi isu pilpres 2024”.

Sejumlah daerah di Jawa Tengah langganan banjir. Setiap tahun. Begitu juga sejumlah wilayah yang lain. Tapi, banjir di Jawa Tengah, juga di sejumlah wilayah, tertutup beritanya dengan banjir Jakarta. Media dan medsos isinya tentang Anies yang dianggap tak mampu urus banjir.

Sepi dari isu banjir tahun ini, Anies justru muncul dengan penghargaan dari TUMI (Transformative Urban Mobility Initiative) sebagai salah satu dari 21 Heroes. “Itu karya Bang Yos (Sutiyoso) dan gubernur-gubernur sebelum Anies”, kata salah satu kader PDIP.

Kalau banjir, itu karya Anies. Kalau penghargaan, itu karya gubernur sebelumnya. Seolah-olah di masa sebelum Anies, Jakarta gak pernah banjir. Dan sejak dilantik, Anies seakan tak pernah bekerja untuk Jakarta, sehingga semua penghargaan itu hasil karya para gubernur sebelumnya.

Yang buruk, karya Anies. Kalau DKI Jakarta dapat penghargaan, itu karya gubernur sebelumnya.

Aneh! Kalau cara berpikir seperti ini lahir dari pedagang asongan, kita bisa maklumi. Tapi, ini lahir dari elit politik. Naif! Elit bangsa ini perlu belajar bagaimana berpikir rasional, obyektif dan lurus. Ini hanya soal kewarasan berpikir saja. Yang memprihatinkan, apakah rakyat akan disuguhi narasi dan praktek politik seperti ini terus?

Ada yang ngetwitt: “Jakarta banjir 15-20 cm”. Sementara akun twitter lain menulis: “Semarang tergenang 1,5 M”. Dua akun ini berasal dari institusi yang sama.

15-20 cm dikategorikan banjir. 1,5 M dikategorikan “tergenang.” Ini mungkin hanya soal pilihan narasi saja. Orang Jawa Tengah dikenal lebih santun. Sehingga, 1,5 M itu kategori “tergenang”. Saya juga berasal dan besar di Jawa Tengah. Tapi, obyektifitas mesti jadi pondasi berpikir.

Banjir mesti dilihat sebagai bencana nasional. No politik, sehingga tidak saling menyalahkan. Yang muncul mesti rasa empati, bukan caci maki. Siapapun pimpinan daerahnya.

Jakarta, 8 Pebruari 2021

*Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Tony Rosyid

Artikel Semarang Banjir, Kemana Anies? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/semarang-banjir-kemana-anies/feed/ 0
PSBB: Obat, Madu, dan Racun di Tangan Jokowi https://parade.id/psbb-obat-madu-dan-racun-di-tangan-jokowi/ https://parade.id/psbb-obat-madu-dan-racun-di-tangan-jokowi/#respond Mon, 14 Sep 2020 14:40:09 +0000 https://parade.id/?p=6922 Jakarta (PARADE.ID)- Dalam beberapa hari terakhir Presiden Jokowi dihadapkan pada pilihan yang sangat-sangat sulit. Terus meningkatnya jumlah korban pandemi. Desakan berbeda dari pendukung dan kelompok kepentingan di sekitarnya, membuatnya sangat bingung mengambil keputusan. Seperti  buah simalakama: Dimakan mati bapak. Tidak dimakan mati emak.    Jika dituruti, dia akan ditinggalkan pendukungnya. Tidak dituruti dia bakal ditagih […]

Artikel PSBB: Obat, Madu, dan Racun di Tangan Jokowi pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Dalam beberapa hari terakhir Presiden Jokowi dihadapkan pada pilihan yang sangat-sangat sulit.

Terus meningkatnya jumlah korban pandemi. Desakan berbeda dari pendukung dan kelompok kepentingan di sekitarnya, membuatnya sangat bingung mengambil keputusan.

Seperti  buah simalakama: Dimakan mati bapak. Tidak dimakan mati emak.   

Jika dituruti, dia akan ditinggalkan pendukungnya. Tidak dituruti dia bakal ditagih dan juga ditinggalkan para cukongnya. Sebuah pilihan yang sungguh sangat sulit.

Persis seperti pernah dikatakan Jokowi “Ruwettttt….ruwetttt…..ruwett……”

Kebingungan Jokowi sangat terlihat pada rencana Gubernur DKI Anies Baswedan menarik rem darurat dan memberlakukan PSBB total di Jakarta.

Ahad (13/9) mantan Besar RI di Polandia Peter F Gontha membocorkan surat bos perusahaan rokok Djarum Budi Hartono kepada Presiden Jokowi.

Dalam suratnya,  orang terkaya di Indonesia itu secara tegas menolak rencana PSBB total di DKI.

Budi Hartono mengutip data-data menunjukkan warga yang  terinfeksi di Jakarta terus meningkat,  kendati sudah dilakukan PSBB.

Agaknya Budi lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa pada awal pandemi, Anies mengusulkan lockdown. Bukan PSBB.

PSBB adalah keputusan pemerintah pusat. Mereka lebih khawatir harus menanggung ongkos dari kebijakan tersebut. Di luar itu pemerintah juga masih lebih mengkhawatirkan ambruknya ekonomi ketimbang jatuhnya ribuan nyawa rakyat.

Pada hari yang sama,  WA  mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif kepada Presiden Jokowi juga bocor ke publik.

Kepada Jokowi,  anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP)

mengkhawatirkan tingginya jumlah dokter yang tewas karena Covid-19.

Salah satu pendukung utama Jokowi itu meminta agar Menkes dan jajarannya diperintahkan segera bertindak. Menghentikan angka kematian dokter dan  tenaga kesehatan.

Meski tidak menyebut secara spesifik agar Jokowi mengutamakan penanganan  kesehatan, Syafii jelas sangat khawatir. Dia bahkan menyinggung kemungkinan negara oleng bila sikap abai itu diteruskan.

( Pilihan sulit )

Desakan Budi Hartono dan Syafii Maarif yang berbeda kepentingan, membuat Jokowi dalam dilema besar.

Kepada para menterinya Jokowi sudah secara jelas —tapi bukan tegas —  agar lebih mengutamakan kesehatan ketimbang ekonomi.

Namun ucapan itu bisa diartikan hanya sekedar public relation, hanya lips service.

Meminjam istilah anak-anak muda sekarang “utamakan kesehatan, tapi boong.”

Terbukti ketika Anies Baswedan berniat menarik rem darurat, dia diserang oleh para menteri  dan beberapa kepala daerah di sekitar Jakarta.

Narasi yang dibangun senada. Seperti sebuah orkestrasi besar. Kebijakan Anies menghancurkan ekonomi nasional.

Konduktor orkestrasi besar itu tak tanggung-tanggung. Langsung dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Desakan untuk mengutamakan kesehatan, termasuk WA dari Syafii Maarif sesungguhnya  obat. Pahit,  tapi Insya Allah akan menyehatkan.

Sebaliknya iming-iming pertumbuhan ekonomi seperti dinyatakan bos Pabrik rokok Budi Hartono adalah racun disalut madu. Kelihatannya manis, tapi dampaknya sangat mematikan.

Bagaimana Jokowi menyikapinya?

Kita bisa membacanya dari keputusan Anies Baswedan. Jelang pemberlakuan PSBB total, Anies  mendapat tekanan keras dari para punggawa Jokowi di kabinet.

Jalan tengahnya kompromi. Kebijakan PSBB total menjadi PSBB diperlonggar.

Keputusan Anies adalah dejavu. Persis seperti tarik menarik pada awal pandemi. Anies menginginkan lockdown. Pemerintah pusat maunya PSBB.

Kita sudah melihat hasilnya sekarang. Jumlah korban terus meningkat. Kita juga belum tahu kapan masa puncak dan berharap kemudian melandai.

Di media, Walikota Bogor Bima Arya Sugianto, salah satu pendukung Jokowi  hanya bisa meratap dan menyesali.

“Kalau saja enam bulan lalu, lima bulan lalu, atau tiga bulan pertama,  serempak presiden sampaikan nomor satu kesehatan, kita lockdown semua, luar biasa itu,” kata Bima dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Sudah sangat jelas,  Jokowi lebih memilih tetap mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Lebih tepatnya mengakomodasi kepentingan para taipan dan korporasi besar. Bukan kesehatan rakyat.

Jokowi lebih memilih racun bersalut madu, ketimbang obat pahit yang menyehatkan.

Seperti Bima Arya kita tinggal bisa berandai-andai. Kalau saja, andai saja semua mulai siuman seperti Buya Syafii Maarif. End.

*Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Hersubeno Arief

Artikel PSBB: Obat, Madu, dan Racun di Tangan Jokowi pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/psbb-obat-madu-dan-racun-di-tangan-jokowi/feed/ 0
Amuk Orang Gila, Apakah By Design? https://parade.id/amuk-orang-gila-apakah-by-design/ https://parade.id/amuk-orang-gila-apakah-by-design/#respond Mon, 14 Sep 2020 12:37:45 +0000 https://parade.id/?p=6920 Jakarta (PARADE.ID)- Syeikh Ali Jabir ditusuk (13/9). Di atas podium. Beberapa menit jelang ceramah di masjid Falahuddin Tanjung Karang Barat Lampung. Di hadapan ratusan hingga ribuan jama’ah. Pelakunya seorang remaja usia 24 tahun. Pisau mengenai lengan sebelah kanan. Akibatnya, enam jahitan di luka bagian dalam, dan empat jahitan di luka bagian luar. Video kejadian penusukan […]

Artikel Amuk Orang Gila, Apakah By Design? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Syeikh Ali Jabir ditusuk (13/9). Di atas podium. Beberapa menit jelang ceramah di masjid Falahuddin Tanjung Karang Barat Lampung. Di hadapan ratusan hingga ribuan jama’ah. Pelakunya seorang remaja usia 24 tahun.

Pisau mengenai lengan sebelah kanan. Akibatnya, enam jahitan di luka bagian dalam, dan empat jahitan di luka bagian luar.

Video kejadian penusukan Ali Jabir viral. Semua orang bisa membukanya. Ada yang bilang, si pelaku nyasar leher. Ada lagi yang bilang mau nyasar dada.

Ingat, itu semua gak penting! Sebab, sasaran utamanya bukan Ali Jabir. Bukan terluka atau terbunuh. Bukan leher atau dada. Sesuai pengakuannya, Ali Jabir tak punya masalah pribadi, atau kelompok. Lalu apa tujuan penyerangan ini? Dan siapa otak dibelakang remaja 24 tahun itu?

Penyerangan terhadap Ali Jabir mengingatkan kita pada sejumlah peristiwa penyerangan “orang gila” di tahun 2018. Dua di Bandung, dan satu di Cirebon. Peristiwanya beruntun dan terjadi dalam waktu yang tak lama berselang.

Entah sudah berapa kali terjadi pembacokan atau penusukan “orang gila” terhadap tokoh Islam. Mulai dari muballigh, guru ngaji, imam masjid, dan sejenisnya. Pelakunya selalu diklaim sebagai “orang gila”. Bahkan klaim ini muncul sebelum uji psikis.

Yang unik, “orang-orang gila” itu tahu sasarannya. Gak ngasal, gak ngawur, dan gak salah bidikan. Mereka tahu identitas ustaz, muballigh, guru ngaji dan imam shalat. Orang-orang gila ini pun bisa mengambil momentum yang tepat. Pura-pura tidur di masjid. Datangi rumah ustaz. Atau saat ustaz sedang berceramah. Ada perencanaannya juga. Terbukti, mereka membawa senjata tajam. Bukan nemu dan ngambil di jalan. Seperti sangat terlatih.

Ada pertanyaan lagi: Kenapa orang gila itu muncul saat ada kegaduhan politik? Adakah hubungannya dengan pressure MUI dan Umat kepada penguasa? Atau ini hanya peristiwa kebetulan saja? Namanya juga bertanya, sah-sah saja dong…

Pertanyaan macam ini  hadir untuk memenuhi rasa penasaran publik. Tentu tak boleh menuduh sebelum ada bukti. Tapi, siapa tertuduh dan siapa yang bisa membuktikan?

Penyerangan Ali Jabir, jika tak dituntaskan penyelidikan dan penyidikannya, akan memperkuat asumsi publik bahwa ini semacam operasi. Sebuah operasi untuk menyampaikan pesan penting. Pesan apa dan kepada siapa?

Yang pasti, peristiwa penusukan “orang-orang gila” kepada muballigh, guru ngaji, imam masjid dan ustaz ini dirasakan oleh para aktifis keummatan sebagai sebuah teror yang serius. Terutama kepada mereka yang aktif melakukan gerakan moral-politik keummatan. Wajar jika kemudian ada yang curiga bahwa  ini bagian dari operasi untuk menakut-nakuti para aktifis keummatan yang selama ini makin kritis kepada penguasa.

Sulit membayangkan bahwa peristiwa penusukan oleh “orang-orang gila” yang beruntun dan berulangkali terjadi ini hanya sesuatu yang bersifat kebetulan belaka. Kenapa? Pertama, sasarannya selalu muballigh, ustaz, guru ngaji dan imam shalat. Kedua, kejadiannya berulang-ulang. Ketiga, ada perencanaan. Keempat, alat yang dipakai selalu mirip. Dari pisau, celurit atau parang. Kelima, seringkali peristiwa terjadi di saat situasi politik lagi kurang kondusif. Semoga asumsi ini salah.

Kejadian penyerangan ini seperti punya pola. Publik bertanya: adakah yang mendesign? Meski kecurigaan publik terus tumbuh, toh belum ada yang bisa mengurai bukti-buktinya.

Di sisi lain, muncul juga pertanyaan: Kenapa orang-orang gila itu tidak menyasar kepada para aktifis politik-keummatan? Ngeri! Kalau para aktifis keummatan yang disasar, seperti Din Syamsuddin, Abdullah Hehamahua, Habib Rizieq, Bachtiar Nasir, Rizal Ramli, Sobri Lubis, Slamet Ma’arif atau Yusuf Martak misalnya, maka dampaknya bisa panjang dan akan memicu gerakan sosial yang lebih besar. Bisa tak terkendali. Karena kemarahan publik bisa segera terkonsolidasi.

Jika asumsi dan spekulasi publik benar bahwa ada design dibalik beruntun dan berulangnya peristiwa orang gila ini, maka yang menarik untuk diteliti adalah pola rekruitmen eksekutor dan sistem operasinya. Apakah melalui uang dengan merekrut orang-orang miskin yang kepepet kebutuhan finansialnya. Namanya juga kepepet, pekerjaan apapun akan dilakukan.

Atau menggunakan pola doktrin. Tentu ini akan makan waktu cukup lama. Karena butuh keyakinan dan pembinaan.

Atau dihipnotis. Cara hipnotis akan memerlukan waktu yang jauh lebih pendek dan instan.

Yang pasti, melihat polanya, ada yang menganalisis bahwa ini kerja profesional. Hampir gak mungkin mampu dilakukan oleh pihak di luar operasi orang-orang yang terlatih.

Nah, disini aparat kepolisian harus berhasil mengungkap dengan terang benderang apa motif pelaku. Adakah pihak-pihak yang berada di belakang pelaku? Supaya spekulasi publik gak berkembang liar. Jangan buru-buru komferensi pers dan mengatakan itu kerjaan orang gila. Ini justru akan membuat kecurigaan makin tinggi.

Jakarta, 14 September 2020

*Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Tony Rosyid

Artikel Amuk Orang Gila, Apakah By Design? pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/amuk-orang-gila-apakah-by-design/feed/ 0
Syafii Maa’rif Kesiangan: Negara Mau Tenggelam Dikatakan Oleng https://parade.id/syafii-maarif-kesiangan-negara-mau-tenggelam-dikatakan-oleng/ https://parade.id/syafii-maarif-kesiangan-negara-mau-tenggelam-dikatakan-oleng/#respond Mon, 14 Sep 2020 10:34:16 +0000 https://parade.id/?p=6915 Jakarta (PARADE.ID)- Alhamdulillah. Meskipun sudah kesiangan, hampir zuhur, Syafii Maa’rif akhirnya terbangun juga. Kemarin, mantan ketua PP Muhammdiyah itu berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bukan surat yang berisi marah-marah. Hanya perasaan sedih beliau. Lebih tepat keprihatinan terhadap penanganan wabah Covid-19. Pak Syafii menyurati Jokowi pada saat korban tenaga medis semakin tak terkendali. Sudah […]

Artikel Syafii Maa’rif Kesiangan: Negara Mau Tenggelam Dikatakan Oleng pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Alhamdulillah. Meskipun sudah kesiangan, hampir zuhur, Syafii Maa’rif akhirnya terbangun juga. Kemarin, mantan ketua PP Muhammdiyah itu berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bukan surat yang berisi marah-marah. Hanya perasaan sedih beliau. Lebih tepat keprihatinan terhadap penanganan wabah Covid-19.

Pak Syafii menyurati Jokowi pada saat korban tenaga medis semakin tak terkendali. Sudah 115 dokter meninggal dunia karena tertular virus Corona. Ada tujuh profesor di antara 115 itu. Tenaga kesehatan lainnya, lebih banyak lagi.

“…plus tenaga medis yang juga wafat dalam jumlah besar pula,” tulis Syafii.

Beliau sengaja menyebutkan kepada Jokowi bahwa dirinya adalah salah seorang yang tertua di negeri ini. Barangkali dimaksudkan untuk menyentuh hati junjungan beliau itu agar Jokowi serius menanggapi imbauannya. Pak Syafii mengimbau supaya Presiden memerintahkan kepada Menkes untuk menolong nyawa para dokter semaksimal mungkin.

Sebetulnya, isi surat Syafii itu biasa-biasa saja. Namun, karena itu ditulis oleh salah seorang mentor yang paling dihormati Jokowi (kalau pun iya paling dihormati), diperkirakan akan diperhatikan. Akan ada dampaknya terhadap cara pemerintah menangani pandemi Covid-19.

Perlu kita cermati surat singkat Syafifi Maa’rif itu. Yang pertama dan paling utama adalah deskripsi beliau tentang kondisi negara pada saat ini. Syafii menggunakan narasi “negara akan oleng”. Ini adalah sindiran ‘ghaib’ Pak Syafii. Maksudnya, sindiran halus. Sindiran yang tak berwujud. Semoga saja Jokowi paham. Tapi, bersiap-siap saja kalau beliau akhirnya tak paham.

Bisa jadi Pak Syafii tak sampai hati menyebutkan situasi yang sebenarnya. Atau, boleh jadi pula Buya (panggilan untuk Pak Syafii) belum basuh muka dengan sempurna ketika beliau hanya menyebutkan “negara akan oleng”. Padahal, “negara sedang tenggelam”. Bukan “akan oleng”.

Mungkin juga sebutan “negara akan oleng” itu diucapkan Buya karena beliau bangun kesiangan terburu-buru. Belum selesai ‘download’ semua detail situasi terkini. Sehingga terasa kurang ‘nyambung. Tapi, tidak apa-apalah.

Kita tunggu saja ‘download’-nya usai. Mungkin nanti Buya akan memperbaiki narasi “akan oleng” itu. Para pembantu Buya perlu lebih sering meng-update beliau. Supaya beliau nanti tidak terlambat mencari pelampung.

Jangan sampai kapal tenggelam hingga ke dasar laut, Pak Syafii masih teriak-teriak “kapal oleng”. Bagus kasih beliau sarapan dulu sebelum berkomentar.

14 September 2020

*Wartawan Senior, Asyari Usman

Artikel Syafii Maa’rif Kesiangan: Negara Mau Tenggelam Dikatakan Oleng pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/syafii-maarif-kesiangan-negara-mau-tenggelam-dikatakan-oleng/feed/ 0
Demokrasi: Dari Cukong, oleh Cukong, untuk Cukong! https://parade.id/demokrasi-dari-cukong-oleh-cukong-untuk-cukong/ https://parade.id/demokrasi-dari-cukong-oleh-cukong-untuk-cukong/#respond Sun, 13 Sep 2020 02:27:56 +0000 https://parade.id/?p=6865 Jakarta (PARADE.ID)- Kredo demokrasi: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, tampaknya perlu segera di revisi. Khusus untuk Indonesia, harus segera diubah. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Yang lebih tepat: Dari Cukong,  Oleh Cukong, Untuk Cukong! Kredo itu lebih sesuai, pas dengan realitas, fakta, dan data praktik rezim pemilu langsung yang kini tengah diterapkan di Indonesia. Menko […]

Artikel Demokrasi: Dari Cukong, oleh Cukong, untuk Cukong! pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Kredo demokrasi: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, tampaknya perlu segera di revisi.

Khusus untuk Indonesia, harus segera diubah. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Yang lebih tepat: Dari Cukong,  Oleh Cukong, Untuk Cukong!

Kredo itu lebih sesuai, pas dengan realitas, fakta, dan data praktik rezim pemilu langsung yang kini tengah diterapkan di Indonesia.

Menko Polhukam Mahfud MD dalam Webinar dengan pusat studi Pusako FH Universitas Andalas, Padang (11/9) mengungkapkan 92  persen calon kepala  daerah dibiayai cukong.

Akibatnya sudah bisa diduga. Ketika terpilih muncullah korupsi kebijakan. Sebuah modus korupsi yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan korupsi uang.

“Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi uang. Kalau uang bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang yang sesudah saya periksa itu tumpang-tindih,” kata Mahfud.

Dari sisi UU, pemberian lisensi itu legal. Karena seorang kepala daerah boleh memberi konsensi tambang kepada pengusaha dengan memperhitungkan prosentase luas wilayah.

Pada praktiknya, kata Mahfud, lisensi itu diberikan lebih luas dari yang seharusnya. Bahkan tak sedikit kepala daerah juga berinisiatif membuka izin baru bagi para cukong yang pernah membantu membiayai masa kampanye ketika Pilkada sebelumnya.

Entah mendapat data dari mana, sehingga Mahfud MD bisa menyebut angka pasti 92 persen? Tetapi apa yang disampaikan Mahfud dijamin sahih. Mungkin kalau ada yang meleset, hanya pada jumlah presentasenya.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mengungkapkan data yang tak jauh berbeda.

Dari sebuah riset yang dilakukan oleh KPK, 82 calon kepala daerah dibiayai oleh cukong dan sponsor. Dari situlah korupsi berpangkal.

Para cukong ini tidak memberikan dana secara gratis. Seperti perjanjian dengan setan. Perjanjian orang yang mencari pesugihan, kekayaan di tempat-tempat keramat!

Untuk daerah yang memiliki potensi tambang, atau hutan mereka meminta imbal balik konsesi. Mulailah mereka menjarah habis tambang dan hutan.

Untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam (SDA) mereka mengincar berbagai kebijakan berupa kemudahan dan proteksi bisnis.

Sementara daerah yang tidak punya  SDA, secara bisnis juga tidak potensial, para cukong ini mengincar proyek-proyek APBD. Ini level korupsi yang paling kere. Tapi tetap saja setimpal hasilnya.

Para cukong inilah yang akan membiayai semua keperluan kandidat.

Mulai dari membayar tiket ke parpol, membayar lembaga survei, media dan iklan media, buzzer, pembuatan atribut, pengerahan massa, membayar aparat negara, sampai money politics.

Dalam banyak kasus,  para cukong ini membentuk konsorsium.  Mereka menjadi investor politik. Sebuah bisnis dengan keuntungan berkali lipat!

Biasanya tahapanya dimulai dengan menyewa lembaga survei untuk mendeteksi siapa kandidat yang paling potensial.

Dengan berbekal peta kekuatan kandidat,  para cukong mulai mendekati kandidat. Terciptalah kerjasama saling menguntungkan, berbuntut memainkan kebijakan. Menguras, menghancurkan SDA dan menggarong anggaran negara.

Berapa besar dana yang dikeluarkan untuk seorang kandidat kepala daerah?

Berdasarkan data dari Kemendagri untuk bupati paling sedikit Rp 25 miliar. Itu untuk daerah miskin. Semakin besar wilayah dan jumlah penduduknya, semakin besar biayanya. Angkanya mencapai ratusan miliar.

“Untuk pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” kata Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar (03/12/2019).

(Pilpres jauh lebih besar)

Kalau untuk maju sebagai kanidat kepala daerah saja butuh dana sampai triliunan, berapa besar dana untuk capres?

Angkanya jelas berkali lipat. Dipastikan tidak ada seorang caprespun yang bisa membiayai dirinya sendiri.

Seorang peneliti dari sebuah lembaga survei pernah menyebutkan, setidaknya dibutuhkan Rp 7 triliun. Jumlah itu sangat kecil. Sangat konservatif. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya.

Sebagai gambaran saja, pada pilpres 2019 jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 10.329. Kalau rata-rata ada dua saksi, dengan biaya saksi plus makan minum Rp 500 ribu, maka setidaknya membutuhkan dana Rp 405 miliar.

Belum lagi biaya untuk parpol, membeli media dan iklan, pengerahan masa, transport keliling Indonesia, pengerahan massa, money politics, dan biaya-biaya lain yang lebih kompleks, ruwet dan mahal dibanding pilkada.

Jangan pernah percaya dengan biaya kampanye yang dilaporkan tim sukses ke KPU. Kendati katanya sudah melalui audit akuntan publik, tapi semua itu hanya boong-boongan.

Bayar mahar ke parpol, money politics, pengerahan aparat keamanan dll, pasti tidak pernah dilaporkan.

Apakah kandidat membiayai sendiri? Tentu saja TIDAK!!!

Pada Pilpres 2019 Tim Kampanye Prabowo-Sandi melaporkan jumlah penerimaan dana kampanye sebesar Rp 191,5 miliar.

Dana Kampanye Prabowo-Sandi sebagian besar berasal dari Cawapres Sandiaga Uno. Total sumbangan Sandi Rp116 miliar atau 61 persen dari angka keseluruhan dana kampanye. Sedangkan Prabowo memberi sumbangan Rp71,4 miliar atau 34 persen dari total keseluruhan.

Sementara Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf pada 5 Maret 2019 melaporkan penerimaan dana kampanye sebesar Rp 130, 45 miliar.

Dana itu berasal dari sumbangan perorangan, badan usaha, sumbangan dari parpol Dll.  Tidak disebutkan adanya sumbangan dari Jokowi dan Ma’ruf.

Itu hanya laporan di atas kertas. Biaya kandidat jauh lebih besar. Puluhan triliun.

Disitulah para cukong berperan. Mereka membentuk konsorsium dari kalangan taipan yang telah menjelma menjadi oligarki. Mereka kemudian mengendalikan kebijakan politik, ekonomi dan hukum negara.

Jejaring dan kuku tajam mereka telah menancap kuat tidak hanya di kalangan eksekutif, yudikatif, para penegak hukum, dan eksekutif.

Ketua MPR Bambang Soesatyo secara terbuka pernah mengakui. Dengan bermodal Rp 1 triliun, cukong bisa menguasai Parpol. Artinya mereka bisa menguasai parlemen dan pemerintahan.

Kalau begitu dengan menggunakan pisau analisa Mahfud MD, berapa persen kandidat capres yang dibiayai cukong?

Jawabannya 100 persen! Tapi kalau mau konservatif,  dengan asumsi hanya ada dua pasang capres seperti pada Pilpres 2019, maka setidaknya 50 persen!

Cuma harus dicatat. Di kalangan pebisnis, apalagi investor politik ada adagium “Jangan pernah menaruh semua telur dalam satu keranjang.”

Dengan kandidat hanya dua calon, buat mereka lebih mudah membagi telurnya dalam dua keranjang. Hanya jumlah dan besarnya saja yang berbeda-beda. Tinggal baku atur.

Siapapun yang menang, para cukong akan tetap berkuasa.

Demokrasi Indonesia: DARI CUKONG, OLEH CUKONG, UNTUK CUKONG!

MERDEKAAAAA!! End.

*Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Hersubeno Arief

Artikel Demokrasi: Dari Cukong, oleh Cukong, untuk Cukong! pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/demokrasi-dari-cukong-oleh-cukong-untuk-cukong/feed/ 0