#MarwanBatubara Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/marwanbatubara/ Bersama Kita Satu Wed, 02 Sep 2020 01:38:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.2 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg #MarwanBatubara Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/marwanbatubara/ 32 32 Pertamina Merugi: Presiden Jokowi Harus Bertanggungjawab https://parade.id/pertamina-merugi-presiden-jokowi-harus-bertanggungjawab/ https://parade.id/pertamina-merugi-presiden-jokowi-harus-bertanggungjawab/#respond Wed, 02 Sep 2020 01:38:25 +0000 https://parade.id/?p=6552 Jakarta (PARADE.ID)- Situs Pertamina memublikasikan kerugian Pertamina Semester-1 2020 sebesar US$ 767,92 juta atau sekitar Rp11,33 triliun (kurs US$/Rp= 14.766). Dibanding periode sama tahun lalu, perolehan Pertamina ini merupakan kemunduran cukup sinifikan, karena saat itu Pertamina melaporkan keuntungan sebesar US$ 659,96 juta atau setara Rp9,7 triliun. Kita maklum jika banyak perusahaan merugi pada masa pandemi […]

Artikel Pertamina Merugi: Presiden Jokowi Harus Bertanggungjawab pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Situs Pertamina memublikasikan kerugian Pertamina Semester-1 2020 sebesar US$ 767,92 juta atau sekitar Rp11,33 triliun (kurs US$/Rp= 14.766). Dibanding periode sama tahun lalu, perolehan Pertamina ini merupakan kemunduran cukup sinifikan, karena saat itu Pertamina melaporkan keuntungan sebesar US$ 659,96 juta atau setara Rp9,7 triliun.

Kita maklum jika banyak perusahaan merugi pada masa pandemi corona. Kerugian bisa besar atau bisa kecil. Namun ada juga perusahaan migas yang masih untung, seperti Cinopec China, PTT Thailand, Indian Oil Company Ltd., Petronas, dll.

Untuk kasus Pertamina, kerugian tidak otomatis dapat diterima. Pemerintah harus bertanggungjawab seperti uraian berikut:

Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR (26/08/2020), Direktur Keuangan  Pertamina Emma Sri Martini mengatakan ada tiga faktor utama penyebab kerugian Pertamina, yaitu turunnya harga minyak dunia, kurs Rupiah terhadap US$ dan permintaan BBM. Harga minyak turun menyebabkan sektor hulu Pertamina merugi, sedangkan turunnya permintaan akibat corona menyebabkan sektor hilir merugi. Turunnya kurs berdampak pada tambahan beban keuangan, karena fundamental pembukuan Pertamina berdasar US$.

Kita paham bahwa ketiga faktor di atas menjadi sebab ruginya Pertamina. Namun bukan hanya ketiga faktor tersebut yang menjadi penyebab kerugian. Publik harus paham, ada penyebab kerugian lain, yang semuanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, aturan dan prinsip good corporate governance (GCG).

Pertama, Pertamina harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar US$ 784 juta (sekitar Rp11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, mengelola Blok Rokan hak mandatori Pertamina.

Hal yang lebih runyam, meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019. Untuk itu Pertamina harus menerbitkan surat utang! Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa SB, dan berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021.

Kedua, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar US$ 8 per barel (Banyu Urip) dan US$ 11 per barel (Duri) dibanding ICP crude jenis lain. Hal ini terlihat pada Kepmen ESDM No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan “anomali” perbedaan harga masih sama.

Rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph), sedang lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua lapangan dibeli Pertamina, maka nilai “kemahalan” yang harus dibayar Pertamina (asumsi US$/Rp= 14.500, 1 semester= 180 hari) adalah: untuk Banyu Urip (US$8/barel x 210.000 barel/hari x 180 hari) = US$ 302,4 juta, untuk Duri (US$ 11/barel x 170.000 barel/hari x 180 hari)= 336,6 juta. Sehingga nilai “keabnormalan” harga yang harus dibayar Pertamina US$ (302,4 + 336,6) juta= U$ 639 juta atau sekitar Rp9,25 triliun.

Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100 persen produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina. Jika diasumsikan biaya cost recovery ditambah nilai bagi hasil (split) rata-rata kontraktor adalah 35 persen total produksi, maka 35 persen dari nilai kemahalan tersebut (Rp3,24 triliun) malah dinikmati oleh asing Chevron (Duri) dan Exxon (Banyu Urip)!

Ketiga, Pertamina harus menanggung beban pencitraan politik dalam rangka Pilpres 2019, sehingga harus terlebih dahulu menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017. Menurut Dirkeu Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut adalah Rp96,5 triliun kompensasi dan Rp13 triliun subsidi. Sehingga total beban kebijakan populis tersebut adalah Rp109,5 triliun.

Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat corona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default.

Karena utang pemerintah Rp109,5 triliun tak dilunasi, Pertamina harus menerbitkan surat utang. Beban surat utang Pertamina sejak 2011 mencapai US$12,5 miliar. Khusus untuk 2018-2020, akibat menanggung akumulasi utang pemerintah Rp109,5 triliun di atas, Pertamina setiap tahun harus menerbitkan bond US$750 juta (2018), US$1,5 miliar (2019) dan US3 miliar (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65 persen hingga 6,5 persen.

Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah US$5,25 miliar. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 yang menjadikan Pertamina sapi perah adalah sekitar US$210 juta atau sekitar Rp3 triliun.

Keempat, selain ketiga faktor penyebab di atas, Pertamina juga harus menanggung beban kebijakan lain berupa public service obligation (PSO) BBM satu harga, PSO over quota LPG 3kg, pembangunan rumah sakit untuk Covid-19, akuisisi perusahaan Maurel & Prom Prancis diperkirakan bernuansa moral hazad, dll. Sesuai UU BUMN No.19/2003 beban PSO harus ditanggung APBN. Keseluruhan beban kebijakan tersebut dapat mencapai triliunan Rp juga.

Hanya dari 3 kebijakan pemerintah yang diurai di atas yaitu 1) beban keuangan SB Rokan Rp11,3 triliun, 2) membeli crude domestic mahal Rp9,25 triliun dan 3) biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp3 tiriliun, Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp23,55 triliun. Artinya, jika kebijakan  sesuai konstitusi, tidak melanggar aturan dan GCG, maka Pertamina masih untung sekitar Rp (23,55 – 11,3) triliun = Rp12,25 triliun.

Terkait posisi Ahok sebagai Komut yang masih dihujat publik, masalahnya sama, yaitu pemerintah mengangkat Ahok tanpa peduli aturan dan GCG. Ahok diangkat menjadi Komut dengan melanggar sejumlah ketentuan dalam UU BUMN No.19/2003, Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan Pengangkatan Komisaris BUMN, dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan GCG. Karena itu, seperti juga sikap publik, IRESS bersikukuh pada sikap semula, Ahok harus segera dilengserkan dari posisi Komut Pertamina.

Jika dikaitkan dengan peraturan harga BBM yang berlaku saat ini, dimana pemerintah tak kunjung menurunkan harga BBM, sebenarnya konsumen BBM telah mensubsidi Pertamina minimal Rp20 triliun. Artinya, rakyat telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian yang lebih besar dari sekedar Rp11,3 triliun. Untuk itu IRESS bersama sejumlah tokoh dan aktivis telah mengajukan Somasi terhadap Presiden dan Citizen Law Suit kepada Pengadilan Jakarta Pusat menuntut ganti kemahalan harga BBm pada Juni-Juli 2020. Masalah ini akan dibahas dalam tulisan IRESS berikutnya.

Sebagai kesimpulan, kerugian Pertamina sebenarnya terjadi akibat kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, peraturan dan GCG. Dalam kondisi harga BBM yang tetap tinggi seperti sekarang, Pertamina malah bisa untung Rp12,25 triliun, jika pelanggaran tidak terjadi. Namun karena berbagai pelanggaran oleh pemerintah, 265 juta rakyat kehilangan kesempatan memperoleh manfaat SDA migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keuntungan hanya dinikmati segelintir orang dalam lingkar kekuasaan. Karena itu, sebagai pemimpin pemerintahan, rakyat wajar menuntut pertangungjawaban Presiden Jokowi.

Jakarta, 2 September 2020

* Marwan Batubara, IRESS

Artikel Pertamina Merugi: Presiden Jokowi Harus Bertanggungjawab pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/pertamina-merugi-presiden-jokowi-harus-bertanggungjawab/feed/ 0
IRESS: Rencana IPO Anak Usaha Pertamina Inkonstitusional dan Tidak Adil! https://parade.id/iress-rencana-ipo-anak-usaha-pertamina-inkonstitusional-dan-tidak-adil/ https://parade.id/iress-rencana-ipo-anak-usaha-pertamina-inkonstitusional-dan-tidak-adil/#respond Tue, 25 Aug 2020 02:05:43 +0000 https://parade.id/?p=6267 Jakarta (PARADE.ID)- Pemerintah segera menjual saham (initial public offering, IPO) anak-anak usaha (sub-holding) Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengkondisian dan kajian pelaksanaan IPO sedang disusun. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, IPO antara lain bertujuan mencari dana murah dan memperbaiki good corporate governance (GCG), transparansi dan akuntabilitas. IPO atau privatisasi suatu perusahaan di BEI guna […]

Artikel IRESS: Rencana IPO Anak Usaha Pertamina Inkonstitusional dan Tidak Adil! pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Pemerintah segera menjual saham (initial public offering, IPO) anak-anak usaha (sub-holding) Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengkondisian dan kajian pelaksanaan IPO sedang disusun. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, IPO antara lain bertujuan mencari dana murah dan memperbaiki good corporate governance (GCG), transparansi dan akuntabilitas.

IPO atau privatisasi suatu perusahaan di BEI guna memperoleh dana dan meningkatkan GCG merupakan hal lumrah. Masalahnya, karena perusahaan yang akan di-IPO anak usaha BUMN, maka persoalan menjadi lain. Apa pun alasannya, IRESS menilai rencana tersebut harus dibatalkan karena berlawanan dengan konstitusi. Apalagi, ternyata dana yang murah dan peningkatan GCG justru dapat diraih tanpa harus IPO!

Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2020 total obligasi Pertamina mencapai sekitar US$ 12,5 miliar dengan tingkat bunga (kupon), tergantung tenor dan kondisi pasar, antara 3,1 persen hingga 6,5 persen (weighted average kupon sekitar 4,3 persen). Nilai kupon tersebut ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125 persen (US$ 1,35 miliar, 5/2014).

Kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,30 persen) yang tidak go public tidak lebih tinggi (atau hampir sama) dengan kupon obligasi sejumlah BUMN go public. Misalnya kupon-kupon obligasi Bank Mandiri 4,7 persen (US$ 2,4 miliar, 4/2020), BTN 4,25 persen (US$ 300 juta, 1/2020), BNI 8 persen (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8 persen (US$ 300 juta, 12/2017). Ini menujukkan meski tidak go public/IPO, Pertamina mampu memperoleh “dana murah” dengan tingkat kupon lebih rendah atau setara dengan kupon BUMN yang sudah IPO.

Peringkat utang Pertamina malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi yang diterbitkan mendapat jaminan pemerintah. Karena saham negara di Pertamina masih 100%, jaminan pemerintah terhadap Pertamina otomatis melekat. Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO Pertamina justru dapat mengkases dana lebih murah dibanding BUMN yang sudah IPO.

Terkait GCG, masalah justru timbul dari para pejabat pemerintah, hingga level Presiden. Intervensi pemerintah telah merusak kinerja BUMN, sehingga peringkat utang bisa turun. GCG Pertamina akan otomatis meningkat, jika oknum pejabat pemerintah mampu menahan dan tidak menjadikan BUMN sebagai sapi perah. Selain itu, Pertamina pun harus dijadikan sebagai non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham meski hanya 1 persen pun. Dengan begitu, GCG-nya akan menigkat lebih baik.

Jelas terlihat tanpa IPO, target dana murah dan perbaikan GCG dapat tercapai. Kuncinya ada pada pemerintah yang sering melanggar GCG. Kebijakan pencitraan Pilpres 2019 membuat Pertamina menanggung beban subsidi 2017-2019 sekitar Rp 96,5 triliun. Jika tidak segera dilunasi, Pertamina berpotensi gagal bayar. Karena itu, kita ingatkan agar pemerintah dan manajemen Pertamina, untuk berhenti memanipulasi informasi dengan mengatakan: IPO anak usaha Pertamina diperlukan agar dapat mengakses dana murah dan meningkatkan GCG.

Inkonstitusionalitas IPO Anak Usaha Pertamina

Menurut Pasal 33 UUD 1945 Pertamina adalah BUMN yang mendapat mandat negara memenuhi hajat hidup orang banyak dan mengelola sumber daya alam (SDA) migas, guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ada 3 aspek penting Ayat 2 dan Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yaitu: 1) pemenuhan hajat hidup publik, 2) pengelolaan SDA, dan 3) pencapaian target sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dominasi BUMN mengelola SDA ini telah diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.36/2012 dan No.85/2013. Pada prinsipnya MK menyatakan penguasaan negara terhadap SDA dijalankan dalam bentuk pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. Kekuasaan negara dalam pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan dan pengawasan ada di tangan Pemerintah dan DPR. Sedangkan penguasaan negara dalam pengelolaan SDA berada di tangan BUMN.

Amanat Pasal 33 UUD 1945 di atas diimplementasikan dalam peraturan operasional yang termuat dalam UU BUMN No.19/2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004. Pasal 77 huruf (c) dan (d) UU BUMN No.19/2003 menyatakan: Persero tidak dapat diprivatisasi karena: (c), oleh pemerintah ditugasi melaksanakan kegiatan berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan (d), bergerak di bidang SDA yang diatur UU tidak boleh diprivatisasi.

Sedangkan Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 berbunyi sbb:

(9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100 persen dimiliki Negara.

Gabungan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan ketentuan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya hanyalah BUMN/Pertamina. Hak istimewa pengelolaan SDA hanya diberikan negara kepada Pertamina jika saham pemerintah di Pertamina masih utuh 100 persen. Jika saham pemerintah kurang dari 100 persen, maka privilege akan hilang. Artinya, anak usaha yang sudah IPO tidak berhak mendapat privilege mengelola SDA.

Sebagai contoh, karena 100 persen sahamnya milik negara, Pertamina berhak mengelola Blok Rokan. Jika anak usaha Pertamina yang berfungsi mengelola Blok Rokan kelak di-IPO, maka terjadilah privatisasi. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 yang melarang privatisasi BUMN pengelola SDA sesuai konstitusi. Jika anak usaha tersebut tetap di-IPO maka telah terjadi pelanggaran konstitusi dan UU.

Skema IPO Tidak Berkeadilan

Jika IPO anak usaha Pertamina tetap dijalankan, maka publik pembeli saham anak usaha tersebut otomatis menikmati hak istimewa penguasaan SDA negara. Sedang mayoritas rakyat yang miskin atau tidak punya dana, tidak berkesempatan menikmati hak istimewa tersebut. Apalagi jika pembeli saham adalah warga negara atau negara asing. Kondisi ini tentu tidak adil dan bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila.

Selain itu, penguasaan SDA migas oleh BUMN 100 persen milik negara akan menjamin 100 persen keuntungan BUMN dinikmati seluruh rakyat rakyat melalui mekanisme APBN. Jika sebagian   saham BUMN dijual, maka keuntungan BUMN akan terbagi kepada para pemegang saham publik/asing. Kondisi ini juga tentu tidak adil. Artinya terjadi pelanggaran terhadap mekanisme distribusi manfaat SDA yang berkeadilan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Sebagai kesimpulan, IPO anak usaha melalui skema unbundling harus segera dihentikan karena selain inkonstitusional dan bertentangan dengan aturan berlaku, juga melanggar prinsip persamaan dan keadilan sesama anak bangsa. Sesuai konstitusi, larangan privatisasi sektor SDA berlaku bukan hanya terhadap induk usaha, tetapi juga terhadap anak usaha BUMN. Karena itu, rekayasa licik pembentukan sub-holding untuk tujuan IPO anak usaha, yang lebih ditujukan untuk kepentingan oligarki dan kapitalis liberal, juga harus segera dihentikan.

Jakarta, 25 Agustus 2020

*Marwan Batubara, IRESS

Artikel IRESS: Rencana IPO Anak Usaha Pertamina Inkonstitusional dan Tidak Adil! pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/iress-rencana-ipo-anak-usaha-pertamina-inkonstitusional-dan-tidak-adil/feed/ 0