Partai Gelora Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/partai-gelora/ Bersama Kita Satu Tue, 20 Aug 2024 10:43:41 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.3 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg Partai Gelora Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/partai-gelora/ 32 32 MK Kabulkan Permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Ambang Batas https://parade.id/mk-kabulkan-permohonan-partai-buruh-dan-partai-gelora-terkait-ambang-batas/ https://parade.id/mk-kabulkan-permohonan-partai-buruh-dan-partai-gelora-terkait-ambang-batas/#respond Tue, 20 Aug 2024 10:38:15 +0000 https://parade.id/?p=27709 Jakarta (parade.id)- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Putusan perkara yang […]

Artikel MK Kabulkan Permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Ambang Batas pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (parade.id)- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah.

Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota).

Putusan perkara yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora ini dibacakan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Ketua MK Suhartoyo yang membacakan Amar Putusan tersebut menyampaikan Mahkamah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian.

“Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur,” demikian dikutip laman MK, Selasa(20/8/2024).

Pertama, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;

Kedua, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut;

Ketiga, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;

Keempat, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;

Adapun untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota, pertama kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;

Kedua, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;

Ketiga, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;

Keempat, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 persen (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut.

“Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo.

Sementara, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah mempertimbangkan bahwa norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada merupakan norma yang menjabarkan lebih lanjut ketentuan Pasal 39 huruf a UU 8/2015 yang menyatakan, “Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik”.

Dalam konteks ini, norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada dapat dikatakan sebagai desain pengaturan ambang batas (threshold) untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dengan model alternatif.

Pertama, apakah dapat memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD. Atau, kedua, apakah dapat memenuhi 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

“Kedua pilihan threshold pencalonan kepala daerah tersebut ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menentukan pilihan mana yang dapat dipenuhi,” ujar Enny.

Berkenaan dengan alternatif pertama, Enny melanjutkan, ditentukan lebih lanjut persyaratannya dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada yang pada pokoknya hanya untuk memberikan kepastian terkait dengan cara penghitungan pecahan persentase dari jumlah kursi DPRD paling sedikit 20 persen.

Apabila ternyata hasil bagi jumlah kursi DPRD tersebut menghasilkan angka pecahan, maka untuk kepastian perolehan jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.

Sementara itu, lanjut Enny, terhadap norma Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada juga menjelaskan lebih lanjut alternatif pencalonan kepala daerah apabila akan digunakan 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, namun tidak menegaskan apabila ternyata hasil bagi suara sah tersebut menghasilkan angka pecahan sebagaimana pola yang ditentukan dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada.

Dalam kaitan ini, norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 justru memberikan ketentuan tambahan yaitu, akumulasi perolehan suara sah tersebut “hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD” sebagaimana dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon karena tidak sejalan dengan maksud kepala daerah dipilih secara demokratis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

“Artinya, baik menggunakan alternatif pertama atau kedua dipersyaratkan oleh Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) UU 10/2016 harus sama-sama mempunyai kursi di DPRD. Ketentuan ini merugikan hak partai politik yang telah ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu serentak nasional 2024 yang telah memiliki suara sah, namun tidak memiliki kursi di DPRD, karena tidak dapat mengusulkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” jelas Enny.

Jamin Hak Konstitusional Parpol

Dikatakan Enny, bertolak pada pertimbangan hukum di atas apabila dikaitkan dengan permohonan pengujian Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, menurut Mahkamah kata “atau” dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada pada prinsipnya membuka peluang bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memiliki akumulasi suara sah, in casu suara 25 persen.

Namun, karena berlakunya norma Pasal 43 ayat (3) UU Pilkada, maka peluang bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD menjadi hilang atau tertutup.

Sebab, lanjut Enny, pasal tersebut telah menegasikan norma yang telah memberikan alternatif, in casu Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016. Batasan 25 persen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 adalah akumulasi perolehan suara karena partai politik tetap diakui keabsahannya dan diakui eksistensinya sebagai partai politik menurut Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu, sampai Pemilu berikutnya sesuai dengan threshold dan persyaratan yang akan ditentukan ke depan oleh pembentuk undang-undang.

“Dengan telah dinyatakan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, oleh karena keberadaan Pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 a quo, sebagai bagian dari norma yang mengatur mengenai pengusulan pasangan calon,” tegas Enny.

Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memeroleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu.

“Dalam konteks demikian, dengan telah dibukanya peluang bagi perseorangan untuk mencalonkan diri dengan syarat-syarat tertentu, maka pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara sah partai politik gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi tidak berdasar dan kehilangan rasionalitas jika syarat pengusulan pasangan calon dimaksud lebih besar daripada pengusulan pasangan calon melalui jalur perseorangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dan Pasal 41 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU 10/2016,” ucap Enny.

Oleh karena itu, lanjut Enny, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Sebab, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu.

Terhadap putusan Mahkamah a quo, terdapat alasan berbeda dari Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengajukan alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).

“Yang pada pokoknya yang concurring berpendapat bahwa seharusnya Mahkamah memutus perkara a quo dengan konstitusional bersyarat sementara yang dissenting terhadap norma yang dilakukan pengujian telah konstitusional dan seharusnya Mahkamah menolak permohonan para Pemohon,” ujar Suhartoyo.*

Artikel MK Kabulkan Permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Ambang Batas pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/mk-kabulkan-permohonan-partai-buruh-dan-partai-gelora-terkait-ambang-batas/feed/ 0
Partai Gelora: KIM, PKS, dan Anies https://parade.id/partai-gelora-kim-pks-dan-anies/ https://parade.id/partai-gelora-kim-pks-dan-anies/#respond Tue, 13 Aug 2024 09:07:04 +0000 https://parade.id/?p=27658 Jakarta (parade.id)- Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menyatakan, masih menunggu pembicaraan akhir di internal Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengenai calon yang bakal mendampingi Ridwan Kamil maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024. “Sampai sekarang kita belum bicarakan di KIM sebagai KIM, ya. Tetapi sebagai proses kita mengikuti saja perkembangannya. Cuma di KIM-nya sendiri kita belum membicarakan […]

Artikel Partai Gelora: KIM, PKS, dan Anies pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (parade.id)- Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menyatakan, masih menunggu pembicaraan akhir di internal Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengenai calon yang bakal mendampingi Ridwan Kamil maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024.

“Sampai sekarang kita belum bicarakan di KIM sebagai KIM, ya. Tetapi sebagai proses kita mengikuti saja perkembangannya. Cuma di KIM-nya sendiri kita belum membicarakan sama sekali,” kata Anis Matta, dalam rilisnya, Senin (12/8/2024).

Anis Matta menyampaikan itu usai penyerahan Surat Rekomendasi 14 Cakada di Gelora Media Center.

Menurut Anis Matta, akan banyak kejutan yang  masih terjadi hingga pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober 2024 mendatang, termasuk soal isu bergabungnya PKS dan kemunculan nama ‘S’ mantan Ketua Umum Partai Golkar.

“Kalau kita sih santai aja, kayak gitu ya. Jangan tegang dengan persoalan masuk dan keluar, gitu. Cuma menurut saya sampai tanggal 20 Oktober masih akan banyak kejutan lagi yang terjadi. Kalau kita santai saja,” katanya.

Namun, Anis Matta meminta soal munculnya nama Suswono, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PKS yang digadang-gadang bakal menjadi calon wakil gubernur dari Ridwan Kamil agar ditanyakan langsung ke PKS.

“Saya kira itu urusan internal PKS, ya. Nah, itu urusan internal PKS. Anda tanyakan kepada mereka itu,” ujar Ketua Umum Partai Gelora ini.

Anis Matta juga memastikan tidak memiliki masalah dengan PKS. “Saya kira tidak (masalah) tidak. Kita tidak punya masalah dengan itu semua,” kata Anis Matta.

Sementara Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menegaskan, kegagalan bekas calon presiden (Capres) di Pilpres 2024,  Anies Baswedan untuk maju di Pilgub Jakarta, bukan disebabkan oleh penjegalan, melainkan karena sikap pragmatisme partai-partai politik pengusungnya.

“Tidak ada penjegalan. Ini soal pragmatisme dalam pemilihan tiket saja,” kata Fahri  Hamzah, di rilis yang sama.

Fahri mengatakan, pada saat Pilpres 2024 lalu, partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai NasDem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pada prinsipya hanya untuk mengamankan suara partai mereka agar tidak mengalami penurunan drastis.

“Dulu mungkin ada (Parpol) yang memerlukan popularitas untuk bisa bertahan agar tidak kehilangan suara pada Pileg 2024. Saya mengatakan, saya tuduh, partai-partai yang mengambil Anies Baswedan saat itu melakukannya untuk bertahan,” kata dia.

Dijelaskan mantan Wakil Ketua DPR RI itu bahwa pragmatisme partai-partai tersebut terlihat ketika Anies tidak lagi dipertimbangkan untuk Pilgub Jakarta, karena mereka menganggap mengusung Anies tidak lagi menguntungkan.

Apalagi, partai-partai pengusung Anies di Pilpres 2024 dikabarkan akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus untuk Pilkada Jakarta 2024.

“Setelah pemilu selesai, Anies Baswedan tidak diperlukan lagi. Partai-partai itu berpikir seperti itu, tidak ada lagi kepentingan untuk mendukung Anies. Ini saatnya introspeksi bersama. Kami sudah tahu dari awal akan seperti ini, dan mudah-mudahan mereka sadar,” pungkasnya.*

Artikel Partai Gelora: KIM, PKS, dan Anies pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/partai-gelora-kim-pks-dan-anies/feed/ 0