#Permendikbud Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/permendikbud/ Bersama Kita Satu Wed, 24 Nov 2021 12:28:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.2 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg #Permendikbud Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/permendikbud/ 32 32 Pandangan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) soal Sexual Consent di Permendikbud https://parade.id/pandangan-aliansi-cinta-keluarga-indonesia-aila-soal-sexual-consent-di-permendikbud/ https://parade.id/pandangan-aliansi-cinta-keluarga-indonesia-aila-soal-sexual-consent-di-permendikbud/#respond Wed, 24 Nov 2021 12:28:28 +0000 https://parade.id/?p=16317 Jakarta (PARADE.ID)- Terkait dengan kontroversi paradigma sexual consent dalam Permendikbud 30/21 dan masih berlangsungnya proses legislasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) yang sejak periode 2014 -2019 lalu telah melakukan advokasi dan kajian kritis terhadap RUU serupa, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), menyatakan pandangannya. Berikut […]

Artikel Pandangan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) soal Sexual Consent di Permendikbud pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Terkait dengan kontroversi paradigma sexual consent dalam Permendikbud 30/21 dan masih berlangsungnya proses legislasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) yang sejak periode 2014 -2019 lalu telah melakukan advokasi dan kajian kritis terhadap RUU serupa, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), menyatakan pandangannya.

Berikut pandangan AILA dalam keterangan persnya, Rabu (24/11/2021):

1. AILA Indonesia mengapresiasi Baleg DPR yang telah memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan draft RUU TPKS.
2. Namun setelah mempelajari Naskah Akademik dan draft terakhir RUU TPKS, AILA Indonesia menghimbau agar DPR secara eksplisit menutup semua celah masuknya paradigma sexual consent dalam draft RUU, karena dalam Naskah Akademik tersebut, tampak kerangka berpikir dan konstruksi hukum yang digunakan masih mengadopsi feminisme. Harus diingat bahwa pengadopsian sexual consent sebagai paradigma hukum telah ditolak oleh berbagai elemen masyarakat karena akan menyuburkan perilaku seks bebas dan berpotensi menjadi pintu masuk legalisasi pernikahan sejenis (LGBT), sebagaimana yang terjadi di negara-negara Barat.
3. Oleh karena itu, untuk menghindari paradigma sexual consent dalam RUU tersebut, AILA Indonesia tetap konsisten menyarankan kepada DPR untuk mengganti terminologi kekerasan seksual dengan kejahatan seksual, agar diperoleh sebuah produk hukum yang lebih komprehensif dan mampu menyelesaikan akar permasalahan kekerasan melalui upaya pencegahan yang bersifat preventif. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari pengabaian terhadap sejumlah fakta dan data di lapangan yang menunjukan maraknya kasus-kasus kejahatan seksual yang dilakukan berdasarkan persetujuan (consent) namun tidak ada payung hukum yang dapat menjerat pelakunya seperti zina dan LGBT. Jika kekosongan hukum ini dibiarkan, maka RUU TPKS akan menjadi “karpet merah” bagi pelaku kejahatan seksual karena ketiadaan norma hukum yang mengatur perbuatan menyimpang yang dilakukan dengan persetujuan.
4. Apabila RUU TPKS dimaksudkan sebagai aturan yang bersifat khusus atau “lex specialis” mengenai tindak pidana seksual, mengapa substansi RUU tersebut tidak komprehensif? Karena tidak memasukkan sejumlah tindakan penyimpangan seksual seperti homoseksual, incest, ataupun zina, yang jelas- jelas dikategorikan sebagai kejahatan seksual, dengan dalih bahwa penyimpangan seksual tersebut sudah diatur di dalam RUU KUHP. Persoalannya, hingga saat ini, RUU KUHP belum juga disahkan, dan bahkan tidak diketahui dengan pasti kapan RUU tersebut akan disahkan, mengingat perdebatan yang keras mengenai pasal- pasal dalam RUU KUHP. Oleh karena itu, perlu sinkronisasi & harmonisasi antara RUU TPKS dengan RUU KUHP untuk menghindari ketidakpastian hukum yang akan merugikan efektifitas RUU TPKS, dan juga untuk menjaga sinkronisasi antara aturan yang bersifat umum dengan aturan yang bersifat khusus. Namun apabila RUU TPKS tidak hendak melakukan sinkronisasi & harmonisasi dengan RUU KUHP mengenai penyimpangan seksual, hal ini justru akan menimbulkan pertanyaan masyarakat, apakah agenda sebenarnya dari penyusunan RUU TPKS ini?
5. Keterbatasan penggunaan terminologi “kekerasan seksual” sebagai RUU, diantaranya adalah: 1) hanya dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk kejahatan; 2) terbatas pada hal-hal yang bersifat “paksaan”, “tidak adanya persetujuan”; 3) menegasikan nilai-nilai baik dan buruk yang berasal dari nilai agama, sosial, dan budaya; 4) mempersempit daya jangkau pengaturan RUU sebagai aturan “lex specialis” yang idealnya dapat mengatur perbuatan yang tidak masuk dalam kategori “kekerasan” seperti halnya sexual consent (suka sama suka) khususnya mengenai hubungan di luar pernikahan.
6. Istilah “kekerasan seksual” dalam makna pemaksaan hubungan seksual telah diatur dalam Pasal 8 UU 23/2004 tentang Penghapusan KDRT. []

Artikel Pandangan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) soal Sexual Consent di Permendikbud pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/pandangan-aliansi-cinta-keluarga-indonesia-aila-soal-sexual-consent-di-permendikbud/feed/ 0
Aliansi Mahasiswa Bersuara Sultra Tolak Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 https://parade.id/aliansi-mahasiswa-bersuara-sultra-tolak-permendikbudristek-nomor-30-tahun-2021/ https://parade.id/aliansi-mahasiswa-bersuara-sultra-tolak-permendikbudristek-nomor-30-tahun-2021/#respond Mon, 22 Nov 2021 04:40:28 +0000 https://parade.id/?p=16274 Kendari (PARADE.ID)-Puluhan orang yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Bersuara Sulawesi Tenggara (Sultra) hari ini, Senin (22/11/2021) melakukan aksi unjuk rasa terkait Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang dikeluarkan Menteri Nadiem Makarim. Dalam keterangan Aliansi Mahasiswa tersebut, setidaknya ada beberapa poin yang dituntut. Pertama, mereka meminta agar Menteri Nadiem mencabut Permeristekdikti No 30 tahun 2021 itu. Kedua, […]

Artikel Aliansi Mahasiswa Bersuara Sultra Tolak Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Kendari (PARADE.ID)-Puluhan orang yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Bersuara Sulawesi Tenggara (Sultra) hari ini, Senin (22/11/2021) melakukan aksi unjuk rasa terkait Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang dikeluarkan Menteri Nadiem Makarim.

Dalam keterangan Aliansi Mahasiswa tersebut, setidaknya ada beberapa poin yang dituntut. Pertama, mereka meminta agar Menteri Nadiem mencabut Permeristekdikti No 30 tahun 2021 itu.

Kedua, mereka menolak adanya upaya liberalisasi perguruan tinggi oleh pembiayaan berbasis utang lewat penerbitan obligasi dalam penanganan kekerasan seksual.

“Tinggalkan paradigma sekuler dalam membentuk norma kehidupan bermasyarakat, sebab tidak menyelesaikan masalah, bahkan mendapatkan masalah berupa kesempitan di dunia dan dikumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta, sebagaimana peringatan Allah subhana wa taala, dalam Alquran Surat Thaha 124,” demikian keterangan yang diterima parade.id, Senin (22/11/2021) siang.

Aliansi Mahasiswa ini juga menuntut agar menerapkam Syariat Islam dalam upaya menghapus kekerasan seksual dan tindakan asusila yang merusak perilaku masyarakat.

“Tegakkan khilafah. Khilafah adalah ajaran Islam sebagaimana fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hanya Khilafah yang mampu menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sebuah negara yang dapat mewujudkan konstruksi sosial sesuai ajaran Islam.”

Muslim Al Hamid selaku Jenderal Lapangan dalam aksi tersebut mengatakan bahwa Permendikbudristek PPKS tersebut dibentuk atas dasar pertimbangan, bahwa dengan semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kurang optimalnya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi.

“Segera peraturan tersebut mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat,” katanya, masih dalam keterangan itu.

Menurut mereka, Permendikbud tersebut seperti telah melegalkan perzinahan.

“Penolakan tersebut berkaitan dengan materi muatan Permendikbudristek PPKS pada Pasal 5 Ayat (2) huruf a b, f, g, h, l dan m yang secara paradigmatik dapat ditafsirkan melegalkan seks dengan dalih persetujuan (sexual consent) dan mengakui keberadaan gender selain pria dan wanita sebab tidak adanya batasan definisi yang jelas.”

Organisasi yang ikut andil dalam aksi tersebut yaitu BKLDK Sultra, Gema Pembebasan Sultra, LDK Upmi-IAIN Kendari dan Komunitas Muslim Sultra. Aksi dilangsungkan di Lampu merah Wua-wua kota Kendari.

(Verry/PARADE.ID)

Artikel Aliansi Mahasiswa Bersuara Sultra Tolak Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/aliansi-mahasiswa-bersuara-sultra-tolak-permendikbudristek-nomor-30-tahun-2021/feed/ 0
Sikap Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan terhadap Permendikbud Nomor 6 2021 https://parade.id/sikap-aliansi-organisasi-penyelenggara-pendidikan-terhadap-permendikbud-nomor-6-2021/ https://parade.id/sikap-aliansi-organisasi-penyelenggara-pendidikan-terhadap-permendikbud-nomor-6-2021/#respond Fri, 03 Sep 2021 09:44:54 +0000 https://parade.id/?p=14783 Jakarta (PARADE.ID)- Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan mengeluarkan pernyataan sikap terkait Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler. Pertama, menurut Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan, dalam merumuskan berbagai peraturan dan kebijakan, Kemendikbudristek seharusnya memegang teguh amanat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan […]

Artikel Sikap Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan terhadap Permendikbud Nomor 6 2021 pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan mengeluarkan pernyataan sikap terkait Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler.

Pertama, menurut Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan, dalam merumuskan berbagai peraturan dan kebijakan, Kemendikbudristek seharusnya memegang teguh amanat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

“Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa, ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.’ Oleh karena itu Pemerintah seharusnya membiayai pendidikan seluruh peserta didik karena ini merupakan hak konstitusional warga Negara,” demikian bunyi pernyataan sikapnya, Jumat (3/9/2021).

Berdasarkan butir 1 dan butir 2 di atas, Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan pun menyatakan penolakannya terhadap Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler khususnya Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler.

Mereka juga Mendesak Mendikbudristek menghapus ketentuan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler khususnya Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang SekolahPenerima Dana BOS Reguler.

“Mempertegas kebijakan Pendidikan Nasional yang berlandaskan filosofi kebudayaan Indonesia dan menjauhkan praktik diskriminasi serta sesuai dengan ketentuan utama Pendidikan Nasional, Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, dan UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2).”

Salah satu kalimat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa “….Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa….”.

Berdasarkan pada amanat konstitusi tersebut, maka menjadi tugas Pemerintah untuk memastikan setiap anak bangsa wajib mengikuti pendidikan selama 12 tahun. Selain itu, mewujudkan pendidikan yang berkualitas juga menjadi salah satu indikator ketercapaian tujuan pembangunan milenium (MDGs) dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Menurut mereka, pendidikan merupakan tulang punggung untuk mengukir masa depan bangsa melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, kontribusi dan partisipasi berbagai pihak dalam mewujudkan cita-cita mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa senantiasa harus diupayakan secara optimal.

“Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, Persyarikatan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Lembaga Pendidikan Katolik, Tamansiswa, PGRI, dan komponen lainnya telah berbakti kepada Ibu Pertiwi melalui pendidikan. Peran kontribusinya secara kontinyu terus dilakukan hingga saat ini. Keberadaan berbagai organisasi yang berkontribusi nyata dalam pendidikan tersebut sangat membantu Negara mewujudkan amanat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945.”

Namun patut disayangkan, kata mereka, kebijakan Kemendikbudristek melalui Permendikbud RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler dan Surat Edaran Dirjen PAUD Dikdasmen Nomor 10231/C/DS.00.01/2021 tentang Pembaharuan Dapodik untuk Dasar Perhitungan Dana BOS Reguler bertolak belakang dengan amanat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, diskriminatif, dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial.

Sebagaimana Permendikbud tersebut terutama Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler tertera ketentuan “memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 (enam puluh) peserta didik selama 3 (tiga) tahun terakhir”.

“Kebijakan tersebut mendiskriminasi hak pendidikan anak Indonesia dan melanggar amanat konstitusi Negara.”

Tergabung dalam Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan ialah Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah (Sungkowo Mudjiamano), LP Ma’arif PBNU (Z. Arifin Junaidi), PB PGRI (Prof Unifah Rosyidi), Taman Siswa (Prof Pardimin), Majelis Nasional Pendidikan Katolik (Vinsensius Darmin), dan Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia (David J Tjandra).

(Sur/PARADE.ID)

Artikel Sikap Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan terhadap Permendikbud Nomor 6 2021 pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/sikap-aliansi-organisasi-penyelenggara-pendidikan-terhadap-permendikbud-nomor-6-2021/feed/ 0