RKUHAP Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/rkuhap/ Bersama Kita Satu Thu, 17 Jul 2025 01:56:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.2 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg RKUHAP Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/rkuhap/ 32 32 LBH APIK Desak RKUHAP Ditunda Pengesahannya https://parade.id/lbh-apik-desak-rkuhap-ditunda-pengesahannya/ https://parade.id/lbh-apik-desak-rkuhap-ditunda-pengesahannya/#respond Thu, 17 Jul 2025 01:56:39 +0000 https://parade.id/?p=29030 Jakarta (parade.id)- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini tengah dibahas Panja RUU KUHAP bersama Pemerintah, menuai kritik keras dari Asosiasi LBH APIK Indonesia dan LBH APIK Jakarta. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI pada Senin, 14 Juli 2025, LBH APIK menegaskan bahwa RUU KUHAP masih abai […]

Artikel LBH APIK Desak RKUHAP Ditunda Pengesahannya pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (parade.id)- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini tengah dibahas Panja RUU KUHAP bersama Pemerintah, menuai kritik keras dari Asosiasi LBH APIK Indonesia dan LBH APIK Jakarta. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI pada Senin, 14 Juli 2025, LBH APIK menegaskan bahwa RUU KUHAP masih abai terhadap keadilan substantif dan perlindungan bagi perempuan serta kelompok rentan, bahkan berpotensi menimbulkan diskriminasi baru.

Khotimun Sutanti, perwakilan LBH APIK Indonesia dan LBH APIK Jakarta, mengungkapkan kekhawatiran mendalam berdasarkan pengalaman pendampingan. “Selama ini, perempuan yang berhadapan dengan hukum – baik sebagai korban, tersangka, maupun terdakwa-belum mendapatkan perlakuan yang sensitif gender dalam proses peradilan. Para penegak hukum pada umumnya juga kurang berpihak kepada korban, masih terdapat Aparat Penegak Hukum yang menyalahkan korban bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban,” tegas Khotimun dalam keterangan yang diterima media pada Rabu, 16 Juli 2025.

Menurutnya, KUHAP yang berlaku saat ini belum mampu menggali faktor kultural dan struktural, termasuk relasi kuasa, kekerasan, dan diskriminasi berbasis gender yang melatarbelakangi situasi perempuan berhadapan dengan hukum. Akibatnya, perempuan seringkali ditempatkan hanya sebagai “objek hukuman.” Terlebih lagi, korban kekerasan berbasis gender yang jumlahnya terus meningkat, belum mendapat perhatian maksimal.

Dalam RDPU tersebut, LBH APIK menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap RUU KUHAP, di antaranya: Minimnya Implementasi Hak Perempuan dan Kelompok Rentan-Meskipun RUU KUHAP telah mencantumkan hak-hak perempuan, disabilitas, dan lansia, namun belum ada mandat yang jelas tentang siapa pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya di setiap tingkat pemeriksaan perkara.

Kemudian, Pembatasan Objek Praperadilan. LBH APIK mendesak perluasan objek praperadilan tidak hanya pada tingkat penyidikan, tetapi juga penyelidikan. Mereka menyoroti seringnya penolakan laporan tanpa mekanisme keberatan yang jelas, serta tidak adanya upaya hukum lanjutan jika penyelidikan berlarut-larut.

Pembatasan praperadilan hanya pada upaya paksa tanpa izin pengadilan juga dianggap bermasalah.

Lainnya adalah Risiko dalam Ketentuan Upaya Paksa. Ketentuan penangkapan 7×24 jam oleh polisi dalam RUU KUHAP dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko kekerasan, termasuk kekerasan berbasis gender dan seksual, serta peluang transaksional, terutama bagi perempuan. Mereka mendesak agar penyidik wajib menunjukkan surat tugas dan penetapan izin pengadilan, serta memperhatikan kondisi khusus perempuan.

Lanjutnya adalah Privasi dalam Penggeledahan Sistem Elektronik. LBH APIK menekankan pentingnya perlindungan privasi, kerahasiaan, dan kelancaran layanan publik saat melakukan penggeledahan sistem elektronik.

Lain dari itu, Peradilan Koneksitas yang Pro-Militer. Dalam kasus tindak pidana yang dilakukan prajurit/TNI, RUU KUHAP cenderung mengutamakan kepentingan militer. Hal ini dinilai LBH APIK membuat proses hukum lebih rumit bagi korban dan memunculkan disparitas putusan.

Mereka mengusulkan agar Pengadilan Militer dibatasi hanya untuk pelanggaran hukum militer, sementara tindak pidana umum seperti KDRT dan kekerasan seksual diadili di Pengadilan Umum.

Selanjutnya, Ketiadaan Keterlibatan Korban dalam Gelar Perkara. Proses gelar perkara yang vital dalam RUU KUHAP, sayangnya tidak melibatkan pendamping dan korban. Keterlibatan hanya ahli dan penyidik dikhawatirkan dapat merugikan perempuan korban. LBH APIK mendesak agar korban dan pendampingnya wajib dihadirkan sesuai UU PKDRT dan UU TPKS.

Sinkronisasi Regulasi. LBH APIK mendesak sinkronisasi RUU KUHAP dengan regulasi beracara lain yang sudah progresif dalam memenuhi hak perempuan, serta kodifikasi peraturan internal Kejaksaan dan Kehakiman terkait penanganan perkara perempuan.

Penguatan Peran Advokat. LBH APIK mengusulkan penguatan peran advokat agar setara dengan aparat penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, hakim) dalam RUU KUHAP.

Terakhir, Keadilan Restoratif yang Berisiko. Dalam konteks kekerasan berbasis gender, LBH APIK menemukan praktik di kepolisian yang cenderung mendamaikan korban dan pelaku melalui tekanan. Mereka mengkritik pengaturan dalam RUU KUHAP yang memungkinkan hakim mempertimbangkan titipan ganti rugi sebagai alasan menghindari sanksi pidana, yang dikhawatirkan tidak menjamin kepentingan terbaik bagi perempuan korban.

Uli Pangaribuan dari LBH APIK Jakarta menambahkan bahwa masih banyak catatan lain yang perlu diperhatikan Tim Perumus (Timus), Tim Sinkronisasi (Timsin), dan Komisi III DPR RI. “Catatan tersebut dan masukan masyarakat sipil lainnya perlu diakomodasi untuk menjamin bahwa RUU KUHAP akan menciptakan sistem peradilan yang lebih adil, sensitif gender dan inklusif,” ujarnya.

Merespons kritik ini, LBH APIK mendesak Panja RUU KUHAP dan Komisi III DPR RI untuk tidak terburu-buru dalam pembahasan, terutama pada rumusan yang dapat berpengaruh pada perlindungan hak warga negara, ruang masyarakat sipil, termasuk perempuan dan kelompok rentan.

“Secara aktif membuka ruang partisipasi masyarakat sipil yang lebih luas dan bermakna dalam menyampaikan pendapat.”

Kemudian mendesak penundaan pengesahan RUU KUHAP dan memperbaiki rumusan dengan mengakomodasi masukan masyarakat sipil.

Pernyataan sikap ini didukung oleh Asosiasi LBH APIK Indonesia dan 16 LBH APIK di berbagai daerah di Indonesia, menunjukkan konsensus kuat di kalangan organisasi bantuan hukum perempuan terkait urgensi perbaikan RUU KUHAP.***

Artikel LBH APIK Desak RKUHAP Ditunda Pengesahannya pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/lbh-apik-desak-rkuhap-ditunda-pengesahannya/feed/ 0