#Sejarawan Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/sejarawan/ Bersama Kita Satu Fri, 31 Jan 2025 15:29:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.2 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg #Sejarawan Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/sejarawan/ 32 32 Ridwan Saidi Meninggal Dunia https://parade.id/ridwan-saidi-meninggal-dunia/ https://parade.id/ridwan-saidi-meninggal-dunia/#respond Sun, 25 Dec 2022 04:24:26 +0000 https://parade.id/?p=22445 Jakarta (parade.id)- Sejarawan sekaligus budayawan Ridwan Saidi meninggal dunia, pada pagi ini, Ahad (25/12/2022), sekitar pukul 08.35 WIB di RSPI Bintaro, Tangerang Selatan. Kabar duka langsung disampaikan pihak keluarga melalui pesan tertulis. “Telah berpulang dengan tenang Suami, Ayah dan Dato kami tercinta Bapak Ridwan Saidi pada hari Ahad, 25 Desember 2023 pukul 08:35 di RSPI […]

Artikel Ridwan Saidi Meninggal Dunia pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (parade.id)- Sejarawan sekaligus budayawan Ridwan Saidi meninggal dunia, pada pagi ini, Ahad (25/12/2022), sekitar pukul 08.35 WIB di RSPI Bintaro, Tangerang Selatan. Kabar duka langsung disampaikan pihak keluarga melalui pesan tertulis.

“Telah berpulang dengan tenang Suami, Ayah dan Dato kami tercinta Bapak Ridwan Saidi pada hari Ahad, 25 Desember 2023 pukul 08:35 di RSPI Bintaro Tangsel,” tulis keterangan keluarga.

Sebelum meninggal, almarhum sempat koma akibat penyakit pecah pembuluh darah di batang otak, 23 Desember 2022 pagi.

Politisi Gerindra, Fadli Zon sempat menjenguk Ridwan sebelum meninggal. Momen itu ia bagikan lewat akun Twitter pribadinya.

Fadli menjenguk bersama Fuad Bawazier dan lainnya. Saat itu, ia berharap Ridwan diberi kesembuhan dan kepulihan.

(Rob/parade.id)

Artikel Ridwan Saidi Meninggal Dunia pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/ridwan-saidi-meninggal-dunia/feed/ 0
Sejarawan Memohon kepada Anies untuk Menghentikan Pembangunan Halte Transjakarta Tosari-Bundaran HI https://parade.id/sejarawan-memohon-kepada-anies-untuk-menghentikan-pembangunan-halte-transjakarta-tosari-bundaran-hi/ https://parade.id/sejarawan-memohon-kepada-anies-untuk-menghentikan-pembangunan-halte-transjakarta-tosari-bundaran-hi/#respond Fri, 30 Sep 2022 04:24:19 +0000 https://parade.id/?p=21581 Jakarta (parade.id)- Sejarawan JJ Rizal memohon kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menghentikan pembangunan halte Transjakarta Tosari-Bundaran HI. Rizal menilai karena pembangunan itu merusak pandangan ke Patung Selamat Datang dan Henk Ngantung Gontein warisan Presiden Sukarno, dengan Gubernur Henk Ngantung sebagai poros penanda perubahan Ibu Kota kolonial ke Ibu Kota nasional. “patung selamat datang […]

Artikel Sejarawan Memohon kepada Anies untuk Menghentikan Pembangunan Halte Transjakarta Tosari-Bundaran HI pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (parade.id)- Sejarawan JJ Rizal memohon kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menghentikan pembangunan halte Transjakarta Tosari-Bundaran HI. Rizal menilai karena pembangunan itu merusak pandangan ke Patung Selamat Datang dan Henk Ngantung Gontein warisan Presiden Sukarno, dengan Gubernur Henk Ngantung sebagai poros penanda perubahan Ibu Kota kolonial ke Ibu Kota nasional.

“patung selamat datang dg henk ngantung fontein penting bkn hanya krn karya presiden sukarno en maestro edi sunarso serta gubernur henk ngantung, tp jg simbol keramahan bangsa, semangat bersahabat mlaksanakan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial,” ungkapnya, kemarin.

Hotel Indonesia kata Rizal juga bukan hanya simbol awal pariwisata modern Indonesia pasca kolonial, tapi arsitektur karya Abel Sorensen, arsitek markas besar PBB di New York bersama Presiden Sukarno dengan para maestro lukis dan sastra Indonesia, yang oleh Sukarno disebut “pembuka wajah muka Indonesia”.

“kawasan bersejarah warisan sukarno dalam 20 thn terakhir telah jadi korban vandalisme, berbagai kepentingan berebut dg macam2 alasan tp satu tujuannya yaitu mengkapitalisasi posisinya yg strategis, kalau tdk distop maka jakarta akan kaya infrastruktur tp miskin karaktera,” tertulis demikian di akun Twitter-nya.

“apalagi @PT_Transjakarta tak cukup puas hanya bangun halte gigantis di sekitar hi, tp jg di sarinah, satu lg penanda sejarah untuk mengingatkan bahwa ibukota nasional berbeda dr ibukota kolonial, simbol ekonomi kapitalisme yg rakus, melainkan ibukota ekonomi kerakyatan,” sambungnya.

Seharusnya, kata dia, sebagai bagian dari badan usaha masyarakat Jakarta, PT Trans Jakarta yang bisnya wira wiri di ruang bersejarah warisan Sukarno itu berefleksi mengadopsi etos kerja maestro, berkelas dunia, tp berorientasi kerakyatan serta menjaga sumber inspirasi kota, yaitu warisan sejarahnya.

Ia kembali memohon agar Gubernur DKI Anies menyetop pembangunan halte Transjakarta yang disebutnya arogan di kawasan cagar budaya penanda sejarah perubahan kota kolonial jadi kota nasional warisan Sukarno.

“jgn biarkan halte2 itu jd noda di buku sejarah masa pemerintahan bpk yg kaya prestasi. semoga @PT_Transjakarta menemukan model arsitektural yg lebih pantas en menguatkan vista sejarah yg berharga, kaya nilai serta perlu dirayakan sebagai berkah dari pendiri bangsa,” harapnya.

(Rob/parade.id)

Artikel Sejarawan Memohon kepada Anies untuk Menghentikan Pembangunan Halte Transjakarta Tosari-Bundaran HI pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/sejarawan-memohon-kepada-anies-untuk-menghentikan-pembangunan-halte-transjakarta-tosari-bundaran-hi/feed/ 0
Respons Sejarawan soal Ada 110 Juta Netizen Ingin Pemilu 2024 Ditunda https://parade.id/respons-sejarawan-soal-ada-110-juta-netizen-ingin-pemilu-2024-ditunda/ https://parade.id/respons-sejarawan-soal-ada-110-juta-netizen-ingin-pemilu-2024-ditunda/#respond Wed, 16 Mar 2022 03:53:23 +0000 https://parade.id/?p=18386 Jakarta (PARADE.ID)- Sejarawan JJ Rizal menceritakan sedikit kisah Soeharto yang ingin kembali menjabat sebagai Presiden ketujuh kalinya. Kala itu, orang kepercayaan Soeharto, Harmoko, disebut oleh Rizal mendapatkan tugas dari penguasa Orde Baru (Orba) itu untuk mencari tahu apa rakyat masih menginginkannya jadi Presiden RI. “harmoko kemudian mengklaim soeharto masih pantas memimpin en rakyat pun masih […]

Artikel Respons Sejarawan soal Ada 110 Juta Netizen Ingin Pemilu 2024 Ditunda pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Sejarawan JJ Rizal menceritakan sedikit kisah Soeharto yang ingin kembali menjabat sebagai Presiden ketujuh kalinya.

Kala itu, orang kepercayaan Soeharto, Harmoko, disebut oleh Rizal mendapatkan tugas dari penguasa Orde Baru (Orba) itu untuk mencari tahu apa rakyat masih menginginkannya jadi Presiden RI.

“harmoko kemudian mengklaim soeharto masih pantas memimpin en rakyat pun masih mengharapkan soeharto menjadi presiden,” kata Rizal, kemarin, di akun Twitter-nya.

Cuitan Rizal itu untuk merespons klaim Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang mengklaim bahwa ada 110 juta netizen atau warganet setuju Pemilu 2024 ditunda.

Kata LBPK, dia punya big data (mahadata) berisi data 110 juta netizen itu. Mereka semua ingin kondisi sosial-politik tenang tanpa gaduh Pemilu.

Dia kumpulkan data 110 juta netizen itu dari pelbagai platform media sosial. Hal itu (klaim) ia sampaikan saat berbicara di acara kanal YouTube Deddy Corbuzier, Jumat (11/3) pekan lalu.

“Karena begini, kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah,” kata Luhut.

(Rob/PARADE.ID)

Artikel Respons Sejarawan soal Ada 110 Juta Netizen Ingin Pemilu 2024 Ditunda pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/respons-sejarawan-soal-ada-110-juta-netizen-ingin-pemilu-2024-ditunda/feed/ 0
Respons Sejarawan soal Nama Ibu Kota Negara https://parade.id/respons-sejarawan-soal-nama-ibu-kota-negara/ https://parade.id/respons-sejarawan-soal-nama-ibu-kota-negara/#respond Thu, 20 Jan 2022 12:46:19 +0000 https://parade.id/?p=17353 Jakarta (PARADE.ID)- Sejarawan JJ Rizal merespons penamaan Ibu Kota Negara (IKN) dengan nama Nusantara. Istilah penyebutan nama ini, kata Rizal, sebetulnya hidup timbul tenggelam di berbagai zaman. “Pertanyaannya ketika pak jokowi mencomot untuk nama ibukota baru, maka nusantara zaman manakah yg tercernin, nusantara manakah yg bergema di nama ibukota baru?” tanyanya, Kamis (20/1/2022). “cilakanya #Nusantara […]

Artikel Respons Sejarawan soal Nama Ibu Kota Negara pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Sejarawan JJ Rizal merespons penamaan Ibu Kota Negara (IKN) dengan nama Nusantara. Istilah penyebutan nama ini, kata Rizal, sebetulnya hidup timbul tenggelam di berbagai zaman.

“Pertanyaannya ketika pak jokowi mencomot untuk nama ibukota baru, maka nusantara zaman manakah yg tercernin, nusantara manakah yg bergema di nama ibukota baru?” tanyanya, Kamis (20/1/2022).

“cilakanya #Nusantara yg tercernin di ibukota baru justru nusantara yg ditolak para pendiri bangsa,” sambungnya.

Pasalnya, menurut dia, pada awal abad ke-20 para pendiri bangsa menghidupkan kembali istilah Nusantara yang sudah terkubur bersama kerajaan Majapahit, yang melahirkannya selama 500 tahun.

“buat apa? tujuan para pendiri bangsa menghidupkan kembali #Nusantara untuk jadi nama negara bangsa yg mereka bayangan, mereka menolak nama hindia belanda, mereka ingin nama sendiri, tetapi nusantara tdk lama hidupnya en segera ditinggalkan, nama Indonesia yg mencuat,” tertulis demikian di akun Twitter-nya.

Mengapa pendiri bangsa segera meninggalkan istilah Nusantara?
Alasan pendiri bangsa meninggalkan istilah itu, menurut Rizal karena mereka menemukan Nusantara itu sebangun dengan sistem negara kolonial yang konsentrik. Ada pusat sebagai pusat anutan dan daerah sebagai subordinasinya.

“di sini tumbuh sentralisasi sekaligus diskriminasi kpd yg di luar pusat.”

Di dalam Nusantara dan Hindi Belanda, ia meneruskan, para pendiri bangsa melihat ada kesamaan bahwa yang ada hanya—istilah bung Hatta—”daulat tuanku” tidak ada “daulat rakyat”. Ini artinya bertolok belakang dengan negara bangsa yang demokrastis, yang ingin mereka bangun.

“jika berefleksi pada pembangunan ibukota baru bukankah hampir semua prosesnya mencerminkan sesuatu yg sentralistik en kurang demokratik, istana dgn kroninya kaum aristokrasi uang en politik menjadi pusat anutan, semua harus manut, suara usul diabaikan, tiada dialog hanya monolog?”

Sebab itu Nusantara yang bergema dan tercernin di Ibu Kota baru adalah nusantara warisan negara konsentrik Majapahit lalu Mataram lantas ke negara kolonial Belanda dan akhirnya Orde Baru Soeharto.

“Loh kok orde baru juga? sebentar nanti akan sampe ke situ juga kok, sabar ya. tetapi apakah sejarah indonesia tdk punya contoh penggunaan nama #Nusantara yg dpt jadi acuan?”

Ada Nusantara di era Orde Baru(?)
Ada, kata Rizal. Yakni pada 1957. Saat deklarasi Juanda yang melahirkan wawasan nusantara. Ini dapat jadi acuan karena basis berangkatnya proyek ini adalah amanat Pancasila dan UUD 1945, artinya daulat rakyat.

Deklarasi Juanda lahir untuk mensahkan luas pasti wilayah NKRI yang masih kepentok ordonansi laut Belanda, sekaligus menjawab kritik keras pemerintahan yang sentralistik.

“Kekuasaan pusat mengabaikan daerah, banyak daerah marah lalu berontak, persatuan terancam.”

Para tokoh saat itu menjelaskan sebabnya, karena pemerintah RI masih mewarisi sistem negara kolonial yang diskriminatif dan melihat daerah sebagai subordinasi. Sentralisasi harus diganti desentralisasi.

Di sinilah menurut Rizal, Juanda dengan sengaja memilih istilah nusantara tapi diberi ruh Pancasila dan UUD 45.

“juanda memberi nusantara wawasan baru dgn meninggalkan artinya di masa lalu yg melihat laut sbg pemisah diganti jd penyatu, sampai di sini tiada lagi jawa luar jawa, dlm negara kesatuan semua setara, bahkan yg sebelumnya dianggap terluar jd yg terdepan, inilah #Nusantara juanda.”

Sejak itulah, kata Rizal, gagasan desentralisasi meluas tetapi prosesnya tersendat oleh perang dingin dan akhirnya dihabisi G30S 1965. Militer naik dan dengan segera bersama Soeharto mengembalikan konsep nusantara dalam wawasan Nusantara Juanda ke masa Majapahit, Mataram, sentralisme lagi.

“di zaman soeharto isu jawa luar jawa mencuat lagi, jawaisme merajalela, republik berubah jadi kerajaan cendana, semua ketentuan untuk indonesia berpusat di sana, tentara dikirim ke daerah2 yg nolak pusat sbg anutan, pusat adalah sumber kebenaran suara di luarnya tdk boleh ada.”

Dalam kilas balik sejarah kata Rizal dengan mudah dapat ditemukan Nusantara di Ibu Kota baru adalah nusantara yang tidak menyambung pada daulat rakyat tetapi daulat tuanku. Nusantara yang tidak mengikuti jalan yang telah dirintis perdana menteri Juanda, nusantara daulat rakyat sesuai amanat UUD 1945, kata sejarawan yang tinggal di Depok, Jawa Barat itu.

(Sur/PARADE.ID)

Artikel Respons Sejarawan soal Nama Ibu Kota Negara pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/respons-sejarawan-soal-nama-ibu-kota-negara/feed/ 0
Sindiran Puan Maharani terkait Pemimpin Hanya Ada di Medsos Ditimpali Sejarawan https://parade.id/sindiran-puan-maharani-terkait-pemimpin-hanya-ada-di-medsos-ditimpali-sejarawan/ https://parade.id/sindiran-puan-maharani-terkait-pemimpin-hanya-ada-di-medsos-ditimpali-sejarawan/#respond Mon, 24 May 2021 02:21:23 +0000 https://parade.id/?p=12696 Jakarta (PARADE.ID)- Sindiran Ketua DPR RI Puan Maharani terkait pemimpin yang hanya hadir di media sosial (medsos) ditimpali sejarawan JJ Rizal. Justru menurut JJ apa yang disampaikan oleh puan sebaliknya. “lebih sedih lagi bu di sini pun ga ada pemimpin di medsos, seperti juga ga ada pemimpin di mana-mana,” katanya, ketika menimpali judul berita “Puan […]

Artikel Sindiran Puan Maharani terkait Pemimpin Hanya Ada di Medsos Ditimpali Sejarawan pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Sindiran Ketua DPR RI Puan Maharani terkait pemimpin yang hanya hadir di media sosial (medsos) ditimpali sejarawan JJ Rizal. Justru menurut JJ apa yang disampaikan oleh puan sebaliknya.

“lebih sedih lagi bu di sini pun ga ada pemimpin di medsos, seperti juga ga ada pemimpin di mana-mana,” katanya, ketika menimpali judul berita “Puan Maharani Sindir Pemimpin yang Cuma Ada di Medsos”, Ahad (23/5/2021), di akun Twitter-nya.

Di sini (medsos) kata dia, yang ada dan mudah ditemui justru para pembesar, pejabat yang besar karena buzzer juga penjilat, yang menjabat karena nepotisme serta feodalisme, jadi pejabat karena perkoncoan dan keturunan.

Cuitan JJ didukung oleh Dipo Alam. Menurut dia, benar adanya karena kini kita dalam era minus kepempinan dan jumlah pemimpin yang amanah.

Dikutip cnnindonesia.com, media yang dikomentari JJ, disebutkan bahwa Puan mengatakan pemimpin sebaiknya juga dikenal di dunia nyata oleh para pendukungnya. Puan tak menyebut nama siapa yang disindirnya ini.

“Pemimpin itu ke depan adalah pemimpin yang ada di lapangan bukan di sosmed. Pemimpin yang memang dilihat teman-temannya, orang-orang yang mendukungnya. Ada di lapangan, bukan hanya di media,” kata Puan di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (22/5).

Puan mengatakan media sosial dan media massa memang diperlukan sebagai sarana komunikasi. Namun menurutnya yang lebih penting adalah aksi di lapangan.

Puan mengatakan, hasil kerja di lapangan para kepala daerah yang juga kader PDIP adalah penilaian utama. Terutama terkait dengan pengusungan kader di arena Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif.

Ia mengingatkan, PDIP merupakan partai pemenang Pilpres dan Pileg dalam dua Pemilu terakhir. PDIP mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden dan selalu menang. PDIP juga pemilik kursi mayoritas di parlemen. 

“Kita Partai yang tegak lurus pada aturan. Kita Partai memang tegak pada perintah yang akan diperintahkan pada waktunya. Jadi Bapak Ibu sekalian yang ada disini pastinya akan memahami. Kita di PDI Perjuangan Jawa Tengah menjadi penentu kemenangan berkali-kali dal Pileg dan Pilpres,” ujarnya.

Jawa Tengah merupakan basis utama PDIP dan kerap disebut sebagai kandang banteng. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo adalah kader PDIP. Begitu pula Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi. Sejumlah kepala daerah di Jateng juga berasal dari partai berlambang banteng ini.

Nama Ganjar kerap disebut-sebut oleh lembaga survei dalam jajak pendapat pilpres. Meski tidak tertinggi, elektabilitasnya cukup diperhitungkan bersama nama seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.  

Namun Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemenangan Pemilu Bambang Wuryanto menyatakan partainya belum tentu akan mengusung nama Ganjar Pranowo di Pilpres 2024 mendatang.

Pria yang akrab disapa Bamban Pacul ini mengatakan elektabilitas dan popularitas tinggi berasal dari pemberitaan massif media. 

“Kalau dengan saat ini merasa elektabilitas tinggi terus memaksa meminta rekomendasi, saya kira itu salah minum obat namanya,” kata Bambang.

Dalam survei terbaru Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC), elektabilitas Ganjar sebesar 11,25 persen. Tingkat keterpilihannya masih di bawah Anies Baswedan 17,01 persen dan Prabowo Subianto (14,31 persen).

(Rgs/PARADE.ID)

Artikel Sindiran Puan Maharani terkait Pemimpin Hanya Ada di Medsos Ditimpali Sejarawan pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/sindiran-puan-maharani-terkait-pemimpin-hanya-ada-di-medsos-ditimpali-sejarawan/feed/ 0
Kata Sejarawan terkait Kampung Akuarium dan Cagar Budaya https://parade.id/kata-sejarawan-terkait-kampung-akuarium-dan-cagar-budaya/ https://parade.id/kata-sejarawan-terkait-kampung-akuarium-dan-cagar-budaya/#respond Thu, 20 Aug 2020 04:45:30 +0000 https://parade.id/?p=6061 Jakarta (PARADE.ID)- Sejarawan JJ Rizal mengatakan bahwa di Kampung Akuarium terdapat situs sejarah yang seharusnya tidak digusur (ketika itu). Ia adalah situs sejarah sisa tembok Batavia pada abad 17, yakni Bastion Zeeburg. “gimana bisa pak ahok katakan tak megizinkan adanya pemukiman di #kampungakuarium krn wilayah itu didesain untuk lokasi pelestarian cagar budaya, sementara saat bpk […]

Artikel Kata Sejarawan terkait Kampung Akuarium dan Cagar Budaya pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Sejarawan JJ Rizal mengatakan bahwa di Kampung Akuarium terdapat situs sejarah yang seharusnya tidak digusur (ketika itu). Ia adalah situs sejarah sisa tembok Batavia pada abad 17, yakni Bastion Zeeburg.

“gimana bisa pak ahok katakan tak megizinkan adanya pemukiman di #kampungakuarium krn wilayah itu didesain untuk lokasi pelestarian cagar budaya, sementara saat bpk menggusur kampung akuarium ikut juga bpk gusur bagian bastion zeeburg?” kata Rizal, Kamis (20/8/2020), di akun Twitter-nya, ketika mengomentari potongan berita di akun media yang menyebutkan: “Ahok mengaku tak mengizinkan adanya permukiman di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, karena wilayah itu memang didesain untuk lokasi pelestarian cagar budaya.”

Penulis sejarah Kota Tua, Adolf Heuken dikatakan oleh JJ juga pernah menyinggung soal itu dan berharap agar tembok kota dari abad 17 itu tidak jadi korban pembangunan (baca: penggusuran).

“ini salahsatu media yg beritakan selain warga #KampungAkuarium  ikut pula jd korban penggusuran situs sejarah yg oleh sejarawan  kota tua jakarta, adolf heuken, diharap ‘moga-moga sisa terakhir tembok kota dari abad ke-17 ini tak jadi korban pembangunan’,” katanya.

JJ pun mengaku sebelumnya pernah ikut pula mengomentari terkait hal di atas. Bahkan ia tampak secara tegas mengkritisi Ahok yang ketika itu dirasa olehnya tidak ada penyesalan ataupun permohonan maaf karena telah melanggar UU Cagar Budaya itu.

“Bahkan dengan mudahnya mengatakan akan dibangun ulang yang lebih bagus,” kenangnya.

Tempat yang digusur itu kini oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali dibangun Kampung Susun Akuarium.

Pemprov DKI pun telah melaksanakan peletakan batu pertama pada Senin (17/8/2020) lalu. Anies mengatakan, hunian layak ini diwujudkan dengan pembangunan berkonsep kampung susun.

(Robi/PARADE.ID)

Artikel Kata Sejarawan terkait Kampung Akuarium dan Cagar Budaya pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/kata-sejarawan-terkait-kampung-akuarium-dan-cagar-budaya/feed/ 0
Ramai-ramai Membunuh Sukarno Lagi dan Lagi https://parade.id/ramai-ramai-membunuh-sukarno-lagi-dan-lagi/ https://parade.id/ramai-ramai-membunuh-sukarno-lagi-dan-lagi/#respond Sun, 21 Jun 2020 17:31:15 +0000 https://parade.id/?p=1070 Jakarta (PARADE.ID)- Karl Marx pernah bilang: sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon goblok. Tetapi, bagaimana jika tragedi dan bodoran memuakan itu terjadi berbarengan? Begini. Selang sehari setelah perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2018, santer berita pernyataan pakar hukum tata negara Refly Harun bahwa hari lahir Pancasila sebagai dasar negara bukan 1 Juni 1945, […]

Artikel Ramai-ramai Membunuh Sukarno Lagi dan Lagi pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Karl Marx pernah bilang: sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon goblok. Tetapi, bagaimana jika tragedi dan bodoran memuakan itu terjadi berbarengan?

Begini. Selang sehari setelah perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2018, santer berita pernyataan pakar hukum tata negara Refly Harun bahwa hari lahir Pancasila sebagai dasar negara bukan 1 Juni 1945, melainkan 18 Agustus 1945. Pancasila memang pertama kali dilontarkan Presiden Sukarno pada 1 Juni 1945, tetapi bukan buah pemikiran Sukarno, melainkan hasil gotong royong tokoh-tokoh bangsa. Jadi bukan hanya satu orang saja. Sebab itu penetapan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni, menurutnya, mendiskreditkan peran tokoh-tokoh bangsa lainnya yang juga bersumbangsih melahirkan Pancasila.

Masih pada hari yang sama, Refly juga menjembreng pernyataan serupa di akun twitternya @ReflyHZ. Sampai pukul 11.48 (setelah 17 jam), pernyataan itu sudah lebih di-retweet 1500 kali dan disukai lebih 3200 mahluk jagat twitter. Tetapi, jika waktu dibetot mundur 37 tahun yang lalu balik ke 1981, keramaian yang tak kalah hebatnya juga terjadi lantaran pernyataan guru besar FSUI yang menjadi Kepala Pusat Sejarah TNI/ABRI, Nugroho Notosusanto. Anehnya pernyataan Nugroho sama persis dengan pernyataan Refly. Sebagaimana Refly mengaku pernyataannya tidak lahir dari tendensi politik, melainkan kebenaran sejarah, begitu pula dengan Nugroho.

Bedanya sedikit saja. Refly mengungkapkannya di twitter dan dalam wawancara surat kabar, sedangkan Nugroho dalam artikel “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara” di koran Sinar Harapan, 3 Agustus 1981. Nugroho bilang 1 Juni hanyalah hari kelahiran Pancasila-nya Sukarno, sementara Pancasila dasar negara dilahirkan 18 Agustus 1945. Inilah yang otentik dan dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebab itu, Sukarno sebenarnya bukanlah satu-satunya penggali Pancasila. Sukarno hanyalah orang pertama yang memberikan sebutan kelima sila itu “Pancasila”.

Kira-kira demikian yang ditulis Nugroho dengan mengutip buku karya Muhammad Yamin Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Ia menyimpulkan bahwa pencetus utama Pancasila adalah Yamin, Supomo dan Sukarno. Demikianlah urutannya. Penetapan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila pun digugatnya.

Meskipun tesis itu baru pertama kalinya dijabarkan di media massa, tetapi pikiran Nugroho berakar jauh ke masa-masa ketika kudeta terhadap Sukarno dimulai pada 1965. Saat itu Soeharto dan Angkatan Darat berikhtiar menjalankan apa yang disebut sejarawan Onghokham politik exorcism, yaitu pengusiran roh jahat Sukarno. Caranya: membunuh karakter Sukarno dan mengendalikan warisan kekuasaannya. Untuk ini Angkatan Darat kembali menggaet mahasiswa sebagai partner strategisnya untuk mematangkan propaganda bahwa Sukarno dalang G30S 1965. Ini sekaligus digunakan untuk menguatkan legitimasi dalam menjalankan prosedur-prosedur peralihan kekuasaan yang seolah-olah konstitusional.

Agar memperlihatkan Sukarno terlibat dalam G30S 1965, Soeharto telah menyiapkan yang disebut Southwood dan Flanagan dalam Teror Orde Baru sebagai ‘viktimisasi sistematis’. Skenario ini bukan saja melibatkan MPRS, tetapi juga mahasiswa dan pengadilan. Dalam hal memanfaatkan mahasiswa ini, riset dari Roger K. Paget dan terutama buku Francois Raillon soal surat kabar Mahasiswa Indonesia—selain Harian KAMI dan Angkatan Baru di Jakarta yang diterbitkan HMI yang disebut Paget termasuk paling giat melancarkan kampanye anti-Sukarno—memberikan banyak sekali informasi. Mereka menurunkan serial tulisan yang dibuat bukan lagi menyoal keterlibatan Sukarno dalam G30S 1965, tetapi untuk mengevaluasi biografinya. Bahkan untuk mempertanyakan dasar-dasar sejarah Indonesia dengan menyanggah peran-peran Sukarno sebagai pendiri bangsa. Tentu saja hal ini mengacaukan sejarah. Namun bagi Mahasiswa Indonesia, siasat seperti itu tak soal asalkan proses desukarnoisasi  berhasil.

Desukarnoisasi terjadi hampir bersamaan dengan pembentukan MPRS “baru” oleh Angkatan Darat yang sudah disterilkan dari unsur-unsur PKI dan simpatisannya pada 1 Juni 1966. Selain menegaskan legitimasi surat perintah 11 Maret, mereka juga mulai mendeligitimasi Sukarno. Salah satunya dengan menyatakan bahwa Pancasila yang resmi dan asli bukanlah yang lahir pada 1 Juni 1945, tetapi yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 dan tidak mencakup gagasan Sukarno soal internasionalisme serta urutan sila yang pertama kali dicetuskannya.

Langkah politis MPRS inilah yang dikatakan oleh Nugroho telah menginspirasinya menulis “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara” yang kontroversial itu. “Pada 1966, waktu sidang MPRS saya baru tahu kalau ada persoalan tentang penggali Pancasila. Saya dan banyak orang waktu itu mengira kelahiran Pancasila ya 1 Juni itu,” ungkap Nugroho.

Gila Tentara

Sampai di sini, ada baiknya diulas sedikit siapa Nugroho pada 1966 itu.

Nugroho yang berasal dari Rembang sejak belia “gila ketentaraan” dan merendahkan pemimpin sipil. Pada paruh pertama 1950-an, publik mengenal Nugroho sebagai cerpenis. Tapi kemudian ia banting stir menggeluti sejarah dan menjadi dosen di jurusan sejarah UI. Pada 1960, ia mendapat beasiswa studi sejarah dari Rockefeller Foundation di Inggris. Karena tak betah, Nugroho pada 1962 kembali ke Jakarta dan diminta sahabatnya, Menteri Pendidikan Prijono, untuk memimpin jurusan sejarah. Saat itulah ia bertemu A.H. Nasution yang sedang mencari sejarawan yang bisa membantunya dalam pertarungan wacana sejarah seiring mengerasnya konflik politik antara Angkatan Darat dengan PKI.

Sejak itu Nugroho menjadi orang penting yang memproduksi dan mengonsolidasi propaganda Angkatan Darat. Posisinya semakin kuat ketika ia diangkat sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI pada 1965. Sebab, pada saat yang bersamaan, Angkatan Darat tengah mengambil alih kekuasaan dari Sukarno. Nugroho tampak menikmati karier panjangnya ini yang diwarnai dengan upaya-upaya berkalanya mengendalikan kekuatan warisan Sukarno.

Pada 1968, Nugroho bersama Ismail Saleh meluncurkan buku The Coup Attempt of the “September 30 Movement” in Indonesia, yang tampaknya ditujukan sebagai tandingan terhadap analisis kontroversial tentang kudeta 1965 karya Ben Anderson dan Ruth McVey. Melalui buku ini Nugroho mengembangkan interpretasi versi pemerintah Orde Baru bahwa dalang di balik peristiwa G30S 1965 adalah PKI dan Sukarno terlibat di dalamnya.

Seiring pelarangan peringatan hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1970 oleh Kopkamtib, embargo besar-besaran terhadap tulisan-tulisan Sukarno serta penyebutan namanya oleh pemerintah, Nugroho mulai mengarahkan propaganda sejarahnya yang lebih serius untuk menyangkal peran Sukarno dalam sejarah Pancasila yang sudah dimulai oleh MPRS dan para mahasiswa pada 1966.

Pusat Sejarah ABRI dan Departemen Pertahanan-Keamanan pada 1971 menerbitkan buku Nugroho byang berjudul Naskah Proklamasi yang Autentik dan Rumusan Pancasila yang Autentik. Buku ini kemudian diperbarui dan pada 1980 diterbitkan dengan titel baru Mengamankan Pancasila Dasar Negara.

Buku kecil setebal 68 halaman itu segera disambut pemerintah dengan menjadikannya bagian paket indoktrinasi dalam program pendidikan aparatus birokrasi Orde Baru dan ABRI. Sementara itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadikannya bacaan wajib bagi para guru yang mengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan para pandu BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dalam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Secara tersirat buku ini menyatakan ingin mengamankan rakyat dari ‘penyesatan sejarah’ Pancasila oleh Sukarno, yang mempromosikan versi 1 Juni alih-alih 18 Agustus 1945. Sejak 1980 itu kecaman kepada Nugroho menjadi gelombang besar. Lantas menjadi tsunami kritik karena Nugroho malah dengan sengaja menulis ulang dan memuatnya kembali sebagai artikel di koran Sinar Harapan, 3 Agustus 1981.

Pada hari Kemerdekaan 17 Agustus 1981, Lembaga Sukarno-Hatta menerbitkan “Deklarasi Pancasila” dengan dibubuhi 17 tandatangan tokoh-tokoh berpengaruh yang menegaskan kembali bahwa 1 Juni adalah hari lahir kelima sila itu. Sementara itu para intelektual mempertanyakan dasar ilmiah tulisan Nugroho. Metodologi dan proses ilmiah karya tersebut juga dikritik tajam. Para pelaku sejarah yang ikut dalam sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) pun ikut mempertanyakan bagaimana bisa Nugroho mendasarkan bukunya hanya pada buku Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,sedang buku ini penuh kejanggalan. A.G. Pringgodigdo, kepala sekretaris BPUPK yang memegang dokumen risalah sidang komite tersebut, menyatakan bahwa buku Yamin tak lebih dari hasil “kepintaran menyulap”. Mohammad Hatta pun meragukan keabsahannya dan bahkan mengkategorikannya sebagai hasil “kerja licik”.

Hatta tetap teguh sebagaimana dalam “Surat Wasiat” yang ditulisnya dan ditujukan kepada Guntur Sukarno Putra pada 1980 bahwa pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 telah diterima secara antusias oleh semua peserta rapat BPUPK. Ini kemudian dibuktikan dengan dibentuknya panitia kecil beranggotakan sembilan orang (termasuk Hatta, Sukarno dan Yamin), yang hanya membuat perubahan-perubahan kecil—atau dalam istilah Hatta: “hanya memerciki”.

Jadi, dasar utama Pancasila sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 tetaplah bersumber dari hasil penggalian Sukarno pada 1 Juni 1945.

Gara-Gara Pemilu

Akhirnya, bagaimana memahami semua ini? Apa akar dari praktik tak waras tokoh politik dan cendekiawan yang seenaknya mengacaukan fakta atau proses sejarah?

Pemilu. Ya, pemilu. Polemik 1980–81 yang dipicu Nugroho itu muncul menjelang masa pemilu 1982. Meskipun dihajar tsunami kritik, tetapi Nugroho malah dianugrahi jabatan Rektor UI dan Menteri Pendidikan-Kebudayaan pada 1982 dan 1983. Ini jelas hadiah Soeharto atas kerjanya “membunuh” Sukarno jelang pemilu 1982.

Tetapi toh Sukarno tak mati-mati juga. Ia tetap hidup dalam nostalgia rakyat. Bahkan upaya baru “membunuh” Sukarno oleh Kolonel (purn.) dan mantan perwira intel, Soegiarso Soerojo, via buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai: G-30-S dan Peran Bung Karno malah membuat tsunami pembelaan dan kecintaan yang semakin besar kepadanya. Hasilnya, pada pemilu 1992, pemerintah harus melihat bagaimana figur anak-anak Sukarno yang tidak pernah diinginkan berpolitik, Megawati dan Guruh Sukarno Putra, bergabung dalam kampanye pemilu untuk PDI. Figur Sukarno hadir dan suara partai pemerintah, Golkar, merosot drastis.

Tidak aneh jika mendekati pemilu 1997, tepatnya 29 Mei 1995, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang tampil menggantikan peran Nugroho karena meninggal pada 1985 memberikan Presiden Soeharto edisi ketiga Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Seperti tulisan Nugroho pada 1981, buku ini mengulang persoalan sekitar tanggal dan siapa yang menggali Pancasila. Keriuhan akibat penerbitan buku itu dan upaya-upaya untuk menempatkan Sukarno hanya sebagai salah satu perumus Pancasila jelas hanya dapat dipahami sebagai langkah pemenangan pemilu.

Onghokham tampaknya benar ketika dalam sebuah artikelnya “Sukarno: Mitos dan Realitas” yang terbit pada tahun pemilu 1977 menyatakan bahwa “persoalan Bung Karno erat sangkut pautnya dengan persoalan bangsa kita sendiri”. Pemilu adalah salah satu persoalan dan ruang segala persoalan tiba-tiba dikumpulkan serta disuarakan. Apalagi setelah Soeharto jatuh, masalah-masalah lama dan yang baru menumpuk dan dalam situasi ini orang mencari simbol harapan yang sekali lagi anehnya kembali ke figur Sukarno.

Bapak pendiri bangsa ini pun bersinar dan bukan saja menjadi modal anak-anaknya untuk bermain politik, tetapi juga bagi tokoh-tokoh politik lainnya dari ekstrem kanan ke ekstrem kiri, para oportunis dan sebagainya yang memakai bendera Sukarno. Saking ajaibnya, pada pemilu 2014, mereka semua berkumpul di antara dua kandidat yang bertarung—Jokowi dan Prabowo—lantas saling berlomba-lomba mengidentifikasi diri dengan Sukarno.

Akhirnya, berlatar sejarah panjang itu jelaslah bahwa pernyataan Refly adalah bukti sihir politik sejarah Orde Baru masih merajalela. Sekaliber cendekiawan generasi baru pun tersihir melanjutkan proses desukarnoisasi.

Namun pernyataan Refly pun adalah imbas sangitnya menyan dari pengkultusan terhadap Sukarno yang menguatkan sinyalemen sejarawan Ben Anderson pada 2001. Dalam buku kecilnya, Bung Karno dan Pemfosilan Pikiran-Pikiran Soekarno, Ben melihat bahwa bersama kemenangan PDIP dalam pemilu 1999, sesungguhnya Sukarno akan mengalami proses pemfosilan atau penuaan dan pengeramatan yang semakin menjadi-jadi. Dalam atmosfir pemfosilan itu tidak akan ada perenungan dengan sikap kritis dan berkesadaran historis untuk menjembatani pikiran-pikiran Sukarno dan cita-citanya ke masalah-masalah Indonesia sekarang.

Sebaliknya pemfosilan  membuka banyak kesempatan untuk memanipulasi dan menipu. Tokoh-tokoh politik tak bermoral mengambil hati massa dengan mengaku-ngaku 100% setia pada pemikiran Sukarno. Padahal mereka menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan atau program-program yang justru bertentangan 100% dengan prinsip bapak bangsa itu. Mereka bisa akur dan begitu hormat terhadap penjahat HAM masa lalu yang malahan kalau diusut-usut masih bagian dari jaringan pelaku kudeta dan “pembunuhan” Sukarno. Mereka bisa sejalan dengan para kapitalis nasional atau global yang rakus mengeksploitasi alam sehingga merusak tanah air yang elok, menyengsarakan dan memiskinkan si marhaen. Mereka mengikuti petunjuk kaum feodal dan hipokrit yang menggunakan kekuasaan untuk menyelamatkan kaum sendiri, seraya membuang ke tong sampah gagasan sosialisme ala Indonesia yang jelas-jelas tujuannya ingin menyelamatkan seluruh rakyat dan menjauhkan mereka dari pembodohan.

Juni adalah bulan lahirnya Pancasila dan Sukarno penggali Pancasila, tetapi juga bulan kematiannya Nugroho, propagandis utama Orde Baru—operator di balik penghilangan sejarah Pancasila dan sejarah bapak pendiri bangsa.

Juni adalah suatu berita sandi kepada tokoh politik dan cendekiawan tentang betapa berbahaya jika fakta atau proses sejarah dipakai seenaknya untuk melakukan desukarnoisasi.

Tetapi, terlebih berbahaya lagi jika memuja-muji Sukarno setinggi langit sambil diam-diam mengkhianati bagian-bagian terpenting dan pokok pikiran serta perjuangannya, sebab ketidakjujuran juga kemunafikan ini sangat merusak hari ini, esok dan masa depan.

*Sejarawan, JJ Rizal, dikutip dari tirto.id

Artikel Ramai-ramai Membunuh Sukarno Lagi dan Lagi pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/ramai-ramai-membunuh-sukarno-lagi-dan-lagi/feed/ 0