Jakarta (parade.id)- Tanggapan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) soal pertemuan puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) 2023 disampaikan Ketua Bidang Maritim dan Agraria Abdul Rizal, kemarin, Selasa (29/8/2023).
Menurut Rizal, tanggapan yang disampaikan ini sebagai pertimbangan serta tinjauan PB HMI terhadap pemerintah untuk dapat diperhatikan sebagaimana mestinya sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Adapun tanggapan yang diberikan PB HMI terkait GTRA Summit 2023 yakni, pertama, Dasar Hukum UU 6/2023 yang dijelaskan dalam rencana deklarasi GTRA Summit tahun 2023 terkait agenda pemberian hak atas tanah di atas air bagi kegiatan Masyarakat baik untuk kepentingan berusaha, non berusaha maupun kegiatan strategis pemerintah/pemerintah daerah, tidak bisa dijadikan dasar,” kata dia, dalam keterangannya.
Kedua, PP No 8/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, serta PP No 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah, keduanya adalah aturan pelaksana dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, telah menyaratkan bahwa pemberian hak atas tanah di perairan pesisir harus berdasarkan perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, merupakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, UUPA, dan UU 6/2023.
Ketiga, Dasar Konstitusionalitas Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 Ayat (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” Ayat (3):
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, Penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, yakni berdasarkan kedaulatan rakyat.
Keempat, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 001-021-022/ PUU-1/2003 dan Nomor Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 juga memberi pengertian “dikuasai oleh negara yang harus diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Kelima, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 membatalkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, karena potesial menimbulkan hilangnya hak-hak masyarakat adat/ tradisional yang bersifat turun temurun, sedangkan hak masyarakat tersebut mempunyai karakteristik tertentu, yaitu tidak dapat dihilangkan selama masyarakat adat itu masih ada. Pemberian hak juga akan mengalihkan tanggungjawab negara kepada pemilik hak, dan akan sulit mengontrol secara efektif baik terhadap pengelolaan wilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil, potensial mengancam posisi masyarakat adat sehingga bertentangan upaya sebesar besar kemakmuran rakyat.
Keenam, penggunaan laut yang secara konotasi bukan merupakan “tanah” tidak masuk dalam rezim pengaturan yang dapat dikuasai. Penguasaan melalui Hak Atas tanah merupakan hak kebendaan yang dapat beralih, dialihkan bahkan dapat dijaminkan utang dan dibebankan hak tanggungan.
Ketujuh, untuk menghindari pengalihan tanggug jawab penguasaan negara atas pengelolaan atas perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta atau siapa pun, maka menurutnya negara dapat memberikan penggunaan laut dengan mekanisme perizinan dan bukan sebagai pemberian hak kebendaan secara penuh dalam waktu tertentu.
“Dengan tujuan menjaga keharmonisan secara terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfatan dan kewenangan serta memberikan kepastian hukum mengingat laut merupakan open acces dan common property (milik bersama) yang tidak dapat di privatisasi atau dikavling-kavling seperti di tanah daratan,” terangnya.
Kedelapan, masyarakat pesisir dan laut membutuhkan kepastian hukum dan kepastian ruang mengenai lokasi tempat tinggalnya di laut, agar mereka merasa ada status hukum dan perlindungan hukum dari kemungkinan ancaman pengusiran oleh pihak lain.
“Menurut UU 6/2023 Pasal 18 angka 12 ayat (2) dan Pasal 19 angka 6 ayat (1) bahwa kejelasan status hukum di laut adalah dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut. Kesembilan, Sertifikasi tanah di laut selain menyimpang dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional, juga tidak tepat apabila dianggap sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat laut,” katanya.
Berdasarkan tinjauan di atas, PB HMI mendorong agar,Presiden Republik Indonesia untuk tidak terlibat dalam pemberian sertifikat hak tanah di atas perairan laut yang jelas bertentangan dengan aturan.
“Kementerian ATR/BPN menerbitkan Hak Atas Tanah pada Ruang Darat dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut pada Ruang Laut.”
Pemerintah dalam hal ini Kementerian ATR/BPN mengevaluasi kegiatan GTRA, khususnya terkait pemberiaan Hak Atas Tanah di Perairan Laut, karena dapat menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Selain itu, menghapus dan membatalkan agenda Legalisasi Permukiman di atas Air, Pulau-Pulau Kecil dan Pulau Terluar dalam Kegiatan GTRA tahun 2023 yang akan dilaksanakan di Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau. Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi turut melarang dan turut aktif memastikan bahwa tidak terdapat pemberian Hak Atas Tanah di Perairan Laut.
“Pada kegiatan GTRA Tahun 2024 dan tahun-tahun selanjutnya, tidak ada agenda Legalisasi Permukiman di perairan laut,” tandasnya.
GTRA Summit 2023 diselenggarakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) di Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau.
(Verry/parade.id)