Site icon Parade.id

Wawancara Eksklusif dengan Ketum COOL terkait Isu Terkini Ojek Online

Foto: Ketum COOL, Bondan (kanan), Korlap, Kimung (tengah), dan Wakorlap, Komeng (kiri), di basecamp COOL, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (13/8/2022)

Jakarta (parade.id)- Ojek online (Ojol) di Indonesia, khususnya di Ibu Kota Jakarta telah menjadi salah satu transportasi pilihan bagi warga atau masyarakat, selain angkutan umum lainnya. Di Ibu Kota sendiri, alasan orang menggunakan jasa Ojol umumnya, karena, salah satunya ingin menghindari kemacetan ketika beraktivitas. Ada pula warga atau masyarakat yang menggunakan jasa mereka untuk memesan makanan, dan lain-lain.

Namun, siapa sangka, kalau ternyata ada banyak driver Ojol yang kini merasa diberatkan oleh rencana kenaikan harga BBM jenis pertamax, yang tentunya akan berimbas ke pendapatan mereka.

Selain soal BBM, Ojol juga merasa diberatkan dengan “bagi hasil” dengan aplikator (20 persen). Hal lainnya, Ojol berkeinginan dibuatkan payung hukum atau aturan baku agar diakui seperti transportasi umum lain.

Lantas, latar apa sehingga soal di atas dirasa perlu diperhatikn oleh Ojol? parade.id, berkesempatan mewawancarai khusus terkait di atas, dengan Ketua Umum Comunity Ojek Online (COOL), Bondan, pada hari Sabtu (13/8/2022), di base camp-nya, wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Berikut wawancaranya:

Apa yang menjadi perhatian Ojol sekarang? 
Isu terkini bagi kawan-kawan ojek online (Ojol) saat ini, pertama soal kenaikannya harga BBM jenis pertamax, yang sudah dinaikan terlebih dahulu. Tapi ada desas-desus pertalite juga ingin dinaikan.
Keinginan kami, kalau bisa jangan dulu, lah. Kalau bisa pertamax itu diturunkan kembali, karena sasarannya tidak repat. Juga karena banyak kondisi di lapangan atau di SPBU itu, di mana pertalite yang harusnya untuk menengah ke bawah, malah banyak dikonsumsi menengah ke atas. Mungkin karena pertamax mereka keberatan, maka mereka lari ke pertalite. Itu banyak sekali terjadi di SPBU-SPBU, mobil mewah isi pertalite.

Dampaknya?
Dampaknya itu pertama, misal dari segi kondisi kendaraan, yang tadi kita biasa isi pertamax, tapi karena tidak mampu, kita lari semua ke pertalite. Otomatis antrean panjang.
Saya sempat ngobrol ke salah satu SPBU, yang tadinya pasokannya tiga kali, entah seminggu atau per hari, sekarang malah diturunin. Dan antrean tambah panjang, karena ada beberapa SPBU serempak habis. Contoh di sini ada empat SPBU, dua habis, otomatis antre. Kita rugi di waktu. Kita juga rugi karena pengeluaran kita bertambah. Otomatis, karena saat itu kita uber waktu, dan mau tidak mau kita isi pertamax yang tidak antrean atau beli eceran.
Dampak kedua, motor yang biasa isi pertamax kemudian isi pertalite, kena ke kondisi mesin motornya. Jadi perawatan kita ekstra. Sedangkan orderan kita melempem.

Sejauh ini pengaruh BBM berdampak betul?
Seperti tadi yang kita sampaikan, awalnya kita pertalite, tapi ketika itu antre dan kita dikejar orderan, ya, kita mau tidak mau pertamax atau eceran. Kalau BBM disubsidi dan sasarannya untuk rakyat dengan ekonomi ke bawah, ya, mestinya ada “tanda”, yang hanya dia yang berhak isi pertalite.

Soal lain?
Soal kedua adalah kenaikan tarif. Kita sih ingin tarif itu dinaikan. Kalau bisa, tarif dinaikan, potongan komisi 20 persen dikurangi, sehingga customer tidak merasa terbebani. Toh, komisi 20 persen itu sudah luar biasa tinggi. Sedangkan ada di salah satu aplikasi itu yang meminta komisi tidak sampai 10 persen. Hanya sekian persen. Dan alhamdulillah aplikasi tersebut masih ada sampai sekarang.

Soal tarif ini, apa yang sudah dilakukan?
Kami berharap kalau untuk kenaikan tarif, bagus. Setuju, supaya menambah minat customer, karena ini kan sementara, hanya satu tahun.

Kalau bisa, tarif naik, komisi turun. Jangan janji-janji manis. Tapi kita juga perlu payung hukum. Agar kita diakui. Juga dibutuhkan. Padahal telah berjalan sekian tahun. Seperti Uber di luar negeri, diakui dan ada payung hukumnya.

Sudah ada yang bersuara soal tarif Ojol?
Ada, salah seorang politisi dari partai, yang mengatakan bahwa kenaikan tarif belum tepat, karena rakyat lagi susah. Bahasa orang-orang politik. Padahal, Ojol juga rakyat.

Apa salahnya nyenengin Ojol? Kalau emang bilang rakyat ke bawah makin susah, ya, aplikatorlah yang ngalah, karena ambil 20 persen komisi dari setiap orderan, walaupun ending-nya menyinggung harus ada payung hukumnya.

Urgensi?
Namun kan urgensinya, ketika tarif belum naik tetapi BBM naik, kan, lebih ke perut tuh jatuhnya. Ada beberapa pendapat yang bicara payung hukum nanti, tarif dahulu. Kita biasanya, intinya, pihak kami maunya ada sedikit peningkatan taraf hidup. Sebab bagaimana pun juga, kami ini pun sedang menjalankan profesi. Sangat membantu. Misal di pandemi awal. Banyak yang sudah tidak bekerja, di mana mana banyak yang jadi driver Ojol.

Bisa jelaskan sola komisi 20 persen?
Cobalah untuk aplikator, turunkan komisinya yang 20 persen itu. Diturunkan. Jadi, pendapatan kita naik, customer juga tidak terbebani kenaikan tersebut. Jadi, seolah-olah argo itu tetap. Aplikator yang mengalah. Sebentar saja. Sebab selama ini per orderan 20 persen (komisi) itu dikalikan berapa puluh dan berapa juta driver, berapa costomer, belum lagi biaya tambahan (layanan, pesanan), yang dibebani oleh customer. Kadang customer itu curhat, mengapa begini-begini. Tapi, setelah saya jelaskan, baru custumer ngerti. Bahkan ada yang kaget, “Yang diterima kami kecil.”

Soal payung hukum, bisa dijelaskan?
Paling urgent itu sebenarnya payung hukum. Bahwa transportasi roda dua itu memang ada, bagaimana pun tandanya, misal berbentuk stiker. Kita adalah transportasi umum. Utamanya itu diakui dahulu, apa pun aplikasinya. Negara harus turun tangan, walau aplikasi itu punya siapa.

Mohonlah negara mau turun tangan langsung. Jadi jembatan antara kami dengan aplikator memperhatikan nasib kita. Jangan Ojol itu hanya dijadikan komoditas politik saja. Wacananya meningkatkan kesejahteraan rakyat (bahasanya demikian, tapi kenyataannya kita begini-begini saja, tanpa tindakan nyata, misal payung hukum harus ada, tarif harus seragam, aplikator yang ada dan cari makan di Indonesia, harus tunduk kepada kita (negara).

Sudah melakukan apa kawan-kawan Ojol?
Bulan lalu, ada kawan-kawan yang melakukan aksi di Dephub. Bahkan ada yang aksi jahit mulut. Mungkin ketika nanti ada pengumuman tidak naik tarif dan terlaksana, tidak menutup kemungkinan kami akan aksi lagi.

Dari aksi itu ada tanggapan?
Belum terang, ya, karena sepanjang ini tidak tahu, ya—tanggal 14 Juli 2022 apa karena aksi kemarin atau hanya ingin meredam supaya kita tidak turun lagi. Pada akhirnya, kalau kita dijanjikan, kita akan turun lagi. Di samping itu karena kita tidak tahu apakah sudah menindaklanjutinya atau belum. Aksi kemarin tidak banyak. Mereka yang mengadakan dari Serikat Ojol Indonesia (SEROJA).

Aksi terbaru apa isunya?
Kenaikan tarif. Kita akan turun lagi kalau tidak terlaksana. Menunggu jawaban pemerintah. Sebab kalau kita minta ke aplikator susah. Cuek. Kita dipandang sebagai mitra. Kira-kira jawaban mereka, “Kalau kalian masih mau narik, silakan. Kalau tidak mau, masih banyak yang mau.” Kita seperti tidak punya kekuatan. Kami akan aksi apa pun jawabannya sampai tarif naik dan komisi untuk mereka turun.

Kami memang berencana akan melakukan aksi terkait itu. Ke depan kita akan kerja sama dengan, lintas komunitas dan lainnya. Saat ini lebih banyak kita mengajak.

Akan menurunkan banyak massa?
Ya, kita harus konsolidasikan dahulu soal itu. Kita bicarakan ke masing-masing komunitas dan basecamp se-Jabodetabek. Penting, karena saya khawatir kita nanti dijadikan “bahan gorengan”. Sebab ada rasa mereka yang seolah membantu ingin mengambil suara Ojol. Sementara untuk aksi belum diputuskan kapan waktunya.

Tapi pernah gabungan aksi?
Kita ada wadah untuk soal itu, salah satunya SEROJA dan beberapa wadah aktivis Ojol. Intinya nanti akan dikomunikasikan lagi. Ada wacana duduk bareng.

Agar aksi menjadiboom?
Kita akan rencakan offbid (tidak menyalakan aplikasi, tidak narik) massa berapa jam, begitu. Ada kerugian memang, pihak kita, pengguna jasa, aplikator. Pengguna jasa akan susah.

Itu baru roda dua, apalagi roda empat. Tak perlu lama-lama. Bisa kita realisasikan di jam-jam kerja/sibuk. Tapi kita sementa baru imbauan saja, daripada sweeping. Jangan. Kita pernah coba itu. Tidak bisa berapa jumlahnya, karena sifatnya itu imbauan, karena repot jika ditanya, “Lu mau nanggung dapur gua?”

Dasar wacana muncul?
Itu sebetulnya sudah lama. Berapa kali Ojol lakukan itu.

Ada komentar soal MyPertamina?
Itu justru kontradiksi karena kita kan tidak boleh menggunakan hand phone di SPBU. Kan lucu, itu aturannya. Juga perlu digarisbawahi bahwa tidak semua rakyat Indonesia memiliki hand phone Android. Lebih banyak gapteknya, kalau boleh saya katakan. Misal dengan emak-emak. Soal subtansi, mungkin kalau itu, yang menggunakan dari pihak SPBU-nya, berhak atau tidak dengan aplikasi itu. Misal dengan stiker. Jadi kalau yang mengisi tidak perlu karena sudah punya stiker. Cuma kan masalahnya kan bagi penjual yang penting ada yang membeli.

Ada usul atau pesan ke aplikator?
Ada kendala juga, di mana aplikator terus menunggu lowongan. Ketika dibuka dan menjadi perhatian pemerintah, kita itu sebetulnya seperti bisa mencukupi kebutuhan. Tapi terkesan menutup mati. Padahal pemerintah terbantu. Misal pandemi awal kan, mereka yang tidak kerja, menjadi driver Ojol. Jadi, usul kami, setop penerimaan driver baru. Kecuali ada aplikasi baru. Beda lagi.

Pengurus Community Ojek Online (COOL)

Pembina: Prof Widodo
Ketum: Bondan
Korlap: Kimung, merangkap Korwil Selatan Gerakan Aksi Relawan Ojol Peduli Anak Yatim.
Wakorlap: Komeng (Gojek), sekaligus Ketua Jaktimsel, Single Fighter Indonesia (SFI)—hadir di seluruh Indonesia. Pusatnya di Bandung, Jawa Barat.
Unit Reaksi Cepat (URC): Ompong, Dede, dan Martin

Exit mobile version