Site icon Parade.id

Wawancara Eksklusif dengan Sekjend KSBSI Dedi Hardianto soal Revisi UU PPP

Foto: Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (Sekjend KSBSI), Dedi Hardianto

Jakarta (PARADE.ID)- Revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) belakangan ini menuai kontroversi di kalangan masyarakat, khususnya kaum buruh/pekerja Indonesia, dengan menilai bahwa hal itu dapat melanggengkan Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) atau UU Nomor 11 Tahun 2020, yang sempay diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) Inkonstitusional Bersyarat.

Benarkah sampai demikian jika revisi UU PPP itu disahkan?

parade.id berkesempatan menanyakan lebih jauh soal itu ke Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (Sekjend KSBSI), Dedi Hardianto secara eksklusif.

Berikut wawancara parade.id dengan Dedi, Senin (30/5/2022), di kantor KSBSI, Cipinang, Jakarta Timur:

Bagaimana tanggapan Anda soal revisi UU PPP?
Saya melihat, bahwa hari ini pemerintah memaksakan revisi UU P3, karena agendanya memaksakan UU No. 11 Tahun 2020.

Mengapa Anda sebut pemerintah seakan memaksa?
Memang ada pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ketika itu yang menyatakan bahwa Omnibus Law tidak dikenal. Artinya UU kita ini (UU No. 11) tidak ada masalah. Ada kepentingan apa pemerintah seakan memaksakannya, mempercepat revisi UU P3, sehingga diketuk palu tanggal 24 kemarin.
Artinya ada agenda kepentingan pemerintah selama ini dalam UU No. 11 Tahun 2020 yang dikatakan Ciptaker tadi. Dipaksakan.

Mestinya bagaimana?
UU yang harus direvisi adalah UU Ciptaker ini, bukan UU P3-nya, kalau pemerintah mau memperbaikinya. Tapi kan karena hari ini ada penolakan keras dari serikat pekerja dan serikat buruh, dimana menolak soal urusan kerja, pesangon yang nilainya terdegradasi, lalu nilai yang ada di UU diturunkan ke PP.
PP ini yang harus diperbaiki sesungguhnya, kalau dari sisi serikat pekerja dan serikat buruh, karena PP 35, 36 itu sudah ada korban yang berserakan.

Ada contoh kasusnya?
Misalkan, saya datang ke sembilan provinsi dimana pengusahanya hari ini, hampir rata-rata PP ini menjadi alat karena itu aturan UU, dan akhirnya pengusaha-pengusaha mem-PHK lewat PP tersebut.
Jadi menurut saya kalau mau diperbaiki, ya, UU Ciptakernya, kalau pemerintah mau memperbaiki. Kan artinya kalau diperbaiki itu—sebab dipembuatan UU tidak ada masalah—soal pertimbangan hakim yang tidak kenal dengan Omnibus Law di negara Indonesia.

Jadi maksudnya dikeluarkan (Ciptaker) saja?
Ya, kalau memperbaiki misal KSBSI hari ini, keluarkan saja tuh kluster ketenagakerjaan karena dari awal komitmen kita kan itu: mari kita revisi UU atau membuat UU yang baru? Kalau mau revisi, mari kita revisi UU 13-nya, karena compang-camping.
Apa yang mau direvisi, mana yang tidak relevansi dunia usaha dan dunia industri. Tapi bukan berarti menghilangkan hak-hak fundamental pekerja/buruh. Misalnya hubungan kerja, kelangsungan pekerjaan, kelangsungan mendapatkan upah yang layak: itu hak fundamental serikat pekerja/serikat buruh. Ini yang harus diperbaiki. Tapi kenapa malah UU PPP-nya?

Kalau diganti dengan UU baru bagaimana?
Kalau bicara mau buat UU yang baru, mari kita buat UU yang baru. Kita kumpulkan khusus ketenagakerjaan. Kita buat ekosistem ketenagakerjaan, kalau memang tujuannya baik. Nah saya tidak melihat baik, khusus untuk kluster ketenagakerjaan. Tujuan hanya bagaimana melegitimasi degradasi hak-hak dasar fundamental pekerja buruh.
Secara parsial itu yang saya sampaikan terkait kluster ketenagakerjaan. Terhadap 10 kluster yang lain, saya tidak terlalu mengambil peran di situ. Jadi hari pemerintah saya lihat ada agenda besar yang dipaksakan. Apa kepentingannya?

Ada makna apa yang Anda lihat dari putusan MK sebenarnya?
Kalau bicara putusan MK itu soal UU No. 11 Tahun 2020 berlaku tetapi harus diperbaiki dahulu, karena dianggap inkonstitusional bersyarat. Artinya perintah MK itu UU tersebut. Tapi yang dilakukan pemerintah hari ini bersama DPR memperbaiki tata cara membuat UU. Padahal di putusan MK itu tidak ada, terkait pembuatan UU itu bermasalah. Cuma ada dipertimbangkan Omnibus Law tidak dikenal. Makanya saya bilang tadi yang harus diperbaiki itu Ciptaker.
Ciptaker ini yang masalah.

Penolakan serikat pekerja terhadap Ciptaker cukup tinggi. Harusnya pemerintah fokus di situ. Apa yang sih yang dipersoalkam serikat pekerja serikat buruh , bahwa MK menyatakan inkonstitusional bersyarat, artinya UU itu tidak baik, selama dua tahun tidak boleh dipakai. Tapi ada yang tertinggal merusak, yakni PP 35, 36, dimana perusahaan menggunakannya untuk mem-PHK orang.

PP-nya bermasalah?
PP tersebut adalah turunan dari UU. Itu juknis dan juklaknya UU. UU-nya dinyatakan inkonstitusional bersyarat tetapi PP-nya berlaku. Ini yang harus diperbaiki oleh pemerintah. PP yang bermasalah, yang berdampak kepasa pekerja buruh yang gampang di-PHK, hubungan kerja diperluas, outsourching diperluas, ini yang merugikan pekerja buruh. Ini yang harusnya diperbaiki, kalau perusahaan memiliki tujuan baik. Saya tidak melihat ini akhirnya baik bagi pekerja buruh, karena tujuan pemerintah hari ini adalah dengan memaksakan UU PPP itu melegitimasi agar UU No. 11 Tahun 2020 itu menjadi UU.

Jadi apa yang diamanatkan oleh MK tidak sesuai?
Ya, jadi saya melihat putusan MK, kemudian yang terkait inkonstitusional bersyarat, harusnya DPR memperbaiki UU No. 11 Tahun 2020 yang diperbaiki. Kok dia bekerja memperbaiki tata cara membuat UU? Padahal pembuatan UU tidak ada masalah.

Jadi sebetulnya ke mana kira-kira arahnya?
Jadi saya lihat ada agenda besar yang tersembunyi, yang dilakukan pemerintah, yang dampaknya UU No. 11 Tahun 2020 tadi itu terkesan dipaksakan. Ada bahasanya serikat pekerja serikat buruh: menyiapkan karpet merah kepada kaum pemilik modal. Pemerintah tidak melihat bahwa pekerja buruh itu harus dilindungi oleh negara. Saya tidak melihat pemerintah mau melakukan itu.
Padahal amanat UU 45’, pemerintah itu wajib melindungi pekerja buruh. Kalau ini pemerintah jauh dari melindungi, karena yang terjadi PP 35, 36, menjadi sarana untuk mempermudah pekerja buruh ter-PHK. Jadi pemerintah itu tidak peduli dengan perlindungan buruh. Tidak peduli dengan kelangsungan pekerjaan buruh. Padahal itu sangat siginifikan terhadap dampak ekonomi.

Berarti revisi UU PPP tidak ada hubungannya dengan putusan MK?
Seharusnya tidak ada relevansi, kalau kita pakai rujukannya (MK). Tidak ada relevansinya. Sebab perintah MK itu, UU-nya yang diperbaiki (No. 11 Tahun 2020).

Tapi mengapa hampir seluruh fraksi di DPR mendukungnya?
Harusnya partai, karena yang duduk di sana itu utusan rakyat, harusnya beliau-beliau betul-betup mendengar suara rakyat. Buruh itu kan suara rakyat, yang memilih mereka sehingga seharusnya mereka peduli dengan pekerja buruh. Bukan berarti kita mengatakan kita harus tidak peduli dengan dunia usaha, dengan dunia industri. Kita peduli. Tapi tidak boleh kemudian ketika hanya bicara dunia usaha, dunia industri lalu melalaikan, mendegradasi hak pekerja buruh. Itu tidak boleh.
Khusus untuk PKS, saya tidak tahu mengapa PKS menolaknya, sementara yang lain menerima (revisi). Tapi yang dilakukan oleh PKS, tentu politis.

Dampak revisi UU PPP ke Ciptaker?
Saya melihat begini, artinya DPR dan pemerintah memaksakan materil UU No. 11 Tahun 2020 itu berjalan. Dipaksakan. Artinya, kerugian ke pekerja buruh tetap dijalankan. Walaupun tetap terkait materil itu tetap akan ada pembahasan-pembahasan. Saya melihat target DPR dan pemerintah memaksakan agar UU No. 11 Tahun 2020 itu menjadi UU. Padahal UU tersebut, PP-nya betul-betul merugikan. Tidak ada berpihaknya kepada pekerja buruh.

Apa sikap atau langkah KSBSI?
Ya, karena hari ini UU (PPP) sudah diketuk palu (revisi), memang penolakan-penolakan dari awal, misal ketika masih berproses UU itu, kita menyuarakan penolakan-penolakan, termasuk aksi-aksi. Akan tetapi setelah itu sudah menjadi UU, kita tidak bisa lagi turun ke jalan turun ke jalan menolak UU tersebut, yang kita bisa lakukan adalah jalur konstitusi. Artinya kita akan menggugat UU tersebut, karena jalur itu yang memang sesuai dengan konstitusi, termasuk menggugat (nanti) UU PPP.

Padahal ketika UU dilahirkam untuk mengatur tetapi kemudian UU dilahirkan ditolak, digugat, saya pikir tidak layak UU tersebut (dijadikan UU), karena terlalu banyak penolakan. Langkah-langkah konstitusilah yang harus dilakukan.

Tidak seperti yang lain turun ke jalan?
Ya, karena kalau turun ke jalan kurang efektif. Saya belum melihat ada UU yang telah jadi kemudian ditolak masyarakat, kemudian UU itu dicabut. Saya tidak melihat. Tapi ketika dia sudah menjadi UU, maka langkah konstitusi yang menggugat. Bagi teman-teman yang turun ke jalan, dipersilakan. Artinya secara politis melakukan penekanan pada pemerintah. Tapi UU itu kan tidak serta-merta dicabut oleh DPR. Tidak bisa kemudian dicabut oleh pemerintah.
UU itu menjadi tidak sah adalah ketika ada langkah-langkah konstitusi. Artinya, kalau ada hari ini ada yang mau melakukan tekanan melalui di jalanan, saya pikir itu sebuah dinamika di sebuah negara demokrasi. Itu sah-sah saja. Tapi menurut saya langkah yang efektif adalah lakukan secara UU, walaupun memang peluangnya kecil, karena UU ini dibuat inisiatif pemerintah dan DPR langsung mensahkannya. Maka secara konstitusi langkahnya adalah menggugat. Hanya itu sarananya.

Penglihatan Anda, apa output kawan-kawan lain turun ke jalan?
Persis yang tadi saya katakan tadi, pekerja buruh memang senjatanya selama ini adalah turun ke jalan, turun aksi, menekan kebijakan-kebijakan, memang sepakat itu harus dilawan. Tapi hari ini, yang saya katakan di awal, bahwa (revisi) UU ini sudah jadi. Turun ke jalan, ya, sah-sah saja. Tapi efektivitas perjuangan, setelah turun ke jalan tetap menjadi UU, maka secara konstitusi kita lakukan gugatan. Atau pilihan kedua adalah aksi tetap jalan dan gugatan jalan.
Supaya efektif menekannya sehingga masyarakat juga tahu bahwa tata cara membuat UU ini penuh dengan muatan-muatan politis yang akan berdampak, terutama kepada serikat pekerja serikat buruh. Kita juga harus sampaikan ke masyarakat, karena undangan aksi itu, secara politis kita menekan. Jadi dua hal itu harus kita lakukan.

Untuk dua hal itu, KSBSI sudah melakukannya?
Memang dalam rapat tadi, soal langkah-langkah yang kita akan ambil adalah turun ke jalan atau melakukan gugatan. Efektivitas ke jalanan sampai sejauh mana. Efektivitas gugatan sampai sejauh mana. Jadi kita tadi masih terjadi perdebatan. Belum ada keputusan. Akan tetapi kita mencoba menyampaikan bahwa ketika sudah menjadi UU maka kita harus gugat.
Gugat ke MK, karena sarananya hanya itu. Jadi pilihannya belum kita putuskan tetapi peluang kita akan melakukan gugatan sesuai yang diatur oleh konstitusi. Kita akak gugat terkait UU PPP tadi.

Adanya Ciptaker ditambah revisi UU PPP, buruh sudah kalah?
Memang kalau langkah-langkah buruh ini dari awal pembentukan (Ciptaker), keterlibatan itu tidak ada, lalu kemudian lobi-lobi yang dilakukan oleh serikat pekerja (ke dewan), kepada pemerintah, menjelaskan dampak dari UU Ciptaker—ternyata selama ini poin yang didapatkan itu merugikan buruh. Jadi kalau memang melihat putusan-putusan tadi, memang buruh dirugikan.
Kalau langkah-langkah efektif buruh hari ini memang tidak banyak. Sebab pilihan buruh itu: lobi, aksi, audiensi. Jadi sarana hari ini adalah konstitusi. Dan memang kelemahan buruh adalah suara buruh tidak satu. Itu yang dilihat oleh pemerintah. Maka pemerintah langgeng jalannya, karena mungkin pemerintah sudah membaca bahwa buruh ada yang tidak bersama. Tidak kompak. Ada buruh yang bisa dikondisikan. Mungkin macam-macam pemerintah melihat itu. Sehingga pemerintah percaya tetap jalan.
Untuk aksi soal revisi UU PPP, kita lebih cenderung akan melakukan gugatan. Makanya kita diskusikan dengan tim. Kita pelajari. Bentuk tim kecil, karena kita akan melakukan gugatan. Langkah kita hanya itu. Sarananya hanya itu hari ini.

(Rob/PARADE.ID)

Exit mobile version