Site icon Parade.id

Wawancara Eksklusif! Revisi UU PPP di Mata Ketua PUK SP LEM SPSI AHM

Foto: Ketua PUK SP LEM SPSI PT Astra Honda Motor (AHM), Taufik Hidayanto

Jakarta (PARADE.ID)- Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) belakangan ini tengah ramai di kalangan kebanyakan buruh Indonesia. Pasalnya, revisi ini dinilai akan memuluskan Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang selama ini ditentang oleh mayoritas buruh.

Lalu, bagaimana pandangan buruh di jajaran Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK SP LEM SPSI) terkait revisi UU PPP tersebut? parade.id dalam hal di atas berkesempatan mewawancarai secara khusus salah satu Ketua PUK SP LEM SPSI PT Astra Honda Motor (AHM), yaitu Taufik Hidayanto.

Berikut hasil wawancara parade.id, Jumat (10/6/2022) sore di salah satu tempat bilangan Jakarta Pusat:

Bagaimana menurut Anda soal revisi UU PPP?
Kalau saya melihat bahwa revisi UU PPP itu implikasi dari ketuk palunya Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan gugatan para pihak atas Omnibus Law. Sehingga dalam ketuk palu itu, tanggal 25 November, bahwasaya Omnibus Law itu Inkonstitusional Bersyarat—kami lihat sebagai upaya dari pemerintah untuk memperbaiki dan (mungkin) melegalkan Omnibus Law.

Revisi dimaknai untuk memuluskan Omnibus Law ataupun Cipta Kerja, pendapat Anda?
Kami melihat—apa yang disampaikan oleh MK itu kan Inkonstitusional Bersyarat, bahwa selama dua tahun harus diperbaiki, nih.
Kalau tidak diperbaiki berarti akan menjadi Inkonstitusional Mutlak. Sehingga pihak-pihak yang ingin meloloskam Omnibus Law kan mencari jalan cepat, bagaimana Omnibus Law itu goal.

Bagaimana kalau sebenarnya tidak perlu revisi UU PPP?
Kalau itu tidak direvisi, UU PPP-nya, dia harus merevisi pasal-pasal di Omnibus Law yang menyangkut puluhan UU itu, yang kemungkinan dua tahun tidak cukup merevisi itu. Sehingga, kalau bicara istilah salat, salatnya tidak sah karena wudunya tidak sah.

Dipertegas, maksudnya pemerintah ingin cari jalan cepat?
Ya, pemerintah ini mau mencari cara cepat, memperbaiki cara wudunya saja.
Jadi, kalau menurut saya, materinya itu kan banyak yang cacat hukum. Cacat konstitusional. Misal khusus soal kluster ketenagakerjaan, dimana stakeholder serikat pekerja, kami yakin bahwa belum banyak diminta pandangan-pandangannya. Sehingga, kami sebagai objek UU Keteganakerjaan yang turut masuk ke Omnibus Law, itu juga belum diajak bicara.

Kemudian soal kawan-kawan buruh yang aksi karena itu?
Menurut saya harus. Harus, karena hari ini aspirasi-aspirasi kami kan sulit untuk didengar oleh pemerintah. Sehingga, cara menyampaikannya tentunya dengan aksi-aksi masif. Misal dari 5 Oktober, yang waktu itu diketuk palu di legislatif terkait Omnibus Law-nya, yang rencananya 8 Oktober, akhirnya berlanjut dan sebagainya, akhirnya kami melihat bahwa Omnibus Law itu, meskipun produk legislatif, tapi kami lihat inisiatif-inisiatifnya menurut kami banyak dari pemerintah.

Kalau aksi goal-nya apa?
Ya, kami ingin UU khusus ketenagakerjaan, ingin menggunakan UU 13. Goal-nya adalah kita tidak mau UU 13 Tahun 2003 itu direvisi, karena kam dari tahun 2006 sudah ada upaya untuk merevisi—kita pernah mendengar istilah dari 2017 itu rejuvenasi (peremajaan). Ingin diperbarui. Tapi kan akhirnya masuk ke dalam kluster ketenagakerjaan yang, meskipun seolah-olah di wilayah legislatif tetapi kami melihat ada upaya-upaya yang masif dari 2006 (untuk mengubah UU 13).

Berarti ada rencana aksi juga seperti yang lain?
Kebetulan kami soal itu belum ada rencana akan aksi. Tapi dipastikan akan ada aksi. Sebab di federasi LEM sendiri, Ketua LEM, Ir. Arif, sudah menyampaikan bahwa ini harus dilawan. Kalau tidak, ya, berarti sama saja kita memuluskan upaya revisi UU 13-nya.

Sebab apa belum ada rencana aksi dalam waktu dekat?
Sebab, kita hari ini masih konsen mengawal soal gugatan Apindo. Gugatan ini terkait UMP yang sudah diputuskan Gubernur DKI Jakarta.
Gugatan yang ada di PTUN hari ini, itu pun dampak dari terbitnya PP 36, turunan dari UU Cipta Kerja, dimana secara konstitusi oleh MK dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat. Pertarungan masih di situ.

Aksi akan besar?

Kalau kami nanti jadi aksi, pasti akan lebih besar dari yang sebelum-sebelumnya. Kemarin itu kan pemanasan. Kalau kita melihat karena ini sudah di legislatif, mereko ngotot untuk nge-goal-in, khusus kluster ketenagakerjaan, ya, kita akan ngotot agar jangan direvisi.

Selain aksi bagaimana? Misal lewat jalur hukum?
Nah, itu ranahnya konfederasi. Ranahnya Bang Jumhur itu. Kalau kita pasti aksi-aksinya non-litigasi. Kita pasti aksi-aksi lapangan. Kita akan menggunakan itu.
Kalaupun turun, dari AHM sendiri kemungkinan tidak turun semua.
Anggota kita di AHM ada 10.000 orang. 1 PUK 10.000 orang. Kalau aksi (nanti) gak turun semua. Tapi, ya, itulah anggota kita, banyak.
Di DPR kemarin, anggota kami turun cukup banyak. Namun, itu juga dibatasi, karena taat prokes, karena prokes itu kan secara nasional (dibatasi). 500 orang sekali turun. Bukan hanya pengurus saja yang turun.

Kalau pada akhirnya Omnibus Law permanen, akan ada aksi kolaborasi dengan serikat lain?
Potensi itu ada. Seperti potensi kita mogok nasional seperti KSPI. Artinya, itu kan bersama-sama kawan-kawan seperjuangan—akan mengkonsolidasikan diri, bagaimana nanti ini sudah jadi produk permanen. Menjadi sah karena sudah diperbaiki selama dua tahun ini. Ini akan menjadi titik balik. Titik balik bagaimana buruh melawan kembali.
Kalau selama ini kan UU 13 cukup baik hubungan industrial. Tapi dengan Omnibus Law Cipta Kerja ini, banyak sekali kesejahteraan buruh yang turun. Itu tentunya kita akan menyampaikan kepada anggota kita secara langsung di lapangan.
Kalau anggota kita paham, bahwa banyak sekali kesejahteraan turun, kami yakin hati nuraninya terketuk untuk bersama-sama berjuang.

(Rob/PARADE.ID)

Exit mobile version