Site icon Parade.id

Wawasan Kebangsaan: Pancasila dan Radikalisme

Foto: aktivis Lendi Octa Priyadi (kiri), Wadanramil 05/Tanah Abang Lettu Arhanud Suprapto (kanan) dalam acara diskusi dengan tema "Wawasan Kebangsaan" yang diadakan oleh Kampung Tangguh Jaya (KTJ), Sabtu (23/10/2021)

Jakarta (PARADE.ID)- Membicarakan radikalisme di mana pun, termasuk di Indonesia yang mempunyai Pancasila, selalu menarik banyak pihak untuk berbicara dan berkomentar.

Radikal sendiri, dalam pengertian umum ialah perubahan mendasar hingga prinsip. Namun, belakangam, kata ini diimplementasikan dengan keliru, misal berbuat kerusakan atau mengganggu ketertiban dan keamanan (suatu daerah/bangsa).

Menurut aktivis sekaligus mantan pengurus PB HMI, Lendi Octa Priyadi bahwa sebenarnya radikal harusnya jangan diimplementasikan demikian, seperti merusak ataupun ada maksud ingim mengubah ideologi negara.

“Ada dua radikalisme. Pertama statis. Statis ini bersifat gagasan, bukan kenyataan. Kedua, adalah destruktif, yang merusak. Dan ini sudah sampai menggunakan kekerasan,” kata dia, Sabtu (23/10/2021), dalam acara diskusi dengan tema “Wawasan Kebangsaan” secara virtual.

Statis itu, kata dia, tidak masalah. Sebab ia masuk akal. Bukan irasional. Hal ini ia contohkam bagaimana pemikiran radikal dari pejuang kita bersifat—yang ingin memperjuangkan kemerdekaan.

“Jangan salah paham. Harus bertindak rasional, bukan irasional. Bukan menjadi teroris,” jelasnya.

Jika sampai demikian, maka menurutnya tidak dibenarkan dalam Indonesia. Apalagi, lanjut dia, deologi Pancasila itu di kita sudah final.

“Misal berkutuhanan. Makanya komunis dan ateis tidak bisa hidup di sini karena ada Pancasila. Dan paham radikal pun tidak cocok,” katanya lagi.

Ia kemudian menyinggung soal tipologi radikal. Dalam tipologi yang ia sebutkan bahwa ada radikal gagasan, radikal milisi, radikal separatis, radikal premanisme, dan radikal teroris (yang mengusung dan mengatasnamakan keagamaan, penghancuran, pembunuhan, bersifat masif, dll).

“Mereka ingin mengubah Pancasila, karena dianggap gagal mensejahterakan masyarakat. Padahal negara-negara lain iri karena kita memiliki Pancasila. Pancasila sudah final. Tidak bisa diubah,” tegasnya.

Untuk itu, menurut dia, bila ada orang atau sekelompok orang yang ingin mencoba mengubah Pancasila lewat paham-paham tertentu maka harus ada peran negara. Agar mampu mencegah masuk ke negara kita.

Terutama BPIP, kata dia, yang harus berperan aktif menangkal paham-paham radikalisme itu di Indonesia. Selain itu, juga harus menggandeng para tokoh agama, mahasiswa, dll.

Hal lainnya, yang perlu mendapat perhatian ialah dunia maya. Lendi menjelaskan, bahwa dunia maya juga memiliki peran masyarakat berpikiran radikal (terhadap negara). Misal lewat Facebook, Twitter, Instagram, dll dengan menyebarkam paham di luar ideologi Pancasila.

“Sebab masyarakat kita sangat aktif dengan menggunakan media sosial. 85 persen milenial rentan terpapar radikalisme,” pengamatannya.

“Makanya negara harus hadir agar tidak masuk paham-paham radikal. BPIP harus menggandeng banyak kelompok,” tekannya.

Sementara itu, Lettu Arhanud Suprapto, Wakil Danramil 05/Tanah Abang juga tak luput mengamati bagaimana peran teknologi (baca: media maya) atas hal radikalisme. Menurut dia, bahkan hal itu belakangan membuat cara wawasan kebangsaan kita meluntur.

“Karena perkembangan teknologi, salah satunya. Kalau kita ketinggalan HP, kita repot. Kebersamaan kita pun mulai berkurang. Misal, munculnya rasa kedaerahan, saling menonjolkan,” ujarnya, di acara yang sama.

Padahal, kata dia, soal wawasan kebangsaan ini sangat penting. Agar kesempurnaan kita memahami negara Indonesia ini tercipta. Apalagi rasa kebangsaan itu merupakan substansi Sumpah Pemuda.

“Bangsa kita masih kuat. Tapi kalau dari dalam, musuhnya sangat bayang-bayang, rakyat kita sendiri. Berbeda dengan dari luar,” jelasnya.

Ia pun mengatakan bahwa wawasan kebangsaan ini memili yang tidak hanya memiliki ciri-ciri, melainkan juga memiliki tujuan.

Adapun ciri-cirinya ialah kita mempunyai rasa ikatan yang begitu kokoh. Selain itu, kita menghindari untuk membangun primodarliasme dan bersifat eksklusif. Juga berpikiran positif.

Adapun tujuan wawasan kebangsaan, lanjutnya, ia menguatkan kesadaran membangun ketahanan nasional Indonesia. Selain itu, mencintai kepentingan negara daripada kepentingan sendiri.

Oleh karena itu, Pancasila ini cocok di negara Indonesia. Pancasila sudah tepat. Kalaupun ada yang menyinggung bahwa Pancasila tidak bikin maju bangsa, kata dia, bukan karena Pancasila-nya, tapi individunya yang tidak menerapkan Pancasila.

“Esensi Pancasila itu, nilai relijius, persaudaraan, keselarasan, kerakyatan, keadilan, demokrasi, kesamaan derajat, ketaatan hukum, kesatuan wilayah, persatuan bangsa, dll. Hal yang perlu mendapat perhartian ialah menerapkan nilai-nilai kebangsaan di segenap jiwa raga dalam kerangka NKRI,” terangnya.

Terakhir, ia menekankan bahwa NKRI ini terbentuk karena kebangsaan, bukan agama. Republik bukan kerajaan. Kesatuan, bukan serikat.

Dan harus makin yakin bahwa kebenaran falsafah Pancasila, UUD 45, NKRI ialah bentuk negara yang tepat, karena mengajarkan menghargai sesama.

Acara diskusi cukup mengundang antusiasme pemuda dan lainnya. Acara dimulai sejak pukul 09.00-10.45 WIB.

Acara diskusi ini adalah kolaborasi Astra dengan KTJ Polsek Tanah Abang dan Polsek Tanjung Priok.

(Sur/PARADE.ID)

Exit mobile version