Site icon Parade.id

YLBHI: RKUHAP Legitimasi Pelanggatan HAM, Warga Rentan Dijebak

Foto: Ketua YLBHI Muhammad Isnur di diskusi publik “RKUHAP Legitimasi Pelanggatan HAM, Warga Rentan Dijebak”

Jakarta (parade.id)- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melontarkan kritik keras terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai tidak menyelesaikan masalah fundamental dalam sistem peradilan, bahkan justru melegitimasi pelanggaran HAM yang selama ini terjadi.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam paparannya menyebut RKUHAP yang sedang dibahas justru menambah masalah baru dan menempatkan seluruh warga negara Indonesia dalam posisi rentan terhadap rekayasa pidana.

KUHAP yang berlaku sejak 1981 dinilai sudah sangat tertinggal dan merupakan produk era otoritarian. “KUHAP tersebut lahir di masa ketika ruang pembuatannya didominasi oleh kekuasaan yang otoritarian. Bahkan fraksi militer dan fraksi ABRI menjadi perumus dalam penyusunan KUHAP,” ujar Isnur dalam Diskusi Publik dengan tema: “Membedah Pasal Krusial di RKUHAP”, Sabtu (2/8/2025), di Waroeng Aceh Garuda, Tebet Barat, Jakarta Selatan.

Akibatnya, kata Isnur, pengaturan lebih mengutamakan kekuasaan aparat penegak hukum ketimbang hak-hak warga negara. Hal ini terbukti dari minimnya kontrol pengadilan dan kekuasaan kehakiman untuk mengontrol keseimbangan antar aparat.

Implementasi KUHAP lama kata Isnur telah menghasilkan pelanggaran HAM secara sistematis. Data Mahkamah Agung pada 2022 menunjukkan 60 orang diputus bebas dalam setahun, yang menurut YLBHI merupakan “puncak gunung es” dari kasus salah tangkap.

“Di Belanda, salah tangkap dalam setahun mungkin hanya satu kasus dan sangat jarang terjadi. Di Indonesia, minimum ada 60 orang yang salah tangkap dalam tahun tersebut,” bandingnya.

Isnur juga menyoroti berbagai kasus pelanggaran seperti penyiksaan terhadap Rian dari Jombang dan Oki di Banyumas, serta praktik pemerasan terhadap pengunjung konser dari Malaysia.

YLBHI mengkritik keras proses penyusunan RKUHAP yang dinilai tidak transparan. Isnur menceritakan pengalamannya yang diundang dalam pembahasan di DPR pada 23 Januari, namun tiba-tiba pada 12 Februari sudah muncul draft tanpa kejelasan proses penyusunan.

“Ketika ditanya kepada anggota Komisi 3, mereka tidak tahu asal draft tersebut dan tidak pernah ada pembahasan antar fraksi. Draft tiba-tiba disahkan menjadi draft anggota DPR tanpa kejelasan siapa yang menyusun,” ungkapnya.

YLBHI mengidentifikasi dua pasal dalam RKUHAP yang dinilai sangat berbahaya. Pertama, penyebakan di tahap penyelidikan. “RKUHAP mengadopsi metode ‘undercover operations’ dari undang-undang narkotika ke tahapan penyelidikan, padahal belum ada tindak pidana yang jelas.

Hal ini kata dia, memosisikan seluruh warga negara Indonesia dalam posisi yang sangat rentan terhadap rekayasa pidana, dijebak, dan dibuat-buat.

RKUHAP kata Isnur juga melegitimasi praktik menekan tersangka untuk menolak pendampingan hukum. Tersangka bisa dipaksa membuat berita acara penolakan advokat dengan dalih “tidak memerlukan pendamping hukum.”

“Artinya, advokat tidak bisa berbuat apa-apa karena klien bisa ditekan kapan pun untuk tidak menggunakan advokat atau pendamping hukum,” jelasnya.

RKUHAP juga dinilai gagal menyelesaikan konflik berkepanjangan antara kepolisian dan kejaksaan terkait kewenangan penyidikan. Kejaksaan merasa memiliki “dominus litis” (pemilik perkara), sementara kepolisian menganggap diri sebagai penyidik utama.

“Konsep ini tidak berhasil, tapi sekarang diselipkan dalam RKUHAP, sehingga konflik dan ketegangan ini terus berlanjut,” kritik Isnur.

YLBHI mendesak dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap RKUHAP sebelum disahkan. Menurut organisasi bantuan hukum tertua di Indonesia ini, RKUHAP justru melegitimasi kesalahan yang terjadi selama ini dan berpotensi memperburuk kondisi penegakan hukum di Indonesia.

“Dua contoh berbahaya ini menyelusup dalam ruang gelap pembahasan RKUHAP, dan masih ada puluhan masalah lainnya yang perlu diperhatikan,” pungkas Isnur.*

Exit mobile version