Jakarta (PARADE.ID)- Aktivis senior Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa pembubaran FPI lebih bermakna ideologis untuk bangsa. Tapi, kata dia, yang lebih berdampak politik praktis adalah penelusuran siapa-siapa pembiayanya.
“Kemungkinan besar kelompok/orang yg tak seideologi dgn FPI tp memakai FPI u/ tujuan2 oportunisnya. Moga2 jd kado Tahun Baru 2021,” kata dia, kemarin, di akun Twitter-nya.
“Jika benar, kebangetan sih mereka ini, membiayai permainan yg sangat berbahaya utk bangsa. Yg jika salah kelola bisa2 memicu konflik sektarian satu bangsa. Spt apa itu? Tanya saudara2 kita di Maluku yg pernah merasakannya…”
Jika konflik Maluku itu luka bakar parah skala 1 tangan, katanya, kita malah bisa terancam luka bakar parah sekujur tubuh. Infeksinya tak tersembuhkan dan bisa berakibat kematian ruh kebangsaan dan kemanusiaan.
“Bagaimana ruh kemanusiaan & kebangsaan mati gara2 politisi2 ambisius/oportunis banyak uang yg membiayai kelompok2 spt FPI?”
Kita yang bekerja di luar rumah menurut dia akan was-was pada keluarga yang kita tinggal di rumah atau keluarga yang sedang ke sekolah karena kita tak tahu kekerasan dalam rupa kerusuhan atau bom sewaktu-waktumeledak.
“Tanya saudara-saudara kita di Poso. Kita dipaksa membela tetangga sebelah kanan kita memusuhi, berbuat kekerasan verbal atau fisik (dlm keadaan ekstrim: membunuh) tetangga sebelah kiri kita. Bisa beda agama atau satu agama tapi beda aliran.”
Luka fisiknya pun menurutnya akan menyakitkan dan luka batinnya lama, yang terbebas dari luka fisik, menggelandang di antara bangsa-bangsa sebagai pencari suaka. Saat manusia-manusia Indonesia menggelandang sebagai pencari suaka di antara bangsa-bangsa meninggalkan tanah airnya yang subur. Ia mempertanyakan siapa yang akan dapat untungnya.
“Kita dipaksa sekelompok orang yg tak kita kenal yg mengaku 1 agama, suku atau 1 aliran dgn kita u/ memusuhi atau membunuh saudara atau tetangga yg puluhan tahun hidup bersama kita krn mereka berbeda agama atau seagama tp beda aliran. Tanya teman2mu dr Maluku.”
Agar tak seperti mereka yang harus mengatasi masalahnya melalui perang, maka menurut dia, kita harus menyelesaikannya secara politik. Mumpung waktu masih berpihak pada kita. Menyakitkan tapi tak mematikan.
Menurut dia, kita mesti belajar dar sejarah dan geopolitik. Itu bekal kita berpolitik dan bernegara. Jangan naif.
“Jadi politisi2 ambisius/oportunis lokal ini akan memberi jalan oportunis2 global yg cari untung & menempatkan mereka jd penguasa Indonesia supaya tetap jd negara kelas kambing congek di dunia…”
“Lihat Irak, lihat Afghanistan, lihat Yaman…Juga Suriah yg masih saling bunuh di antara sesama mereka dgn senapan, pedang, golok, bom, tank…Mereka sdg berebut klaim tempat di surga sambil menciptkan neraka di kampung halaman mereka sendiri.”
Jadi, lanjutnya, daripada seperti memaksakan ide baik(mu) harus menjadi nomor 1 di antrian, mengapa tak menyelamatkan hidup setara dalam damai dan merebut ilmu pengetahuan supaya tiba masanya (tak lama lagi), semua ide baik tadi jadi nyata nyaris berbarengan tanpa menularkan kebodohan dan kekerasan(?)
Jadi menurut elit PDIP ini, pejuang kebebasan saja tak cukup, melainkan kita juga mesti menjadi pejuang kemanusiaan dan pejuang peradaban. Membaca pamflet di masa muda pun saja tak cukup, baca juga tanda-tanda zaman bahkan sebelum ia ditulis oleh orang lain.
“Semua ide baik sedunia bisa kau jejalkan DALAM KEPALAMU semudah kau nyalakan rokok sambil membaca koleksi bukumu. Tapi saat semuanya didesakkan berbarengan, antriannya menularkan kebodohan. Bukan kecerdasannya. Dan KAU yg merasa pandai & suci tertular pula!”
Sebab ide dan niat-niat baik kita tak pernah kekurangan. Tapi sejarah juga tak kekurangan perilaku jahat yang membunuh sesama karena ide baik.
“Ide baik yg tak ditopang ilmu & teknologi yg memadai adalah faktor pembunuh manusia terbesar. Kenapa? Krn berdesak2an tak bisa antri.”
(RgS/PARADE.ID)