Site icon Parade.id

Bahwa Adalah Bahwa

Jakarta (PARADE.ID)- DPR itu punya anggaran tahun 2020 sebesar 3,43 trilyun.

184 milyar sendiri adalah untuk rancangan UU, dkk. Buanyak.

Itu artinya, setiap UU dibuat dengan biaya tinggi. Tidak murah. Jaman dulu, sebelum pandemi, mereka study banding ke LN. Belum lagi saat pemerintah ikut rapat, kalian kira itu rapat gratisan? Tidak. Konsumsi, dkk minimal harus dikeluarkan. Iya kalau rapatnya di kantor, kalau mereka bawa ke hotel? Nambah lagi biaya, dkk.

Dulu, mungkin tidak ada yang bakal cerewet soal UU yang dihasilkan DPR. Apalagi era Orde Baru, tidak ada. Tapi hari ini, anak2 milenial itu berisik. Mereka punya akses ke informasi apapun. Bisa buka pdf, dll. Wah, jangan remehkan anak milenial.

Maka terima nasib UU baru yang barusaja ditanda-tangan sama pemerintah. UU itu dipelototin habis2an. Dulu, typo dll mungkin dibiarkan saja. Juga kalimat aneh, kalimat2 lucu, definisi lawak, tidak ada yang berani mengkritisi, dibiarkan saja, pas, maklum, tapi hari ini, selamat datang di era milenial. Kalian mungkin menganggap remeh milenial, tapi jangan lupa, sekali mereka berisik, kalian terima nasib jadi meme, jadi lucu2an, dan milenial ini kreatif kalau sudah menertawakan orang lain.

Sebagai penulis saya tahu sekali apa itu typo. Itulah gunanya editor. Berapa biaya editor? Editor2 berpengalaman di Indonesia rate-nya Rp 4,5 per karakter termasuk spasi. Maka, jika sebuah UU itu tebalnya 1000 halaman, dengan spasi dobel, margin normal, itu kurang lebih ada 400.000 karakter. Bayar berapa? Rp 2,5 juta, naskah itu sudah diedit. Rapi. Bersih dari typo.

Sayangnya, dengan anggaran 3,43 trilyun itu, menggaji editor berpengalaman pun tidak mampu sepertinya. Termasuk setneg, kayaknya juga tdk punya uang utk menggaji editor. Baiklah. Mari kita kunyah UU baru ini. Terima nasib saja. Mungkin itu disengaja sama mereka, saat orang2 ribut soal typo, orang2 akan lupa soal substansinya. Mungkin begitu strateginya.

Atau mungkin juga itu berarti: memang UU ini serba terburu2, ugal2an, yang penting jadi.

Atau mungkin juga itu berarti: memang kualitas pembuat UU-nya mentok segitu saja. Mau bagaimana lagi, saat anggota DPR, pejabat, dll ditentukan oleh parpol pencalonannya, maka anak, cucu, mantu, istri, keluarga jauh lebih penting dibanding kompetensi.

Sungguh terlalu.

*Tere Liye, Penulis Novel ‘Selamat Tinggal’

Exit mobile version