Site icon Parade.id

BUMN Kita Tersungkur Akibat Beban Penugasan dan Joroknya Tata Kelola

Foto: dok. sindonews.com

Jakarta (PARADE.ID)-Ambruknya keuangan PT Garuda Indonesia @IndonesiaGaruda (Persero) Tbk, yang tengah menjadi sorotan belakangan ini, terus terang membuat kita geram. Maskapai berusia 72 tahun ini terjerat lilitan utang menggunung dan menderita kerugian cukup besar.

Saat ini Garuda tercatat memiliki utang US$4,9 miliar dolar, atau setara Rp70 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar Rp1 triliun setiap bulannya jika Garuda terus menunda pembayaran kepada pemasok (lessor).

Selain utang menggunung, Garuda @IndonesiaGaruda juga terlilit kerugian yang cukup besar. Saat ini, operational cost Garuda tiap bulan mencapai US$150 juta, padahal pendapatannya hanya tinggal US$50 juta. Artinya, tiap bulan perusahaan pelat merah ini merugi sekitar US$100 juta.

Belum reda kasus ambruknya Garuda, kini kita disuguhi fakta baru utang PLN (Perusahaan Listrik Negara) @pln_123 yang disebut mencapai Rp500 triliun. Fakta ini juga ikut membuat kita heran. Bagaimana tidak?

Enam tahun lalu, utang PLN hanya di bawah Rp20 triliun. Namun, hanya dalam satu periode kekuasaan, utang PLN telah meroket menjadi Rp500 triliun.

Meski kabar buruk tadi meruak di tengah pandemi, namun sayangnya kita tak bisa menyalahkan pandemi. Sebab, sejak sebelum pandemipun, utang dan kinerja BUMN kita telah mendapat sorotan dari berbagai lembaga internasional dan pemeringkat utang.

Terlalu banyaknya penugasan Pemerintah, terutama BUMN Karya, yang melebihi kemampuan keuangan perusahaan; warisan inefisiensi organisasi; ditambah dengan penunjukan direksi dan komisaris BUMN yang dilakukan secara tak profesional, karena tidak didasarkan pada faktor kompetensi; telah membuat BUMN berada di tubir jurang kebangkrutan.

Pada tahun 2018, misalnya, Bank Dunia dalam laporan “Infrastructure Sector Assessment Program”, mencatat meroketnya utang BUMN @KemenBUMN di bawah pemerintahan Presiden @jokowi disebabkan oleh beban penugasan proyek-proyek pemerintah.

Pemerintah telah mengabaikan kondisi dan kemampuan riil BUMN hanya demi mengejar target muluk pembangunan infrastruktur. Akibatnya, BUMN harus menanggung beban utang yang tinggi.

Menurut konsultan McKinsey & Company, membengkaknya jumlah utang itu memang tak diimbangi dengan kemampuan bayar yg memadai.

Lembaga konsultan itu mencatat, 32 persen utang jangka panjang korporasi Indonesia memiliki interest coverage ratio (ICR), atau rasio kemampuan bayar bunga utang, di bawah 1,5.

Persentase tersebut merupakan ketiga tertinggi di Asia, setelah India dan Cina. Dan rasio yang buruk tersebut terutama ditemukan pada perusahaan bidang utilitas, seperti transportasi, listrik, air, dan komunikasi. Jumlahnya, menurut McKinsey, mencapai 62 persen.

Tata kelola utang Pemerintah sekarang ini memang lebih buruk jika dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Di masa pemerintahan SBY, hingga akhir jabatannya utang pemerintah tercatat sebesar Rp2.700 triliun dan utang BUMN sebesar Rp500 triliun.

Harus diakui, pemerintahan SBY berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 56,6 persen pada 2004, menjadi tinggal 23 persen pada 2014.

Selain itu, untuk pertama kalinya pula pada masa itu kita bisa memasukkan dua BUMN terkemuka, yaitu Pertamina @pertamina dan @pln_123, ke dalam daftar “Fortunes Global 500”. Artinya, kinerja BUMN kita di masa lalu pernah sangat baik.

Namun, hanya dalam tempo lima tahun, utang pemerintah telah membengkak menjadi Rp6.336 triliun, sementara utang BUMN meningkat jadi Rp1.140 triliun.

Jika keduanya digabungkan, angkanya telah mendekati Rp8.000 triliun. Secara rasio, per April 2021, jumlah rasio utang kita terhadap PDB telah tembus angka 41,6 persen.

Jadi, dengan atau tanpa pandemi, kita sudah tak lagi berjalan di rel yg benar. Pandemi hanya sedikit menambah buruk, pada situasi yg sudah sangat buruk. Sejak sebelum pandemi, misalnya, banyak BUMN telah mengalami gagal bayar, sehingga harus mendapatkan suntikan dana dari negara.

Selain masalah tata kelola dan profesionalitas, masalah lain yang telah mendorong BUMN kita berada di jurang kebangkrutan adalah kesalahan Pemerintah dalam memandang dan menempatkan BUMN.

Selama ini BUMN ditempatkan sebagai unit bisnis. Karena dimiliki oleh Pemerintah dan mengelola sektor-sektor strategis, BUMN jadi dilihat sebagai perusahaan gigantik. Akibatnya, BUMN kita terus-menerus dikerubuti oleh semut-semut kepentingan yang ingin mengais rezeki.

Padahal, kalau kita membaca kembali Pasal 33 UUD 1945, BUMN adalah instrumen intervensi Pemerintah terhadap perekonomian. Fungsinya untuk menguasai sektor-sektor strategis bagi kepentingan publik. Jadi, misi BUMN bersifat ideologis, sementara tata kelolanya bersifat profesional.

Tapi hal itu tak lagi berlaku kini. Hari ini, misi BUMN bersifat bisnis, sementara tata kelolanya tidak profesional. Pada akhirnya, misi ideologis tidak terkejar, sementara dari sisi bisnis malah tersungkur.

Saya membaca, di tengah krisis utang BUMN, banyak ekonom menawarkan beberapa opsi penyelamatan. Pertama, adalah melikuidasi BUMN bersangkutan. Kedua, menambah suntikan modal. Ketiga, melakukan restrukturisasi utang. Dan keempat, melakukan privatisasi.

Karena BUMN pada umumnya mengelola sektor strategis, opsi likuidasi dan privatisasi seharusnya tidak jadi pilihan. Prioritas Kementerian BUMN dan Direksi BUMN seharusnya adalah melakukan restrukturisasi utang. Di situlah kita butuh manajemen BUMN yang profesional.

Sehingga, para politisi, relawan, serta orang-orang titipan di BUMN seharusnya segera diganti dengan orang-orang profesional yang mumpuni dalam bidang kerja BUMN. Inefisiensi harus dihentikan dan ruang korupsi yang terstruktur juga harus ditutup jika kita mau menyelamatkan BUMN.

*Dr. Fadli Zon, M.Sc

Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Gerindra

Exit mobile version