Jakarta (PARADE.ID)- Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI) belum lama ini menggelar diskusi publi secara daring dalam rangka merespon situasi yang berkembang. Tema diskusi publik tersebut bertajuk “Kepentingan di Balik Reformasi Regulasi dan Kebijakan ala Jokowi”.
Dalam pantauan parade.id, diskuis dimulai pada pukul 15:30 WIB. Pembicara pertama dalam diskusi ialah Citra Referandum.
Citra, dalam penglihatannya berpendapat bahwa pemerintah sekarant mulai agresif kepada rakyatnya, dengan terus mengintervensi agar Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP) segera disahkan.
“Pengesahan ini terkesan terburu-buru dan tidak transparan karena pemerintah belum memberi perkembangan terbaru draf RKUHP. Sejak 2019, pemerintah sudah melakukan sosialisasi ke masyarakat, namun belum mempertimbangkan masukan substantif dari partisipasi aktif dan bermakna oleh masyarakat terkait revisi draf RKUHP,” ungkapnya.
Malah kata dia, sampai hari ini tidak adanya demokratisasi atau keterbukaan terhadap draft RKUHP. Justru, kata dia, ini yang menjadi titik kekeliruan perwakilan rakyat, kepada rakyatnya karena tidak terbuka dalam hal informasi yang harusnya dibutuhkan oleh rakyat.
“Sampai sekarang, draf terbaru dari RKUHP tetap tidak dibuka ke publik walaupun sudah banyak desakan dari masyarakat. Padahal, transparansi revisi aturan pidana sangat penting karena bisa berdampak pada hak asasi kita,” kata Anggota dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP itu.
“Apalagi beberapa pasal di RKUHP mengancam ruang kebebasan sipil yang akhir-akhir ini semakin menunjukkan penyempitan dengan banyaknya kriminalisasi terhadap pembela HAM, aktivis, bahkan masyarakat umum yang menyuarakan pendapatnya,” sambungnya, yang juga Pengacara Publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Sementara itu, Bivitri Susanti, pembicara kedua, menyinggung Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang menurut dia bikin was-was masyarakat Indonesia. Padahal, kata dia, yang dibutuhkan dalam berdemokrasi adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Penyusun undang-undang seringkali berargumen bahwa mengkritik itu boleh dilakukan asal jangan menghina. Namun di lapangan sulit sekali membedakan dua hal tersebut—akhirnya masyarakat diminta membawanya ke pengadilan,” kata dia.
“Mereka lupa kalau itu akses to justice tidak sama untuk semua orang, mungkin ada orang yang mudah bayar advokat, yang tidak murah, ya, bayar advokat, untuk membuktikan dirinya tidak bersalah di pengadilan,” sambungnya ungkap.
Di penglihatannya, RKUHP ini memiliki urgensi apabila membawa paradigma baru, modern, dan kekinian tentang hukum pidana. Meskipun Indonesia membutuhkan pengaturan agar lebih tertib, paradigma hukum pidana harus berbeda dari warisan kolonial Belanda.
“Jadi, jangan hukum pidana yang semuanya kita tidak boleh dan ketakutan karena bisa dikenakan sanksi pidana seperti halnya hukum zaman kolonial Belanda,” terang Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera.
Bahkan menurutnya, apabila RKUHP saat ini masih membawa semangat kolonialisme, maka belum mendesak dan perlu dilakukan pembahasan mendalam. Meskipun KUHP saat ini sudah berusia 105 tahun tetapi tidak semua paradigma di dalamnya bisa diterapkan di Indonesia dalam konteks kekinian.
(Verry/PARADE.ID)