Site icon Parade.id

Fakta Sejarah 1998 untuk Keadilan Konstitusional

Foto: dok. istimewa

Jakarta (parade.id)- Gerakan Mahasiswa 1998 (Student Movement ’98) lahir bukan merupakan kebencian pribadi terhadap Presiden Soeharto, tetapi sebagai manifestasi kesadaran moral, historis, dan konstitusional bangsa dalam menghadapi penyimpangan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta menyebabkan krisis multi dimensional.

Perjalanan gerakan ini selalu diwarnai oleh teror negara terhadap rakyatnya sendiri, berupa: Penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi; Penembakan mahasiswa dengan peluru tajam; Kerusuhan sosial yang menelan korban jiwa dan meninggalkan luka sejarah mendalam bagi bangsa.

Tuntutan Mahasiswa 1998, yang juga merupakan tuntutan rakyat dan tuntutan sejarah, bersifat moral dan konstitusional:

1. Turunkan Presiden Soeharto dan adili beliau beserta kroninya atas dugaan KKN;

2. Cabut Dwifungsi ABRI;

3. Bubarkan Golkar sebagai simbol kekuasaan politik Orde Baru.

 Gerakan Reformasi 1998 adalah panggilan nurani kolektif bangsa untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan supremasi moral sesuai amanat UUD 1945.

Akan tetapi, saat ini seolah-olah sejarah akan Reformasi 1998 dihilangkan secara perlahan-lahan. Padahal tuntutan Reformasi 1998 memiliki dasar hukum dan menghasilkan konstitusi yang sangat kuat:

1. Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.

3. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, secara eksplisit memerintahkan penyelidikan dan pengadilan terhadap Presiden Soeharto beserta kroninya atas dugaan praktik KKN.

Dengan demikian, Gerakan Reformasi 1998 bukanlah gerakan destruktif, melainkan koreksi moral dan konstitusional bangsa terhadap penyimpangan kekuasaan. Untuk itu kami Aktivis ’98 menyatakan sikap: Menolak dengan tegas Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.

Apabila Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan, maka kami Aktivis 98 akan menyerahkan diri kepada aparat penegak hukum sebagai penjahat yang melawan konstitusi, pengkhianat terhadap rakyat bahkan sebagai pemberontakan terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian disampaikan Agung “Dekil” WH (FORKOT) dalam keterangannya, Jumat (7/11/2025).

 “Karena ini merupakan tanggung jawab moral, hukum, dan sejarah yang melekat pada Aktivis 98 dan wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tanpa menyelesaikan amanat TAP MPR No. XI/1998 merupakan pelanggaran moral, konstitusi dan distorsi sejarah,” tegasnya tutup.*

Exit mobile version