Site icon Parade.id

GSBI Sebut PP Pengupahan Baru Langgengkan Politik Upah Murah

Foto: Rudi HB Daman (Ketum GSBI) di depan Gedung DPR/MPR, Jakara, Selasa (24/9/2024)

Jakarta (parade.id)- Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menolak keras Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang perubahan kedua PP Nomor 36 Tahun 2021 yang baru ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 16 Desember lalu. Serikat buruh ini menilai formula penetapan upah minimum yang baru hanya “mengotak-atik rumus yang sudah terbukti gagal” dan melanggengkan disparitas upah serta politik upah murah.

Ketua Umum GSBI Rudi H.B. Daman menyatakan kekecewaannya terhadap kebijakan pengupahan yang tetap menggunakan rumus Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi x Alfa), dengan perubahan alfa dari rentang 0,1-0,3 menjadi 0,5-0,9.

“Peraturan ini belum sepenuhnya mencerminkan kepentingan buruh, terutama di tengah tekanan harga kebutuhan pokok. Angka kenaikan yang dihasilkan masih terlalu konservatif,” tegas Rudi dalam pernyataan sikap yang dirilis GSBI pada Kamis (18/12/2025).

Organisasi buruh ini meyakini formula dengan sistem alfa sebagai pengkali tidak akan membuat kenaikan upah secara signifikan dan tidak mampu menjawab masalah disparitas upah antar daerah. GSBI menilai aturan ini hanya melanggengkan sistem pengupahan kapitalisme monopoli yang menjadikan upah sebagai harga tenaga kerja yang dikendalikan kapitalis.

GSBI juga mengkritik keras proses pembahasan peraturan pengupahan yang dinilai tidak melibatkan partisipasi bermakna dari serikat pekerja, termasuk LKS-Tripartit Nasional dan Dewan Pengupahan Nasional.

“GSBI tidak pernah mendengar anggota-anggota LKS Tripnas dan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur SP-SB berstatemen soal aturan pengupahan ini. Tidak ada sosialisasi apapun,” ungkap Sekretaris Jenderal GSBI Emelia Yanti MD. Siahaan.

Serikat buruh ini memperingatkan formula baru justru akan memindahkan permasalahan ke daerah dan memunculkan gelombang protes penolakan di berbagai wilayah, terlebih waktu untuk Dewan Pengupahan Daerah sangat pendek dengan batas penetapan UMP 2026 paling lambat 24 Desember 2025.

Sebagai solusi, GSBI mengusulkan penerapan sistem Upah Minimum Nasional (UMN) yang berlaku seragam di seluruh Indonesia untuk buruh dengan masa kerja 0-1 tahun. Sistem ini menggunakan formula: PDB dibagi Jumlah Penduduk dibagi 12 bulan + Pertumbuhan Ekonomi + Inflasi.

GSBI berargumen buruh adalah penggerak ekonomi utama yang kontribusinya terhadap PDB sangat signifikan, sehingga tepat jika upah minimum dihitung berdasarkan PDB per kapita.

“Apa yang sudah dikontribusikan oleh buruh maka dikembalikan lagi kepada buruh,” jelas pernyataan GSBI.

Dalam sistem yang diusulkan, meskipun berlaku UMN, daerah dapat menetapkan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota sendiri asalkan tidak lebih rendah dari UMN. Perusahaan yang tidak mampu dapat mengajukan penangguhan dengan kekurangan upah disubsidi pemerintah dari APBN atau APBD.

GSBI mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang PP Nomor 49 Tahun 2025 dan menetapkan UMN sebagai sistem pengupahan buruh Indonesia. Organisasi ini juga menuntut penetapan UMN 2026 sebesar Rp8.098.140 yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan seluruh sektor industri.

Selain itu, GSBI mendesak pemerintah mengendalikan harga kebutuhan pokok, memberantas korupsi dan pungli di birokrasi, memperbaiki tata kelola industri berbasis reforma agraria sejati, serta mencabut Omnibus Law Cipta Kerja (UU Nomor 6 Tahun 2023).

“Sistem pengupahan yang kami usulkan adalah bentuk nyata implementasi yang benar-benar didasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila yang bersifat adil, bentuk nyata negara hadir memberikan kesejahteraan pada rakyatnya,” tutup pernyataan GSBI yang ditandatangani Ketua Umum Rudi H.B. Daman dan Sekretaris Jenderal Emelia Yanti MD. Siahaan.

Exit mobile version