Site icon Parade.id

ICJR Nilai RKUHAP Dapat Memberikan Kewenangan Berlebih kepada APH

Foto: Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari (kiri)

Jakarta (parade.id)- Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari memperingatkan bahwa RKUHAP yang sedang dibahas DPR berpotensi meningkatkan pelanggaran HAM karena memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada aparat penegak hukum (APH) tanpa mekanisme kontrol yang memadai.

“RUU KUHAP ini seperti memberikan cek kosong kepada APH. Tidak ada check and balance, tidak ada kontrol, tidak ada pemeriksaan secara substansial,” ujar Iftitah dalam dalam Diskusi Publik dengan tema: “Membedah Pasal Krusial di RKUHAP”, Sabtu (2/8/2025), di Waroeng Aceh Garuda, Tebet Barat, Jakarta Selatan.

Iftitah mengkritik proses penyusunan RKUHAP yang hanya melibatkan “Tim 12” yang terdiri dari Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian. Menurutnya, hal ini membuat RUU menjadi sangat eksklusif dan mengabaikan stakeholder lainnya.

“Di ruang-ruang negosiasi gelap Tim 12 ini, kita tidak tahu apa yang dipertukarkan. Setelah diamati, ternyata ini memang soal pembagian kekuasaan,” ungkapnya.

Hasil dari negosiasi tertutup tersebut adalah pembagian kewenangan Restorative Justice (RG) yang “dipukul rata” mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan di Mahkamah Agung.

Salah satu kritik paling tajam Iftitah adalah soal mekanisme Restorative Justice (RJ) yang berpotensi menjadi ajang transaksi. RKUHAP memperkenalkan RJ tidak hanya untuk individu, tetapi juga korporasi, bahkan di tahap penyelidikan ketika tindak pidana belum jelas.

“Yang paling berbahaya adalah RJ untuk korporasi bisa dilakukan berdasarkan ‘tindakan korektif dari penilaian penyidik’. Ini sangat subjektif dan conflict of interest karena yang menilai adalah APH itu sendiri,” jelasnya.

Lebih lanjut, Iftitah menyebut RJ dalam RKUHAP tidak memiliki mediator independen dan hanya fokus pada efisiensi penyelesaian perkara. “Akhirnya semua tentang uang saja – transaksional. Pemulihan korban dan keadilan terabaikan,” kritiknya.

RKUHAP juga dikritik karena tidak menyelesaikan masalah penangkapan yang eksesif, terutama kasus narkotika yang bisa berlangsung sangat lama tanpa kontrol.

“Kami berharap KUHAP baru bisa membatasi masa penangkapan, tetapi tidak. Malah tidak ada kewajiban segera membawa tersangka ke hakim,” ungkap Iftitah.

Sementara untuk penahanan, RKUHAP justru memperluas alasan yang bisa digunakan APH. Selain alasan klasik seperti upaya melarikan diri dan menghilangkan bukti, kini ditambah alasan subjektif seperti “tidak kooperatif dalam pemeriksaan” dan “tidak menyatakan fakta sesungguhnya”.

“Padahal tersangka punya hak untuk diam yang diakui undang-undang. Tapi ini malah jadi alasan penahanan. Sangat bermasalah,” tegas Iftitah.

Hal baru yang diperkenalkan RKUHAP adalah mekanisme pemblokiran aset yang bisa dilakukan tanpa izin pengadilan. Meski aturan umumnya mensyaratkan izin, terdapat pengecualian berdasarkan “penilaian penyidik”.

“Penyidik di sini bisa siapa saja – Polisi, PPATK, OJK, atau lembaga lain. Penilaiannya sangat subjektif. Hakim tidak akan bisa mengontrol karena undang-undang memang membolehkan,” jelasnya.

Iftitah memproyeksikan dalam praktik, hakim akan otomatis menyetujui pemblokiran yang sudah dilakukan dengan dalil “sudah diatur dalam KUHAP berdasarkan penilaian penyidik”.

RKUHAP juga memperkenalkan Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau penundaan penuntutan khusus untuk korporasi. Mekanisme ini memungkinkan korporasi “berdamai” dengan membayar ganti rugi dan melakukan tindakan korektif.

“Ini sangat berbahaya karena terjadi di tahap penuntutan tetapi keputusannya ada di tangan APH yang punya kepentingan. Tidak ada jaminan keadilan untuk korban,” kritik Iftitah.

Dengan berbagai kelemahan tersebut, ICJR memproyeksikan RKUHAP akan meningkatkan pelanggaran HAM dan membuka ruang korupsi.

“Tidak ada kontrol, tidak ada check and balance. Ini mengakibatkan mekanisme arbitrary pelanggaran HAM. Di sisi lain, kewenangan ini bisa diperjualbelikan tergantung konteks di lapangan,” peringatannya.

Iftitah menegaskan tidak ada hal baik yang dapat diharapkan dari kurangnya pengawasan terhadap kewenangan APH dalam RKUHAP.

“Semua aspek dalam RUU KUHAP ini bermasalah. Dari koordinasi yang eksklusif, RJ yang transaksional, hingga kewenangan paksa tanpa kontrol. Ini bukan reformasi, tapi kemunduran,” pungkasnya.*

Exit mobile version