Site icon Parade.id

Kedaulatan dan Keadilan untuk Palestina Tidak Terwujud kerena PBB Terus Menjadi Korban Veto

Foto: logo Ormas Muhammadiyah, dok. istimewa

Jakarta (parade.id)- Kedaulatan dan keadilan untuk Palestina tidak terwujud karena PBB terus menjadi korban hak veto dari Negara yang tidak netral. Hal itu disampaikan Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, kemarin, Rabu (11/10/2023).

Atas hal itu, maka menurut Haedar perang antara Palestina dan Israel boleh jadi akan terus terjadi selama beberapa tahun ke depan.

“Jadi saya yakin kalau tidak ada ketegasan PBB dan PBB terus korban veto dari negara yang tidak netral terhadap posisi dua negara (Palestina-Israel) ya kita akan terus begini, mungkin 2 tahun lagi kejadian lagi, 3 tahun lagi kejadian lagi. Jadi pertanyaan besar Muhammadiyah untuk dunia sebenarnya apakah dunia dan PBB akan membiarkan tragedi kemanusiaan yang terjadi di depan mata ini terus berlangsung dan kita lumpuh, tidak bisa menegakkan perdamaian, tidak bisa menindak negara yang merusak perdamaian dan tidak mewujudkan persaudaraan antar bangsa,” ujar Haedar, dikutip laman muhammadiyah.or.id.

Haedar juga menyebut, bahwa tragedi antara Palestina dan Israel yang terus berulang, menurut Haedar Nashir tercipta karena kesiapan PBB dalam mengimplementasikan resolusi serta menegakkan perintah yang adil bagi negara adikuasa yang sedang berkonflik.

“Solusi yang telah disepakati oleh PBB yakni pendirian dua negara berdaulat, juga tidak tuntas terwujud karena adanya hak veto dari beberapa negara, sehingga, status Palestina di PBB masih menjadi Negara Pemantau Non-anggota (Non-member Observer State) ketika Israel telah diakui sebagai entitas negara berdaulat,” ia mengungkapkan.

“Nah, jika tidak ada langkah-langkah yang progresif, saya yakin fungsi PBB itu semacam impotensi. Lebih jauh lagi ketika hampir semua negara maju itu selalu peduli terhadap pelanggaran hak asasi manusia, terutama di negara-negara dunia ketiga, kenapa kok membiarkan tragedi terus terjadi? Jadi kesimpulan kami sebenarnya peradaban modern dan kesadaran akan perdamaian hak asasi manusia, demokrasi di tatanan global ini sudah berada di lorong gelap atau lorong buntu dari peradaban modern,” kritiknya.

Pada Konferensi Pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah terkait Perang Palestina di Jakarta, pada Rabu itu, Haedar lalu mengingatkan bahwa PBB memiliki lima tujuan utama yang beberapa di antaranya tidak optimal, khususnya pada poin pertama dan poin keempat yang berbunyi; 1) Menjaga perdamaian dan keamanan dunia, 4) Menjadi pusat penyelarasan segala tindakan bersama terhadap negara yang membahayakan perdamaian dunia.

“Nah pertanyaan mendasar kita di era ketika PBB sudah 78 tahun dan negara-negara maju semua termasuk negara kita selalu menyuarakan perdamaian, dunia tanpa kekerasan, kesadaran hak asasi manusia, apakah kita akan terus membiarkan tragedi-tragedi ini terus terjadi?” tanya Haedar retoris.

“Bahkan forum-forum global yang dilakukan antar negara dan antar kelompok masyarakat dan organisasi dunia tentang perdamaian, nyaris hanya suara di atas kertas saja. Jadi ini perlu refleksi mendasar dari seluruh dunia tentang penyelesaian akhir perang Israel dan Palestina,” tegasnya.

Peperangan antara pejuang kemerdekaan Palestina dengan pemerintah apartheid Israel, Sabtu (7/10/2023) telah memicu protes brutal pemerintah Israel dengan menggempur perkampungan padat penduduk di Jalur Gaza.

Memasuki hari kelima peperangan, korban sipil di kedua pihak terus bertambah. Data sementara per hari Rabu (11/10) dikabarkan ada 1.200 korban tewas dari pihak Israel dan 900 korban tewas dari pihak Palestina. Peperangan juga mulai merembet di daerah perbatasan seperti Suriah dan Lebanon.

(Rob/parade.id)

Exit mobile version