Site icon Parade.id

Plang Penertiban Satgas PKH Dianggap Teror ke Petani

Jakarta (parade.id)- Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dibentuk melalui Perpres 05/2025 justru menjadi sumber teror baru bagi petani. Plang-plang penertiban dipasang secara sepihak dan “ngambang” tidak jelas lokasinya, sementara korporasi nakal dibiarkan bahkan diajak bermitra.

“Plang itu dipasang tidak tahu di mana tempatnya. Ini bentuk teror bagi kaum tani,” ujar Frandody, Koordinator Wilayah KPA Jambi, dalam konferensi pers, beberapa waktu lalu.

Di Distrik 1 misalnya, plang seluas 20 ribu hektare dipasang di lokasi WKS (Wilayah Kelola Sendiri). Di Desa Lubuk Madrasah, plang dipasang di portal-portal perusahaan seluas 9.012 hektare, ditambah 8.000 hektare di sebelahnya.

Yang lebih ironis, sementara plang-plang ditancapkan di lahan garapan petani, perusahaan besar seperti Sinar Mas justru diizinkan membuka Taman Nasional dengan pola kemitraan.

“Semestinya mandat adalah menertibkan perusahaan nakal dan korporasi, tetapi ini sudah menyalahgunakan kewenangannya, akhirnya meluas ke kebun-kebun rakyat,” tegas Frandody.

Dalam pertemuan di Hari Tani Nasional yang diselenggarakan Polda Jambi, terbongkar fakta mengejutkan: penetapan kawasan hutan di Provinsi Jambi tahun 2021 ternyata cacat prosedur.

Berdasarkan Putusan MK dan UU Tahun 1949, seharusnya ada tahapan: penunjukan, tata batas, pengukuran temu gelang, penetapan, baru pengukuhan. “Ternyata di 2021 itu penunjukan langsung ditetapkan. Artinya sepihak, tidak melihat fakta di lapangan apakah itu kebun atau kawasan hutan,” jelas Frandody.

Pada 24 September 2025, ada kesepakatan antara DPR, Kementerian Kehutanan, dan BPN untuk membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional, mendorong RUU Reforma Agraria, dan menjadikan lokasi garapan masyarakat sebagai objek reforma agraria yang tidak boleh diganggu.

Namun hingga kini, belum ada pelaksanaan konkret. “Jangan cuma ada kemauannya saja. Pelaksanaan eksekusinya kapan? Penetapannya kapan? Kita tentukan tanggalnya, kalian siap tidak? Kalau tidak siap, ya ngapain duduk di sana?” ujar Frandody.

Tantangan ke depan bukan hanya kriminalisasi, tapi penyusutan lahan garapan petani karena tata batas kawasan hutan belum selesai dan peta antara BPN, Kemendagri, dan Kehutanan tidak sinkron.

“Ketika kita cek di lapangan: Desa Sungai Paur, Desa Bukit Bakar, itu desa yang sudah ditetapkan. Tapi ketika kita mengacu peta kehutanan, ini masuk wilayah desa lain. Artinya ada persoalan di internal pemerintahan kita,” katanya.

Yang menarik, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM/Agrinas) ternyata menolak data dari Satgas PKH karena tidak mau dibenturkan dengan rakyat. Agrinas justru meminta data dari KPA hasil investigasi untuk mengeksekusi perusahaan nakal.

“Agrinas tidak akan mengganggu wilayah garapan petani yang telah menggarap 1-5 hektare. Itu komitmen mereka,” ujar Frandody.

Namun KPA tetap mendesak Pansus DPR RI segera bekerja, memanggil semua kementerian, meminta kejujuran mereka, dan membuktikan tata batas yang benar. “Tidak boleh antara Menteri Kehutanan, BPN, dan Kemendagri petanya masing-masing. Mereka harus satu peta,” tegasnya.

Frandody juga menyinggung politik lelang jabatan di pemerintahan daerah yang membuat komitmen tidak bisa diandalkan. “Di Kepala Daerah Jambi bahasanya lelang jabatan. Siapa mau jadi jabatan harus lelang. Artinya ada perdagangan,” katanya.

Hingga terbentuknya Badan Pelaksana Reforma Agraria, KPA Jambi berkomitmen: “Tanah-tanah ini—sejengkal pun tidak boleh diambil dari siapa pun.”

Exit mobile version