Jakarta (PARADE.ID)- Selain untuk memperbaiki kualitas, revisi UU Pemilu juga untuk menghindari munculnya ratusan Plt dalam waktu yang sangat panjang. Ini perlu dilakukan untuk mencegah lahirnya tirani dan oligarki yang terstruktur. Demikian kata politisi PKS Mardani Ali Sera.
Pembahasan RUU Pemilu dari Komisi II menurut dia sebenarnya sudah selesai dan sekarang ada di Baleg. Namun anehnya, katanya, mulai ada beberapa partai menolak revisi, padahal ketika di Komisi II mereka katakan perlu direvisi.
“Naif jk mempermasalahkannya di Baleg. Kenapa set back? sangat tdk progresif & menjadi wasting time,” katanya, seperti yang tertulis di akun Twitter-nya, baru-baru ini.
Menurut Mardani, kehadiran Plt bisa membuat Pemda sangat tidak efektif, karena tidak dipimpin oleh kepala daerah definitif. Di masa pandemi, dengan refocusing anggaran, pengambilan keputusan yang sangat fundamental, diperlukan kepala daerah definitif yang memiliki mandatory politik yang kuat.
“PKS @PKSejahtera mengusulkan diadakan normalisasi pilkada di 2022 dan 2023.”
Politik Gagasan
Lalu politik gagasan, katanya, bisa dikatakan akan jauh dari realisasi karena percampuran isu lokal/daerah. Belum lagi, lanjutnya, adanya polarisasi yang diakibatkan keterbatasan pilihan karena kita disodorkan hanya dua paslon sebagai ekses dari ambang batas presiden.
Ini jelas menurut dia tidak ketemu karakter Indonesia yang beragam, yang lahir dari kebhinekaan.
“Kompleksitas teknis elektoral yang berdampak pada korban jiwa, kemudian permasalahan polarisasi yang melemahkan civic culture merupakan beberapa hal yang kita hadapi di 2019. Sulit membayangkan kompleksitas yang terjadi jika berkaca pada pengalaman tsb.”
Meskipun Pilkada-nya tidak serentak dengan hari pemungutan suara Pilpres dan Pileg, tahapan pelaksanaan akan beririsan dan memberikan beban yang luar biasa bagi penyelenggara. Dan lagi-lagi konsentrasi kita terpecah belah antara Pilpres maupun Pilkada.
Jika memang ingin memiliki UU Pemilu yang ajeg dan jangka panjang, menurut dia, UU Pemilu jangan sampai mengatur terlalu detil seperti waktu TPS dibuka, isi kotak apa saja dll. Berikan distribusi pengaturan tsb pada peraturan KPU.
Sehingga UU hanya bicara mengenai grand design yang besar.
“Seperti sistem, konsep kelembagaan, konsep keadilan pemilu, dll. Terjebak pada pengaturan hal teknis akan selalu berhadapan dengan dinamika lapangan pemilu Indonesia yang besar, kompleks dan rumit.”
(Rgs/PARADE.ID)