Jakarta (parade.id)- Tabir gelap kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Kabupaten Cilacap mulai tersingkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Dalam sidang lanjutan yang digelar Senin (1/12/2025), fakta mengejutkan terungkap dari bibir saksi: adanya aliran dana jumbo yang diduga digunakan untuk kepentingan kampanye politik serta upaya sistematis menghindari pantauan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kasus yang merugikan negara hingga Rp237 miliar ini menyeret tiga nama besar sebagai terdakwa: Awaluddin Muuri (Mantan Sekda/Pj Bupati Cilacap), Iskandar Zulkarnain (Mantan Pejabat PT CSA), dan Andhi Nurhuda (Direktur Utama PT RSA).
Modus “Pinjam Rekening” Istri Perwira
Suasana sidang memanas ketika Novita Permatasari, istri seorang Perwira Tinggi TNI, memberikan kesaksian. Di hadapan Majelis Hakim, Novita mengakui secara terbuka bahwa dirinya menjadi perantara aliran dana sebesar Rp18,5 miliar dari terdakwa Andhi Nurhuda.
Yang mengejutkan, Novita mengaku menggunakan rekening milik tiga orang lain—Arief Kusmawanto, Endang Kusuma Wati, dan Weni—untuk menampung dana tersebut. Alasannya jelas: agar transaksi tersebut tidak terendus oleh otoritas keuangan.
“Benar, saya diminta untuk menggunakan rekening saya guna menerima dan mengirim uang dalam jumlah tersebut dengan tujuan menghindari PPATK,” aku saksi Arief Kusmawanto, membenarkan instruksi Novita.
Aliran Dana ke Kampanye Pilpres
Dalam kesaksiannya, Novita menyebutkan bahwa total dana yang ia salurkan mencapai Rp20 miliar (gabungan dana dari Andhi Nurhuda dan dana pribadinya). Dana tersebut diserahkan kepada sosok bernama Gus Yazid.
Novita merinci peruntukan uang tersebut, yang antara lain digunakan untuk kegiatan bakti sosial, pengobatan, hingga mendukung dana kampanye Pasangan Calon (Paslon) 02 pada Pemilihan Presiden 2024. Meski demikian, ia menegaskan bahwa suaminya yang merupakan anggota TNI aktif tidak terlibat dalam politik praktis tersebut.
Aset Negara yang Raib
Kasus ini bermula dari ambisi PT Cilacap Segara Artha (CSA)—sebuah BUMD Cilacap—membeli lahan seluas 700 hektar milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) di Desa Caruy senilai Rp237 miliar.
Ironisnya, meski uang negara telah keluar lunas, tanah tersebut tak pernah bisa dikuasai oleh Pemkab Cilacap karena statusnya masih di bawah kendali Kodam IV Diponegoro. Akibat prosedur yang ditabrak dan verifikasi legalitas yang lemah, negara diperkirakan merugi total (total loss) senilai nilai pembelian tersebut.
Saksi Ahli Keuangan Negara, Sakran Budi, M.M., dalam persidangan menegaskan bahwa kerugian BUMD yang diakibatkan oleh unsur pidana dapat dikategorikan sebagai kerugian negara.
Penegakan Hukum
Hingga kini, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah (Kejati Jateng) baru berhasil memulihkan aset sekitar Rp 6,5 miliar dari total kerugian. Publik kini mendesak agar pengadilan tidak hanya berhenti pada pemidanaan fisik, tetapi juga mengejar aliran dana (follow the money) yang terungkap di persidangan untuk mengembalikan kerugian negara secara maksimal.
Sidang lanjutan dikabarkan digelar Rabu (3/12/2025) dengan agenda mendengarkan kelanjutan keterangan saksi ahli yang sempat tertunda akibat kendala teknis.***
