#FadliZon Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/fadlizon/ Bersama Kita Satu Mon, 18 Dec 2023 10:11:15 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://parade.id/wp-content/uploads/2020/06/cropped-icon_parade-32x32.jpeg #FadliZon Arsip - Parade.id https://parade.id/tag/fadlizon/ 32 32 Prabowo Pemimpin Otentik, Bukan Pemimpin Plastik https://parade.id/prabowo-pemimpin-otentik-bukan-pemimpin-plastik/ https://parade.id/prabowo-pemimpin-otentik-bukan-pemimpin-plastik/#respond Mon, 18 Dec 2023 10:11:15 +0000 https://parade.id/?p=25848 Oleh: Fadli Zon Wakil Ketua Dewan Pembina dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Debat pertama Pilpres 2024 sudah beberapa hari lewat, namun publik masih saja terus membicarakannya hingga kini. Baik di laman media mainstream, maupun di media sosial. Masih banyak orang yang belum berhenti membahas debat pertama itu. Melihat antusiasme tersebut, saya punya dua […]

Artikel Prabowo Pemimpin Otentik, Bukan Pemimpin Plastik pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Oleh: Fadli Zon

Wakil Ketua Dewan Pembina dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Debat pertama Pilpres 2024 sudah beberapa hari lewat, namun publik masih saja terus membicarakannya hingga kini. Baik di laman media mainstream, maupun di media sosial. Masih banyak orang yang belum berhenti membahas debat pertama itu. Melihat antusiasme tersebut, saya punya dua catatan positif terkait debat pertama Pilpres 2024.

Pertama, tingginya tanggapan publik atas debat pertama Pilpres menunjukkan masyarakat kita antusias mengikuti acara tersebut. Ini manandakan kehidupan demokrasi kita masih cukup baik. Ada keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses berdemokrasi yang tengah berlangsung.

Kedua, berbeda dengan debat pada dua Pilpres sebelumnya, yang hanya menghadirkan dua pasang calon, pada debat Pilpres kali ini kita kembali disuguhi debat lebih dari dua kandidat. Ini juga hal positif lain yang pantas diapresiasi.

Polarisasi dua kubu sebagaimana pernah muncul pada dua Pilpres sebelumnya tak boleh kita pelihara. Sehingga, hadirnya tiga kandidat dalam Pilpres 2024 sebagai bentuk kemajuan. Alhamdulillah, kehidupan demokrasi kita tak jadi mandek. Kita bisa menatap tahun 2024 dengan pandangan lebih optimis.

Terkait isi dan jalannya debat, ada satu poin penting yang ingin saya garis bawahi. Dari tiga kandidat, Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto bisa tampil otentik, apa adanya. Ada yang bilang, Prabowo satu-satunya kandidat yang bukan plastik. Saya sepenuhnya setuju dengan perumpamaan tersebut.

Sebagai tokoh, Prabowo memang tak menyukai pencitraan. Bahkan, dalam sejumlah hal, ia bisa disebut anti-pencitraan. Saya yang mengenal dari dekat selama 30 tahun, menyaksikan bagaimana Prabowo hanya mau tampil apa adanya tanpa kosmetik. Bahasa dan pernyataan politiknya selalu lugas, tak pernah belepotan oleh bedak dan lipstik.

Saat menjawab pertanyaan insinuatif dari Ganjar Pranowo atas kasus pelanggaran HAM, misalnya, dengan lugas Prabowo menjawab bahwa ia tak pernah punya persoalan dengan semua tuduhan itu. Kalau ada persoalan, maka tak mungkin sebagian besar aktivis 1998 mau duduk di belakangnya pada debat malam itu.

Atau, jika ia memang dituduh punya persoalan HAM, maka calon wakilnya Ganjar Pranowo, Prof. Dr. Mahfud MD, yang kebetulan menjabat sebagai Menko Polhukam, seharusnya telah membereskan persoalan tersebut.

Untungnya Prabowo tak bilang bahwa Ganjar Pranowo pun ikut menjadi Tim Pemenangannya tahun 2009 ketika Mega-Prabowo. Saya menjadi saksi dan penulis “Perjanjian Batu Tulis” tahun 2009 ketika Megawati hanya mau maju kalau calon wapresnya adalah Prabowo Subianto. Ganjar ketika itu menjadi bagian dari “Tim Sukses”. Saya menjadi Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Mega-Prabowo dan Hasto Kristiyanto menjadi wakil sekretaris saya.

Kalau Prabowo punya masalah, tak mungkin juga Mahfud MD mau menjadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014. Saya yang waktu itu meminta dan mengusulkan Mahfud MD sebagai Ketua Tim. Dan saya ditunjuk sebagai Sekretaris Tim yang sehari-hari bekerja sama dengan Mahfud MD berjuang memenangkan Prabowo-Hatta.

Jadi menurut saya, jawaban-jawaban Prabowo dalam debat pertama Pilpres ini sudah sangat lugas, tegas, dan juga telak. Prabowo tak menjawab dengan kata-kata normatif dan bersayap sebagaimana sering dilontarkan dua kandidat lain, yang sebenarnya jika diteliti hanya bersifat tautologis, jika begini maka begitu.

Kelugasan dan otentisitas semacam itulah yang selalu dipertontonkan Prabowo, baik dalam debat kemarin, maupun dalam semua penampilan publiknya selama ini. Ia selalu membahas persoalan, atau menjawab pertanyaan, berdasarkan pengalaman riilnya sebagai manusia Indonesia yang sudah malang melintang. Jika harus tegas, ia akan bersuara tinggi saking semangatnya. Jika harus berkelakar, ia bisa terbahak-bahak. Jika sedang senang, ia akan berjoget spontan yang kini orang namakan “joget gemoy”. Itulah Prabowo, manusia apa adanya, otentik.

Prabowo bukanlah tipikal pemimpin pesolek yang selalu berusaha tampil cantik dan anggun di depan publik, meskipun keanggunan dan kecantikan itu sebenarnya hanya polesan saja. Akibat enggan didandani dan disuruh bersolek itulah banyak orang selama ini telah menyalahpahami Prabowo sebagai tokoh temperampental, sebuah penilaian yang sepenuhnya keliru.

Silakan dicatat, Prabowo tak pernah menyerang atau menjatuhkan orang di depan publik, meskipun terhadap orang yang pernah menyakiti, mengkhianati, atau mengecewakannya. Mungkin mudah bagi kita untuk menahan diri, karena kita tak pernah disakiti, dikhianati, atau dikecewakan. Tapi Prabowo, orang yang sering difitnah dan dikhianati itu, terbukti bisa menyimpan kemarahan dan kekecewaan pribadinya tetap berada di relung hatinya. Ia hanya meledak-ledak untuk urusan-urusan yang bersifat publik saja. Dan hal ini jelas bukanlah sebuah kekurangan.

Dalam debat kemarin, Prabowo juga tak menonjolkan ke-aku-annya, melainkan lebih banyak mengedepankan ke-kita-an. Berkali-kali ia mengingatkan pentingnya “kekitaan”. Hal itu bukan hanya semata-mata tinggal dalam kata-kata. Prabowo sudah melakukan dan mempraktikan sendiri semua yang diomongkannya. Jika harus mengalah untuk kepentingan yang lebih besar, ia mengalah. Itulah yang ditunjukkan pasca Pilpres 2019. Demi persatuan nasional, Prabowo bergabung dengan Pemerintahan Joko Widodo dengan semangat rekonsiliasi nasional. Kalau ada yang bilang tak tahan beroposisi, cobalah bangun partai atau masuk dalam partai politik. Perjuangan politik seringkali tak mudah, tak hitam putih. Ada kalanya harus mundur selangkah, untuk maju seribu langkah. Ada kalanya, perjuangan berliku itu panjang untuk mencapai tujuan.

Terkait kekitaan, Prabowo adalah satu-satunya tokoh yang selalu berusaha merangkul orang lain untuk kepentingan yang lebih besar. Pada Pilpres 2014, misalnya, Anies Baswedan sering menyindir dan menyerang Prabowo. Namun, Prabowo tak pernah memasukkan serangan-serangan itu ke dalam hati. Terbukti, untuk menghentikan kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di DKI Jakarta, Prabowo telah mengorbitkan dan membiayai Anies jadi gubernur. Hal semacam itu tak mungkin dilakukan oleh orang yang sempit hati dan pikirannya.

Saya adalah orang pertama yang mengusulkan pencalonan Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI di saat-saat akhir sebelum penutupan pendaftaran KPU. Saya pula yang menulis “perjanjian politik” Anies Baswedan dan Sandiaga Uno serta Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Gerindra) dan Salim Segaf al Jufri (Ketua Majelis Syuro PKS). Selain dengan tulisan tangan, materai nya pun darurat pakai ludah saya. Saya menjadi saksi dan pelaku peristiwa itu. Prabowo berjiwa besar mendukung Anies maju sebagai Gubernur DKI. Prabowo bahkan menginstruksikan seluruh anggota DPR RI, DPRD Provinsi hingga anggota DPRD Kabupaten/Kota Partai Gerindra seluruh Indonesia yang berjumlah ribuan untuk berkontribusi dana (pemotongan gaji) dan hadir ke Jakarta sebagai Tim Pemenangan di setiap kelurahan di DKI Jakarta. Begitu ketatnya persaingan Pilgub waktu itu dan alhamdulillah, Anies-Sandi menang. Itulah faktanya.

Di zaman simulakra seperti sekarang ini, di mana realitas palsu mudah sekali diciptakan dan disebarluaskan, kita membutuhkan pemimpin otentik dan bukan pesolek. Kita butuh pemimpin berkarakter, yang sudah selesai dengan dirinya, bukan petugas partai, bukan pula ronin.

Artikel Prabowo Pemimpin Otentik, Bukan Pemimpin Plastik pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/prabowo-pemimpin-otentik-bukan-pemimpin-plastik/feed/ 0
Refleksi HUT 50 HKTI: Petani adalah Kunci Kemakmuran Negeri https://parade.id/refleksi-hut-50-hkti-petani-adalah-kunci-kemakmuran-negeri/ https://parade.id/refleksi-hut-50-hkti-petani-adalah-kunci-kemakmuran-negeri/#respond Sat, 29 Apr 2023 05:40:21 +0000 https://parade.id/?p=24112 Oleh: Dr. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc. Ketum DPN HKTI Pada 27 April 2023, HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) berulang tahun ke-50. Organisasi yang didirikan pada 27 April 1973 di Jakarta ini merupakan hasil fusi dari empat belas organisasi tani yg ada di Indonesia pada saat itu. Dengan usia setengah abad, HKTI merupakan organisasi tani […]

Artikel Refleksi HUT 50 HKTI: Petani adalah Kunci Kemakmuran Negeri pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Oleh: Dr. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc.

Ketum DPN HKTI

Pada 27 April 2023, HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) berulang tahun ke-50. Organisasi yang didirikan pada 27 April 1973 di Jakarta ini merupakan hasil fusi dari empat belas organisasi tani yg ada di Indonesia pada saat itu.

Dengan usia setengah abad, HKTI merupakan organisasi tani tertua di tanah air, sekaligus organisasi tani tertua yang tercatat pernah ada.

Sejak awal pendiriannya, HKTI dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, serta mendorong sektor pertanian sebagai basis pembangunan nasional.

Di usia pergerakannya yang persis setengah abad ini, HKTI ingin terus menunjukkan komitmennya untuk tidak pernah berhenti menyuarakan aspirasi petani Indonesia.

Sebab, meskipun petani sering dipuji sebagai tulang punggung perekonomian kita, namun nyatanya tingkat kesejahteraan petani kita masih sangat rendah.

Dalam sepuluh tahun terakhir, misalnya, baru pada tahun 2022 lalu Nilai Tukar Petani (NTP) bisa melampaui NTP tahun 2013.

Sebagai catatan, pada 2013 NTP ada di angka 104,92, sementara pada 2022 lalu NTP ada di angka 107,33.

Artinya, dalam rentang 10 tahun terakhir, kecuali pada 2022 silam, level kesejahteraan petani kita konsisten berada di bawah level tahun 2013. Ini tentu saja menjadi kenyataan memprihatinkan.

Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, kita perlu mendorong para petani bisa menciptakan nilai tambah. Namun, sebelum itu dilakukan, kebutuhan sarana dan prasarana pertanian untuk para petani harus tercukupi terlebih dahulu.

Nilai tambah memang merupakan isu utama kesejahteraan petani. Dari sisi produksi, petani kita ke depan tak boleh hanya mengerjakan pertanian di level on farm saja, namun harus juga menguasai off farm.

Sementara, dari sisi sumber daya manusia, petani kita juga harus mampu mengembangkan diri menjadi seorang entrepreneur dalam bidang agribisnis.

Selama ini kita memang luput membangun para entrepreneur, karena pemerintah kita lebih suka menggantungkan motor pembangunan di tangan para konglomerat.

Padahal, kalau kita belajar dari pengalaman Korea Selatan, yang berhasil mentranformasi petaninya menjadi entrepreneur, para petani kita mungkin bisa semaju Korea Selatan.

Ya, sekira enam puluh tahun lalu, sebagaimana halnya Indonesia, mayoritas masyarakat Korea Selatan juga berprofesi sebagai petani (farmer).

Bedanya, para petani Korea kini sudah berhasil bertransformasi menjadi agripreneur, bahkan entrepreneur, sementara mayoritas masyarakat kita masih saja bertahan menjadi farmer.

Banyak orang mungkin sudah lupa, Samsung yang kini identik dengan teknologi tinggi, memulai usaha mereka dari sebuah pabrik penggilingan padi dan perdagangan sayuran. Sebagai bangsa kita telah alpa. Saat orang lain terus-menerus bertransformasi, kita justru berhenti ber-evolusi.

Persoalan inilah yang mestinya mendorong kita menerima gagasan pentingnya mentransformasikan petani kita menjadi seorang entrepreneur, atau tepatnya seorang agripreneur.

Jika kita berhasil mentranformasi petani menjadi pengusaha, maka kita tinggal selangkah lagi bisa menciptakan Samsung versi Indonesia, Hyundai versi Indonesia, atau LG versi Indonesia.

Entrepreneur adalah pencipta kekayaan melalui inovasi. Posisi entrepreneur jauh lebih strategis ketimbang pemilikan kekayaan alam. Sudah terbukti, bangsa yg minim kekayaan alam, namun memiliki jumlah entrepreneur yg besar, bisa tumbuh menjadi negara industri maju.

Bayangkan jika kita bisa mengawinkan kekayaan alam melimpah dengan jumlah entrepreneur yang besar.

Pentingnya transformasi petani menjadi entrepreneur ini memang mendesak dilakukan.

Pertanian pada masa yg akan datang akan mengalami berbagai tekanan berat, selain tekanan demografi, pertanian juga kian mendapat tekanan dari perubahan iklim, perubahan pola pengusahaan dan budidaya, konversi lahan dan masalah-masalah sejenisnya.

Itu sebabnya pembangunan ekonomi kita ke depan harus lebih memperhatikan manusia petani dan tranformasi petani menjadi entrepreneur. Meminjam pepatah Polandia, ”jika petani miskin, maka seluruh negeri juga akan jatuh miskin”.

Jika Indonesia tak ingin menjadi bangsa paria, maka yang pertama-tama harus ditolong adalah para petani kita. Petani adalah kunci kemakmuran negeri! Dirgahayu HKTI!

28 April 2023

Artikel Refleksi HUT 50 HKTI: Petani adalah Kunci Kemakmuran Negeri pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/refleksi-hut-50-hkti-petani-adalah-kunci-kemakmuran-negeri/feed/ 0
Rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Seharusnya Ditunda https://parade.id/rencana-pembelajaran-tatap-muka-ptm-seharusnya-ditunda/ https://parade.id/rencana-pembelajaran-tatap-muka-ptm-seharusnya-ditunda/#respond Mon, 14 Jun 2021 21:21:15 +0000 https://parade.id/?p=13174 Jakarta (PARADE.ID)- Rencana pemerintah membuka opsi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) pada Juli nanti adalah keputusan tergesa-gesa, berisiko dan berbahaya. Keputusan itu mengingkari fakta bahwa saat ini kita sebenarnya masih belum bisa mengendalikan pandemi. Bahkan minggu pertama hingga ketiga Juni ini kecenderungan angka kasus Covid-19 terus meningkat. Ada beberapa alasan kenapa rencana tersebut seharusnya ditunda. Pertama, […]

Artikel Rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Seharusnya Ditunda pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Rencana pemerintah membuka opsi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) pada Juli nanti adalah keputusan tergesa-gesa, berisiko dan berbahaya.

Keputusan itu mengingkari fakta bahwa saat ini kita sebenarnya masih belum bisa mengendalikan pandemi. Bahkan minggu pertama hingga ketiga Juni ini kecenderungan angka kasus Covid-19 terus meningkat.

Ada beberapa alasan kenapa rencana tersebut seharusnya ditunda. Pertama, basis keputusan ini adlh SKB (Surat Keputusan Bersama) 4 Menteri, yg ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri pada 31 Maret 2021 lalu.

SKB itu diteken sebelum terjadi mudik, lonjakan kasus di India, gelombang kedua lockdown di berbagai negara, ledakan kasus di Kudus, Tegal, dan Bangkalan, serta lonjakan kasus-kasus lainnya di tanah air yang terjadi dalam satu bulan terakhir.

Jadi, sangat berisiko jika kita membuka pembelajaran tatap muka pada bulan Juli, atas dasar data-data pandemi bulan Maret, yang tak lagi aktual.

Kedua, hingga saat ini baru 35 persen tenaga pendidik dan kependidikan yang sudah selesai divaksinasi. Bahkan, 100 persen anak-anak kita bisa dipastikan belum satupun yang menerima vaksin Covid-19.

Dengan capaian vaksinasi yang rendah semacam itu, ceroboh sekali jika Pemerintah berani membuka PTM pada tahun ajaran baru ini.

Ketiga, keputusan melakukan PTM tidak sesuai dengan kebijakan Pemerintah tentang PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) berskala mikro yang diberlakukan di 34 provinsi.

Kebijakan PPKM mengandaikan situasi di seluruh daerah masih sangat berisiko. Masih berisiko tinggi tapi kok malah mau membuka PTM?

Keempat, kebijakan PTM mengabaikan kondisi sosiologis dan lapangan. Di atas kertas, kebijakan PTM memang dibatasi maksimal 2 kali dalam sepekan, dan tidak lebih dari dua jam per hari. Kesannya memang seolah-olah ada unsur kehati-hatian dalam kebijakan tersebut.

Namun, pembatasan tersebut hanyalah memperhatikan aktivitas siswa di kelas saja, tetapi mengabaikan cara bagaimana para siswa sampai di sekolah, serta apa yang dilakukan siswa sepulang sekolah.

Sbg catatan, tidak semua siswa kita beruntung dapat diantar oleh orang tuanya dengan kendaraan pribadi. Sebagian besar dari mereka harus menggunakan kendaraan umum untuk sampai ke sekolah. Ini potensial menciptakan kerumunan baru, terutama di kendaraan umum.

Apalagi, saya tak yakin anak-anak akan langsung pulang ke rumah setelah PTM berakhir. Dan kita memang mustahil bisa mengontrol hal-hal semacam itu.

Jadi, kebijakan membuka opsi PTM pada bulan Juli nanti adalah kebijakan yang membahayakan. Saya sangat menyesalkan kenapa kebijakan itu terus-menerus digaungkan Pemerintah di tengah situasi masih tingginya risiko penyebaran Covid-19 di kluster sekolah.

Ingat, pada 10 Juni kemarin kasus Covid-19 kembali melonjak hingga 8.892 kasus. Ini adalah lonjakan tertinggi sesudah bulan Maret lalu. Dan hingga hari ini angkanya tidak pernah turun dari angka 6 ribu kasus baru.

Padahal, kita sama-sama tahu, jumlah kasus baru yang tercatat itu belum tentu menggambarkan situasi riil di lapangan, mengingat jumlah tes kita dan jumlah spesimen yang diperiksa tiap harinya, angkanya masih sangat rendah.

Apalagi, dua minggu sesudah lebaran, ada kenaikan kasus yang sangat signifikan, yaitu sebesar 56,6 persen. Ini harus jadi catatan betul bagi Pemerintah, karena lonjakan kasus ini terjadi di berbagai tempat.

Menurut data Satgas Covid-19, ada lima provinsi yang menyumbang 65 persen keseluruhan jumlah kasus aktif nasional, yakni Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Papua, dan Riau.

Secara umum, Pulau Jawa berkontribusi 52,4 persen terhadap kasus aktif nasional. Artinya, lebih dari separuh kasus Covid-19 ada di Jawa.

Saya paham, pandemi yang telah berjalan lebih dari satu tahun ini telah melahirkan keluhan dan kejenuhan, baik dari para siswa maupun orang tua. Namun, pemecahannya bukanlah dengan penyelenggaraan PTM.

Jangan lupa, dalam fase uji coba PTM yang dilakukan oleh @Kemdikbud_RI pada April lalu, klaster Covid-19 justru ditemukan di sejumlah sekolah yang melakukan belajar tatap muka.

Salah satunya terjadi di SMA Negeri 1 Padang, Sumatera Barat. Tak lama setelah PTM diaktifkan, 43 siswa didapati positif Covid-19.

Jika pada fase uji coba saja hasilnya justru memunculkan klaster baru, apalagi jika pada Juli nanti diberlakukan secara massif. Saya khawatir jumlahnya jadi tak terkendali.

Usul saya, ketimbang mengagendakan PTM, sebaiknya Pemerintah melakukan terobosan kebijakan vaksinasi dengan melakukan vaksinasi berbasis sekolah. Pemerintah, melalui @Kemdikbud_RI punya data siswa lengkap.

Data ini jauh lebih valid dibanding data kependudukan, sehingga seharusnya Pemerintah tak akan menghadapi kendala jika melakukannya.

Lakukanlah vaksinasi di sekolah-sekolah, kepada guru dan siswa. Nah, sekolah-sekolah yang 100 persen guru dan siswanya telah selesai divaksinasi, baru diperbolehkan melakukan PTM.

Saya melihat, sesudah melakukan vaksinasi kepada PNS (Pegawai Negeri Sipil), TNI/Polri, dan ASN (Aparat Sipil Negara) secara umum, Pemerintah kehilangan arah terkait kebijakan vaksinasi. Vaksinasi kepada lansia, saya lihat, basisnya tidak lagi jelas.

Ada yang didata per kampung, ada juga yang dianjurkan datang ke kantor-kantor Pemda. Kesannya serabutan. Daripada vaksinasi dilakukan tanpa pola semacam itu, mulailah kebijakan vaksinasi berbasis sekolah. Obyeknya guru dan siswa. Selesaikan hal ini hingga akhir tahun 2021.

Di tengah pandemi ini, selain tenaga kesehatan, keselamatan anak-anak dan para guru, saya kira juga harus sangat diprioritaskan.

*Dr. Fadli Zon

Anggota DPR RI Fraksi Gerindra

Artikel Rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Seharusnya Ditunda pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/rencana-pembelajaran-tatap-muka-ptm-seharusnya-ditunda/feed/ 0
BUMN Kita Tersungkur Akibat Beban Penugasan dan Joroknya Tata Kelola https://parade.id/bumn-kita-tersungkur-akibat-beban-penugasan-dan-joroknya-tata-kelola/ https://parade.id/bumn-kita-tersungkur-akibat-beban-penugasan-dan-joroknya-tata-kelola/#respond Thu, 10 Jun 2021 03:11:36 +0000 https://parade.id/?p=13090 Jakarta (PARADE.ID)-Ambruknya keuangan PT Garuda Indonesia @IndonesiaGaruda (Persero) Tbk, yang tengah menjadi sorotan belakangan ini, terus terang membuat kita geram. Maskapai berusia 72 tahun ini terjerat lilitan utang menggunung dan menderita kerugian cukup besar. Saat ini Garuda tercatat memiliki utang US$4,9 miliar dolar, atau setara Rp70 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar Rp1 triliun setiap bulannya […]

Artikel BUMN Kita Tersungkur Akibat Beban Penugasan dan Joroknya Tata Kelola pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)-Ambruknya keuangan PT Garuda Indonesia @IndonesiaGaruda (Persero) Tbk, yang tengah menjadi sorotan belakangan ini, terus terang membuat kita geram. Maskapai berusia 72 tahun ini terjerat lilitan utang menggunung dan menderita kerugian cukup besar.

Saat ini Garuda tercatat memiliki utang US$4,9 miliar dolar, atau setara Rp70 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar Rp1 triliun setiap bulannya jika Garuda terus menunda pembayaran kepada pemasok (lessor).

Selain utang menggunung, Garuda @IndonesiaGaruda juga terlilit kerugian yang cukup besar. Saat ini, operational cost Garuda tiap bulan mencapai US$150 juta, padahal pendapatannya hanya tinggal US$50 juta. Artinya, tiap bulan perusahaan pelat merah ini merugi sekitar US$100 juta.

Belum reda kasus ambruknya Garuda, kini kita disuguhi fakta baru utang PLN (Perusahaan Listrik Negara) @pln_123 yang disebut mencapai Rp500 triliun. Fakta ini juga ikut membuat kita heran. Bagaimana tidak?

Enam tahun lalu, utang PLN hanya di bawah Rp20 triliun. Namun, hanya dalam satu periode kekuasaan, utang PLN telah meroket menjadi Rp500 triliun.

Meski kabar buruk tadi meruak di tengah pandemi, namun sayangnya kita tak bisa menyalahkan pandemi. Sebab, sejak sebelum pandemipun, utang dan kinerja BUMN kita telah mendapat sorotan dari berbagai lembaga internasional dan pemeringkat utang.

Terlalu banyaknya penugasan Pemerintah, terutama BUMN Karya, yang melebihi kemampuan keuangan perusahaan; warisan inefisiensi organisasi; ditambah dengan penunjukan direksi dan komisaris BUMN yang dilakukan secara tak profesional, karena tidak didasarkan pada faktor kompetensi; telah membuat BUMN berada di tubir jurang kebangkrutan.

Pada tahun 2018, misalnya, Bank Dunia dalam laporan “Infrastructure Sector Assessment Program”, mencatat meroketnya utang BUMN @KemenBUMN di bawah pemerintahan Presiden @jokowi disebabkan oleh beban penugasan proyek-proyek pemerintah.

Pemerintah telah mengabaikan kondisi dan kemampuan riil BUMN hanya demi mengejar target muluk pembangunan infrastruktur. Akibatnya, BUMN harus menanggung beban utang yang tinggi.

Menurut konsultan McKinsey & Company, membengkaknya jumlah utang itu memang tak diimbangi dengan kemampuan bayar yg memadai.

Lembaga konsultan itu mencatat, 32 persen utang jangka panjang korporasi Indonesia memiliki interest coverage ratio (ICR), atau rasio kemampuan bayar bunga utang, di bawah 1,5.

Persentase tersebut merupakan ketiga tertinggi di Asia, setelah India dan Cina. Dan rasio yang buruk tersebut terutama ditemukan pada perusahaan bidang utilitas, seperti transportasi, listrik, air, dan komunikasi. Jumlahnya, menurut McKinsey, mencapai 62 persen.

Tata kelola utang Pemerintah sekarang ini memang lebih buruk jika dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Di masa pemerintahan SBY, hingga akhir jabatannya utang pemerintah tercatat sebesar Rp2.700 triliun dan utang BUMN sebesar Rp500 triliun.

Harus diakui, pemerintahan SBY berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 56,6 persen pada 2004, menjadi tinggal 23 persen pada 2014.

Selain itu, untuk pertama kalinya pula pada masa itu kita bisa memasukkan dua BUMN terkemuka, yaitu Pertamina @pertamina dan @pln_123, ke dalam daftar “Fortunes Global 500”. Artinya, kinerja BUMN kita di masa lalu pernah sangat baik.

Namun, hanya dalam tempo lima tahun, utang pemerintah telah membengkak menjadi Rp6.336 triliun, sementara utang BUMN meningkat jadi Rp1.140 triliun.

Jika keduanya digabungkan, angkanya telah mendekati Rp8.000 triliun. Secara rasio, per April 2021, jumlah rasio utang kita terhadap PDB telah tembus angka 41,6 persen.

Jadi, dengan atau tanpa pandemi, kita sudah tak lagi berjalan di rel yg benar. Pandemi hanya sedikit menambah buruk, pada situasi yg sudah sangat buruk. Sejak sebelum pandemi, misalnya, banyak BUMN telah mengalami gagal bayar, sehingga harus mendapatkan suntikan dana dari negara.

Selain masalah tata kelola dan profesionalitas, masalah lain yang telah mendorong BUMN kita berada di jurang kebangkrutan adalah kesalahan Pemerintah dalam memandang dan menempatkan BUMN.

Selama ini BUMN ditempatkan sebagai unit bisnis. Karena dimiliki oleh Pemerintah dan mengelola sektor-sektor strategis, BUMN jadi dilihat sebagai perusahaan gigantik. Akibatnya, BUMN kita terus-menerus dikerubuti oleh semut-semut kepentingan yang ingin mengais rezeki.

Padahal, kalau kita membaca kembali Pasal 33 UUD 1945, BUMN adalah instrumen intervensi Pemerintah terhadap perekonomian. Fungsinya untuk menguasai sektor-sektor strategis bagi kepentingan publik. Jadi, misi BUMN bersifat ideologis, sementara tata kelolanya bersifat profesional.

Tapi hal itu tak lagi berlaku kini. Hari ini, misi BUMN bersifat bisnis, sementara tata kelolanya tidak profesional. Pada akhirnya, misi ideologis tidak terkejar, sementara dari sisi bisnis malah tersungkur.

Saya membaca, di tengah krisis utang BUMN, banyak ekonom menawarkan beberapa opsi penyelamatan. Pertama, adalah melikuidasi BUMN bersangkutan. Kedua, menambah suntikan modal. Ketiga, melakukan restrukturisasi utang. Dan keempat, melakukan privatisasi.

Karena BUMN pada umumnya mengelola sektor strategis, opsi likuidasi dan privatisasi seharusnya tidak jadi pilihan. Prioritas Kementerian BUMN dan Direksi BUMN seharusnya adalah melakukan restrukturisasi utang. Di situlah kita butuh manajemen BUMN yang profesional.

Sehingga, para politisi, relawan, serta orang-orang titipan di BUMN seharusnya segera diganti dengan orang-orang profesional yang mumpuni dalam bidang kerja BUMN. Inefisiensi harus dihentikan dan ruang korupsi yang terstruktur juga harus ditutup jika kita mau menyelamatkan BUMN.

*Dr. Fadli Zon, M.Sc

Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Gerindra

Artikel BUMN Kita Tersungkur Akibat Beban Penugasan dan Joroknya Tata Kelola pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/bumn-kita-tersungkur-akibat-beban-penugasan-dan-joroknya-tata-kelola/feed/ 0
Rencana Menteri Pertahanan Adalah Terobosan Penting untuk Memodernisasi Alpahankam https://parade.id/rencana-menteri-pertahanan-adalah-terobosan-penting-untuk-memodernisasi-alpahankam/ https://parade.id/rencana-menteri-pertahanan-adalah-terobosan-penting-untuk-memodernisasi-alpahankam/#respond Mon, 07 Jun 2021 08:43:47 +0000 https://parade.id/?p=13007 Jakarta (PARADE.ID)-Beredarnya rancangan Perpres tentang pemenuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) tahun 2020-2044, umumnya telah disalahpahami oleh banyak orang. Tak sedikit yg menilai  rencana strategis itu sbg “ambisius” dan “tidak peka terhadap krisis yg tengah kita alami”. Saya melihat, sumber kesalahpahaman itu ada tiga. Pertama, orang hanya melihat total besaran anggarannya, yang mencapai Rp1.760 […]

Artikel Rencana Menteri Pertahanan Adalah Terobosan Penting untuk Memodernisasi Alpahankam pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)-Beredarnya rancangan Perpres tentang pemenuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) tahun 2020-2044, umumnya telah disalahpahami oleh banyak orang. Tak sedikit yg menilai  rencana strategis itu sbg “ambisius” dan “tidak peka terhadap krisis yg tengah kita alami”.

Saya melihat, sumber kesalahpahaman itu ada tiga. Pertama, orang hanya melihat total besaran anggarannya, yang mencapai Rp1.760 triliun, tapi tidak memperhatikan skemanya.

Kedua, orang melupakan jika ini adalah proyek strategis untuk jangka waktu dua puluh lima tahun. Dan ketiga, orang juga lupa, semua itu barulah draf rencana Pemerintah.

Di luar tiga hal tadi, banyak orang juga lupa, jika saat ini kita berada di tahap akhir program Kekuatan Pokok Minimum, atau MEF (Minimum Essential Force), yang telah dimulai sejak 2009 silam.

MEF adalah program yang dirancang untuk memodernisasi kekuatan pertahanan kita. MEF dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu Tahap I (2009-2014), Tahap II (2014-2019), dan Tahap III (2019-2024).

Dalam tiap tahap MEF, Pemerintah menganggarkan kurang lebih sebesar Rp150 triliun untuk belanja alutsista. Jadi, kurang lebih tiap tahun anggarannya adalah Rp30 triliun.

Nah, program ini akan berakhir pada 2024. Sehingga, sangat wajar jika Pemerintah kemudian menyusun rancangan program strategis baru untuk meneruskan MEF. Itulah latar belakang munculnya rancangan Perpres tentang Alpahankam.

Sebagaimana kita ketahui, dalam pelaksanaannya program MEF tidak berjalan mulus seperti yang direncanakan.

Berdasar data Kementerian Pertahanan @Kemhan_RI pada Oktober 2020 TNI AD baru memiliki 77 persen kekuatan pokok minimal (minimum essential force/MEF), TNI AL 67,57 persen, dan TNI AU 45,19 persen.

Jadi, kalkulasi kasarnya, dengan model penganggaran yang berlaku selama ini, MEF kemungkinan tidak akan bisa mencapai 100 persen di tahun 2024. Untuk itulah dibutuhkan jalan baru dan juga rencana baru.

Saya melihat rencana Kementerian Pertahanan @Kemhan_RI dengan menyatukan alokasi anggaran pertahanan 25 tahun untuk memenuhi alpahankam, merupakan sebuah terobosan dan bisa menjadi jawaban untuk mempercepat modernisasi alpahankam TNI.

Setidaknya ada tiga pertimbangan untuk mendukung rencana tersebut.

Pertama, terobosan ini akan menjawab percepatan modernisasi alpahankam. Kondisi alpahankam kita memang sudah tidak memadai, baik dari sisi jumlah, maupun segi usia.

Sekitar 70 persen alpahankam kita umurnya sudah uzur. Tragedi tenggelamnya KRI Nanggala 402, salah satu faktor penyebabnya adalah karena usia yang sudah tua. Selama ini anggaran TNI banyak tersedot untuk pemeliharaan alpahankam yang sudah tak layak pakai.

Kedua, dari sisi anggaran, melakukan modernisasi dengan menyatukan alokasi anggaran pertahanan 25 tahun, dapat meningkatkan kapasitas pengadaan alpahankam secara lebih komprehensif.

Selain akan segera meningkatkan posisi tawar Indonesia, cara ini juga saya kira lebih efisien dibanding jika pengadaannya dilakukan secara terpisah dan parsial.

Jika diukur dari PDB (Produk Domestik Bruto) tahun 2020 sebesar 15.434,2 triliun, maka anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk alutsista selama 25 tahun itu sebenarnya hanya pada kisaran 0,6-0,7 persen setiap tahunnya.

Padahal, kalau kita merujuk pada dokumen MEF, idealnya sejak MEF II, antara 2014 hingga 2019, alokasi anggaran pertahanan kita sudah ke arah 1,5% dari terhadap PDB.

Jadi, jangan semata-mata melihat gelondongan Rp1.760 triliunnya, tapi harus dilihat juga persentasenya terhadap PDB kita 25 tahun ke depan.Ketiga, rencana ini bersifat meneruskan strategi MEF yg saat ini sudah masuk tahap ke-3.

Sebagai Menteri Pertahanan @Kemhan_RI P @prabowo harus menghadapi tiga tantangan sekaligus terkait dengan MEF. Pertama, Menhan harus menuntaskan MEF.

Kedua, harus menghadapi kenyataan terkendalanya anggaran pertahanan karena ada pandemi. Dan ketiga, harus bisa menawarkan rancangan strategis baru untuk meneruskan MEF.

Jadi, mau tidak mau Kemenhan @Kemhan_RI harus bisa membuat terobosan. Rancangan Perpres tentang Alpahankam ini adalah hasilnya.

Dalam satu tahun ini, saya melihat upaya Kementerian Pertahanan @Kemhan_RI untuk melakukan percepatan target MEF cukup serius dan komprehensif.

Misalnya, mereka mengevaluasi kembali kontrak-kontrak kerja sama pertahanan yang dinilai tidak efisien, membuka kerja sama luas dengan berbagai negara agar tidak tergantung pada satu negara saja, dan terakhir, mereka juga tak lupa memperkuat industri pertahanan nasional.

Jadi, langkah-langkah yang disusun Kementerian Pertahanan sudah sangat komprehensif. Kita memang harus membuat terobosan penting agar dapat segera memiliki sistem pertahanan nasional yang tangguh.

Di luar hal-hal yang telah disebutkan tadi, saya setuju, bahwa rencana besar ini tentu masih harus dimatangkan dan disempurnakan lagi dengan melibatkan parlemen.

*Dr. Fadli Zon, M.Sc

Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Gerindra

Artikel Rencana Menteri Pertahanan Adalah Terobosan Penting untuk Memodernisasi Alpahankam pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/rencana-menteri-pertahanan-adalah-terobosan-penting-untuk-memodernisasi-alpahankam/feed/ 0
Catatan Hari Pancasila: Berbahaya Jika Pemerintah Salahgunakan Pancasila https://parade.id/catatan-hari-pancasila-berbahaya-jika-pemerintah-salahgunakan-pancasila/ https://parade.id/catatan-hari-pancasila-berbahaya-jika-pemerintah-salahgunakan-pancasila/#respond Thu, 03 Jun 2021 03:12:22 +0000 https://parade.id/?p=12903 Jakarta (PARADE.ID)- Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini, 1 Juni 2021, seharusnya bisa jadi momentum menjahit kebersamaan, solidaritas, dan juga gotong royong di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang belum juga usai. Agar bisa bertahan, dan kelak bisa bangkit kembali, kita memang sangat membutuhkan kerja sama seluruh anak bangsa. Tak mungkin kita bisa bertahan dan bangkit jika […]

Artikel Catatan Hari Pancasila: Berbahaya Jika Pemerintah Salahgunakan Pancasila pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini, 1 Juni 2021, seharusnya bisa jadi momentum menjahit kebersamaan, solidaritas, dan juga gotong royong di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang belum juga usai. Agar bisa bertahan, dan kelak bisa bangkit kembali, kita memang sangat membutuhkan kerja sama seluruh anak bangsa. Tak mungkin kita bisa bertahan dan bangkit jika tidak bekerjasama.

Di sinilah posisi Pancasila sebagai dasar negara, yang bersifat mempersatukan kebhinekaan, memainkan peranannya. Pancasila, sebagaimana disusun para pendiri bangsa, memang dimaksudkan sebagai alat perekat, bukan alat pemecah belah, apalagi alat untuk mengekslusi suatu golongan.

Sayangnya, tahun ini kita memperingati hari lahir Pancasila masih dengan keprihatinan. Kita menyaksikan polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap calon ASN (Aparatur Sipil Negara) KPK berminggu-minggu dan belum usai hingga kini.

Pelantikan ASN KPK dipilih hari simbolik, yaitu 1 Juni 2021, hari Pancasila. Ada apa dengan wawasan kebangsaan kita? Jangan sampai TWK jadi alat tunggal pengukur kadar “kebangsaan” dan “Pancasilais” seseorang, calon ASN atau siapapun dalam profesi apapun.

Sejumlah pertanyaan dalam TWK justru mengganggu ikatan kebangsaan. Dalam kasus ASN KPK, kita pantas bertanya-tanya: apakah “integritas” dan “kompetensi” bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila?

Mereka yang gugur dalam TWK adalah orang-orang yang dikenal punya rekam jejak baik pada institusi yang sama. Pancasila tentu saja tak mungkin anti-integritas dan anti-kompetensi.

Sehingga, penjelasan atas peristiwa tadi hanya satu, bahwa Pancasila kini telah dijadikan alat politik untuk mengubur sikap kritis demi menjaga kepentingan kekuasaan atau oligarki. Jika sebelumnya yang sering dibungkam adalah kelompok “Islam” dan ormas tertentu yang bersikap oposan terhadap Pemerintah, maka kini pembungkaman telah merambah ranah lain, yaitu institusi termasuk institusi pemberantasan korupsi. Ironisnya, semua pembungkaman itu dilakukan dengan satu dalih, yaitu “Pancasilaisme”, dan menggunakan stigma seperti “radikal” atau “Islam garis keras”.

Pemberian stigma “Taliban”, atau dengan kata lain Islam garis keras adalah salah satu contoh yang bertentangan dengan wawasan kebangsaan. Serangan itu tentu saja memprihatinkan. Sebab, orang-orang yang disebut “Taliban” itu banyak di antara mereka adalah non-Muslim, seperti beragama Kristen, Katolik, atau Budha. Cukup jelas, serangan itu hanya dimaksudkan untuk melahirkan sentimen negatif.

Kasus yang terjadi di KPK ini memang perlu mendapat perhatian lebih. Sebab, jika TWK ini berhasil menjadi pola, maka brutalnya tata kelola ekonomi dan manajemen APBN di tengah pandemi sudah pasti bakal kian tak terkendali.

Saat ini, misalnya, publik tak lagi bisa mengontrol laju pertambahan utang Pemerintah. Dengan dalih pandemi, dan berbekal Perppu No. 1 Tahun 2020, kontrol terhadap defisit kini telah dilepas. Imbasnya, posisi utang Pemerintah hingga April 2021 telah berada di angka Rp6.527,29 triliun, atau setara dengan 41,18 persen PDB (Produk Domestik Bruto).

Hingga akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejumlah ekonom memperkirakan jumlah utang bisa menembus Rp10 ribu triliun. Tetapi, jangankan sense of crises, para pengambil keputusan di bidang ini malah kelihatan biasa saja, seolah tak sedang terjadi apa-apa.

Contoh paling konkret adalah apa yang terjadi di lingkungan BUMN. Sungguh tragis, di tengah kabar ambruk dan kronisnya persoalan yang membelit sejumlah BUMN papan atas, kita menyaksikan Pemerintah malah mempertontonkan tata kelola perusahaan yang kian tidak profesional. Jabatan-jabatan strategis di BUMN, misalnya, diumbar ke para pendukung dan relawan, yang kompetensi mereka sebenarnya tak berhubungan sama sekali dengan core business perusahaan.

Bagaimana Menteri BUMN mau bicara soal “Akhlak” sebagai core values BUMN, jika pemilihan komisaris dan direksi BUMN-nya tidak profesional?

Hal-hal semacam itulah yang telah membuat Pemerintah jadi tidak memiliki kredibilitas ketika menjajakan wacana Pancasila. Tak heran, meminjam survei LSI (Lingkaran Survei Indonesia) pada tahun 2018, dalam rentang waktu 13 tahun, sejak 2005, masyarakat yang pro terhadap Pancasila tercatat mengalami penurunan sekitar 10 persen.

Pada 2005, masyarakat yang pro terhadap Pancasila ada di angka 85,2 persen, sementara pada tahun 2018, angkanya menurun menjadi 75,3 persen. Bagaimana kita membaca angka-angka ini?

Dari survei tersebut kita memang bisa menyimpulkan bahwa telah terjadi penurunan tingkat dukungan terhadap Pancasila. Namun, apa yang telah menyebabkan terjadinya penurunan dukungan terhadap Pancasila tersebut? Inilah pertanyaan yang mestinya kita jawab.

Saya melihat, selama ini pertanyaan itu hanya dijawab dengan satu sudut pandang saja, terutama oleh Pemerintah, yaitu bahwa masyarakat menjadi kurang Pancasilais karena sejak Reformasi tidak ada lagi praktik indoktrinasi sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Dalam bidang pendidikan, misalnya, tidak ada lagi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), di sekolah-sekolah.

Sehingga, solusinya adalah dengan mengembalikan praktik-praktik lama tadi. Saya setuju, pendidikan Pancasila perlu dikembalikan ke semua jenjang pendidikan. Namun, sudut pandang ini hanya menempatkan masyarakat sebagai tersangka tunggal dalam persoalan tadi. Seolah, mundurnya komitmen terhadap Pancasila hanya berasal dari masyarakat, tanpa andil sedikitpun dari pihak Pemerintah.

Padahal, yang sebenarnya terjadi bisa saja sebaliknya: masyarakat menjadi jengah terhadap Pancasila karena Pemerintah sendiri hampir dianggap tidak pernah mempraktikkannya! Atau, masyarakat menjadi jengah terhadap Pancasila, karena selama ini Pancasila sekadar diperalat oleh kekuasaan dan dikampanyekan dengan cara serta untuk tujuan yang membuat publik merasa dipermainkan.

Saya khawatir, lunturnya simpati dan kepercayaan masyarakat terhadap Pancasila lebih banyak disumbang oleh penyalahgunaan Pancasila oleh negara daripada terkikisnya komitmen masyarakat terhadap Pancasila itu sendiri. Itu sebabnya, penggunaan wacana “Pancasila” secara terus-menerus untuk menyerang oposan Pemerintah, kelompok keagamaan tertentu, kelas menengah kritis, dan kini terhadap aktivis, tidak boleh dibiarkan.

Di hari lahir Pancasila ini saya ingin mengajak seluruh anak bangsa untuk mengingat kembali satu hal: bangsa dan negara ini berdiri kokoh di atas dasar Pancasila. Tanpa dasar Pancasila, bangsa dan negara ini mustahil bisa bertahan. Tetapi, Pancasila yang menjadi dasar negara kita adalah Pancasila yang ingin mempersatukan, bukan Pancasila yang dikampanyekan untuk memecah belah dan menghasut masyarakat.

*Dr. Fadli Zon, M.Sc
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Gerindra

Artikel Catatan Hari Pancasila: Berbahaya Jika Pemerintah Salahgunakan Pancasila pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/catatan-hari-pancasila-berbahaya-jika-pemerintah-salahgunakan-pancasila/feed/ 0
Agama, Pancasila, dan Bahasa Indonesia Adalah Ciri Pendidikan Nasional https://parade.id/agama-pancasila-dan-bahasa-indonesia-adalah-ciri-pendidikan-nasional/ https://parade.id/agama-pancasila-dan-bahasa-indonesia-adalah-ciri-pendidikan-nasional/#respond Tue, 20 Apr 2021 06:55:55 +0000 https://parade.id/?p=12096 Jakarta (PARADE.ID)- Hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, mengingatkan kita pada hilangnya frasa “agama” dalam draft “Peta Jalan Pendidikan 2020-2035” yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sehingga, tak heran jika ada sejumlah kalangan menilai ini […]

Artikel Agama, Pancasila, dan Bahasa Indonesia Adalah Ciri Pendidikan Nasional pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, mengingatkan kita pada hilangnya frasa “agama” dalam draft “Peta Jalan Pendidikan 2020-2035” yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Sehingga, tak heran jika ada sejumlah kalangan menilai ini bentuk kesengajaan.

Mungkin, ada sejumlah ahli di Kemendikbud yg berpandangan bahwa agama, Pancasila, dan Bahasa Indonesia tidaklah penting. Saya juga mengetahui ada pandangan bahwa pelajaran agama, menjadi beban bagi dunia pendidikan.

Kita memang tak bisa mengetahui dengan pasti apakah hilangnya frasa agama, mata kuliah Pancasila, serta mata kuliah Bahasa Indonesia merupakan kesengajaan, atau sekadar produk kecerobohan Pemerintah belaka. Yang jelas, kesalahan ini fatal!

Merujuk pada Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945, dengan jelas dimandatkan oleh konstitusi bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Jadi, pemerintah wajib menyelenggarakan sebuah “pendidikan nasional”.

Apa yang dimaksud sebagai “pendidikan nasional” itu bukan saja mencakup skalanya, yaitu sebuah pendidikan yg diselenggarakan secara nasional, dari Sabang sampai Merauke; namun juga mencakup sifatnya, yaitu sebuah pendidikan yang memiliki ciri kebangsaan (nation).

Di poin kedua inilah letak posisi vital “agama”, Pancasila, serta bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan kita. Ketiganya adalah ciri dari pendidikan nasional kita. Tanpa ketiganya, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah jadi kehilangan sifat kenasionalannya. Sesudah diprotes keras oleh berbagai kalangan Kemendikbud kemudian merevisi konsepnya, saya melihat tak adanya frasa agama dalam dokumen Peta Jalan Pendidikan bukan sekadar kealpaan redaksional.

Sebagai produk turunan kebijakan, dokumen Peta Jalan Pendidikan yg dirumuskan oleh tim Kemendikbud semestinya merunut pada hierarki hukum dan tak boleh berbeda dari peraturan di atasnya, baik UU Sistem Pendidikan Nasional maupun UUD 1945. Seperti bisa kita baca dari Pasal 31 UUD 1945, baik Ayat (3) maupun (5), disebutkan secara eksplisit bahwa agama adalah unsur integral di dalam pendidikan nasional. Karena itu, hilangnya frasa “agama” dari Peta Jalan Pendidikan adalah sebuah peristiwa hukum dan ketatanegaraan yang serius.

Tidak masuknya frasa “agama” dalam draf Peta Jalan Pendidikan Nasional setidaknya membuktikan dua hal. Pertama penyusunan roadmap ini ahistoris, krn telah mengabaikan pertimbangan historis, sosiologis, sekaligus yuridis yang mestinya hadir dalam penyusunan kebijakan pendidikan.

Tim perumus harus diisi mereka yang benar-benar paham sejarah pendidikan nasional. Mereka yang tak tahu sejarah masa lalu, tak mungkin tahu apa yang terjadi masa kini. Mereka yang tak tahu apa yang terjadi masa kini, tak mungkin bisa merancang masa depan.

Kedua, penyusunan roadmap ini tidak melibatkan stakeholder terkait. Adanya protes Muhammadiyah dan kelompok keagamaan lain adalah buktinya. Padahal, ormas seperti Muhammadiyah, misalnya, telah menyelenggarakan kegiatan pendidikan jauh sejak sebelum Republik ini lahir.

Kasus hilangnya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia dari PP No. 57/2021 lebih aneh lagi, karena PP tersebut seolah seperti hendak mengamandemen UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yg menegaskan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.

Hilangnya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia dari PP No. 57/2021 menunjukkan jika Pemerintah tidak belajar dari kesalahan hilangnya frasa “agama” dari Peta Jalan Pendidikan. Jika semula tuduhan kecerobohan hanya tertuju ke Kemendikbud, maka kasus kedua ini telah melebarkannya, sebab dalam penyusunan peraturan pemerintah ada peran Sekretaris Kabinet, Sekretaris Negara dan Menteri Hukum dan HAM.

Siapa yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kecerobohan esensial semacam ini?

Jangan salahkan jika kemudian publik jadi bertanya: kebijakan-kebijakan pendidikan semacam ini sebenarnya datang dari mana? Apakah benar-benar dari internal Kemendikbud dan pemerintahan? Atau konsep yg lahir dari lembaga lain di luar?

Kita paham, Mendikbud kita hari ini tak punya basis kuat dlm bidang pendidikan, sehingga ia tentu dibantu sejumlah tim pemikir di sekitarnya. Masalahnya siapa saja mereka? Ini bukan kali pertama kbjkn Pemerintah dlm bidang pendidikan mendapat sorotan demikian tajam dr masyarakat.

Kalau benar-benar lahir dari internal Kemendikbud, biasanya para birokrat pemerintahan tak akan pernah seceroboh itu dalam menyusun legal drafting kebijakan, apalagi yang sifatnya sensitif. Tetapi, kalau konsep-konsep ini lahir dari lembaga luar, Pemerintah, terutama Kemendikbud, perlu menjelaskan, siapa lembaga atau konsultan yang mereka tunjuk untuk menyusun kebijakan-kebijakan tadi, agar publik menjadi tahu.

*Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon

Artikel Agama, Pancasila, dan Bahasa Indonesia Adalah Ciri Pendidikan Nasional pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/agama-pancasila-dan-bahasa-indonesia-adalah-ciri-pendidikan-nasional/feed/ 0
Jangan Biarkan Ada Fobia Islam di BUMN https://parade.id/jangan-biarkan-ada-fobia-islam-di-bumn/ https://parade.id/jangan-biarkan-ada-fobia-islam-di-bumn/#respond Mon, 12 Apr 2021 06:45:23 +0000 https://parade.id/?p=11936 Jakarta (PARADE.ID)- Tindakan Komisaris Independen PT Pelni (Persero) Dede Kristia Budiyanto, yg mencopot pejabat di perusahaannya hanya gara-gara pamflet kajian keislaman di bulan Ramadan, bisa digolongkan sebagai bentuk tindakan Islamophobia. Sebab, tindakan itu disertai dengan tuduhan serius mengenai radikalisme, yang mestinya punya dasar serta konsekuensi yang juga serius. Sayangnya, kita tak melihat dasar dan konsekuensi […]

Artikel Jangan Biarkan Ada Fobia Islam di BUMN pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Tindakan Komisaris Independen PT Pelni (Persero) Dede Kristia Budiyanto, yg mencopot pejabat di perusahaannya hanya gara-gara pamflet kajian keislaman di bulan Ramadan, bisa digolongkan sebagai bentuk tindakan Islamophobia.

Sebab, tindakan itu disertai dengan tuduhan serius mengenai radikalisme, yang mestinya punya dasar serta konsekuensi yang juga serius.

Sayangnya, kita tak melihat dasar dan konsekuensi serius tersebut. Siapa sebenarnya yang dituduh radikal? Apakah panitianya? Atau daftar narasumbernya?

Sy membaca, salah satu narasumber dalam rangkaian kegiatan Ramadhan yg dibatalkan itu adalah Ketua Komisi Dakwah MUI, K.H. Cholil Nafis. Apakah ia juga dianggap radikal? Apakah MUI dianggap sbg sarang orang-orang radikal oleh Komisaris Independen PT Pelni?

Jika panitia yang dianggap radikal, apa dasar PT Pelni menganggap stafnya sendiri sebagai radikal? Bagaimana bisa perusahaan negara merekrut orang-orang radikal?

Selanjutnya, kalau memang benar-benar radikal, kenapa tidak diproses hukum? Kenapa hanya dipindahkan, yg membuat orang jadi mempertanyakan dasar tuduhan tersebut.

Penyematan stigma radikal tanpa dasar yang jelas adalah wujud nyata sikap Islamophobia. Ironisnya, Islamophobia ini justru terjadi di perusahaan negara yang seharusnya jauh dari intrik dan sentimen politik.

Ini menunjukkan ada masalah serius dalam hal penunjukkan pejabat-pejabat BUMN saat ini. @KemenBUMN

Sikap Islamophobia semacam itu tak boleh dibiarkan. Menteri BUMN @KemenBUMN harus menegur komisaris tersebut, karena tindakannya bisa memancing reaksi negatif yang tidak kita harapkan.

Sebagai wakil pemerintah di BUMN, seorang komisaris mestinya dibekali dengan ‘attitude’ sebagai pejabat publik, sehingga tidak bisa sembarangan berbicara dan bertingkah di depan umum.

Itu sebabnya, komisaris BUMN mestinya direkrut dari kalangan profesional, birokrat, atau orang-orang yang kompetensinya jelas, bukan direkrut dari kalangan ‘buzzer’.

Sayang sekali PT Pelni menjadi obyek perhatian publik bukan karena prestasi atau capaiannya, melainkan karena ada komisarisnya yang mengidap Islamophobia.

Sikap fobia terhadap Islam biasanya diidap oleh orang-orang yang kemampuan literasinya miskin dan dangkal. Dia tidak memahami ajaran Islam, atau dia tidak mengenal umat Islam dengan baik.

Akibat dangkalnya pemahaman tersebut, dia jadi gampang memberikan stigma. Menurut saya, sangat berbahaya jika BUMN dihuni oleh pejabat-pejabat yg dangkal pemahaman kemasyarakatannya semacam itu.

Apalagi, secara akademik sikap “radikal” bukanlah bentuk kejahatan. Intoleransi, serta terorisme memang adalah bentuk kejahatan. Tetapi, menyamakan “radikal” dengan “intoleransi”, atau “terorisme”, jelas sebuah kesalahan. Itu sesat pikir namanya.

Di Indonesia, label radikal kini secara politis telah dikonotasikan kepada kalangan Islam. Sehingga, tuduhan itu umumnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi, secara konsep sudah jelas keliru.

Inilah yg membuat kenapa masyarakat Islam jadi sensitif jika mendengar tuduhan radikal. Sebab, di sisi lain, kelompok-kelompok yang sudah jelas memberontak, atau melakukan kekerasan bersenjata, malah diberi label eufimistik.

Namun, ketika ada kelompok Islam menyerukan ajaran agamanya, seperti menyebut kata “jihad”, misalnya, stigma radikal langsung disematkan. Padahal, kata jihad sendiri memiliki makna yang luas.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, pejabat publik mestinya berhati-hati dalam melontarkan pernyataan terkait soal keislaman. Kita tak ingin kembali lagi ke zaman yang tak bersahabat dengan Islam dan umat Islam.

Menteri BUMN seharusnya memberikan pembinaan kepada para petinggi PT Pelni. @KemenBUMN

Hak karyawan PT Pelni untuk beribadah, atau melakukan kegiatan keagamaan, tak seharusnya diintervensi oleh direksi atau komisaris. Itu mengesankan tugas direksi dan komisaris BUMN jadi bersifat remeh-temeh belaka.

*Poltiisi Gerindra, Fadli Zon

Artikel Jangan Biarkan Ada Fobia Islam di BUMN pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/jangan-biarkan-ada-fobia-islam-di-bumn/feed/ 0
Hati-hati, Ancaman Krisis dari Tiga Jurusan https://parade.id/hati-hati-ancaman-krisis-dari-tiga-jurusan/ https://parade.id/hati-hati-ancaman-krisis-dari-tiga-jurusan/#respond Sat, 20 Jun 2020 14:10:35 +0000 https://parade.id/?p=987 Jakarta (PARADE.ID)- Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman krisis dari tiga jurusan. Jika Pemerintah mengabaikannya, ketiganya bisa membuat kita jatuh terpuruk sangat dalam. Ancaman pertama adalah krisis ‘New Normal’. Dengan kampanye ‘New Normal’, secara tak langsung praktik PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mengalami sejumlah pelonggaran. Mal dan hotel yang sebelumnya tutup, atau kegiatan perdagangan yang […]

Artikel Hati-hati, Ancaman Krisis dari Tiga Jurusan pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman krisis dari tiga jurusan. Jika Pemerintah mengabaikannya, ketiganya bisa membuat kita jatuh terpuruk sangat dalam.

Ancaman pertama adalah krisis ‘New Normal’. Dengan kampanye ‘New Normal’, secara tak langsung praktik PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mengalami sejumlah pelonggaran. Mal dan hotel yang sebelumnya tutup, atau kegiatan perdagangan yang semula dibatasi hanya untuk kebutuhan pangan, kini telah dilonggarkan.

Saat ini kita sudah memasuki pekan kedua sejak kampanye ‘New Normal’ pertama kali digaungkan Pemerintah akhir Mei lalu. Di Jakarta, dua pekan itu jatuh pada hari Jumat kemarin. Bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap kasus pandemi secara nasional? Kita sama-sama bisa ukur mulai minggu depan. Yang jelas, sebelum kebijakan ‘New Normal’ saja kita menyaksikan penambahan kasus positif Covid-19 terus meningkat signifikan, bahkan melahirkan sejumlah rekor baru.

Semula, rekornya ada di angka 900-an, kemudian meningkat ke 1.000 kasus, dan pada 18 Juni 2020, tembus ke angka 1.331 kasus dalam sehari. Semua itu menunjukkan kurva pandemi kita masih terus naik, dan belum melandai. Dan, sekali lagi, itu masih belum menggambarkan imbas kebijakan ‘New Normal’.

Sejak awal saya menilai kebijakan ‘New Normal’ telah mengabaikan pertimbangan pandemi, dan lebih banyak didikte oleh kepentingan pengusaha. Akibatnya, sebelum mengakhiri gelombang pertama pandemi Covid-19, kita dalam beberapa waktu ke depan mungkin akan segera dihantam lonjakan kasus yang lebih besar lagi, sebagai ekses kebijakan ‘New Normal’ dua pekan lalu.

Sebagai pembanding, saat ini saja Indonesia sudah tercatat sebagai negara dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di ASEAN, dengan total 45.029 kasus (20 Juni). Jumlah kasus aktif Covid-19 di Indonesia juga tertinggi di ASEAN. Kalau jumlah tes yang dilakukan Pemerintah memenuhi angka minimal yang WHO (World Health Organization), yaitu 1.000 tes per 1 juta penduduk per minggu, tentu akan terjadi peningkatan tajam jumlah kasus Covid-19 di Indonesia.

Saya khawatir, krisis Covid-19 di Indonesia bisa berlangsung lebih panjang dibanding negara lain. Sebab, bukannya mengatasi secara tuntas gelombang pertama Covid-19, Pemerintah justru malah menciptakan risiko baru melalui kebijakan ‘New Normal’.

Kedua, ancaman depresi ekonomi. The Economist Intelligence Unit dalam publikasinya akhir Mei lalu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan terkontraksi sebesar 4,2 persen. Angka ini jauh lebih rendah dari proyeksi IMF sebelumnya yang menyebut angka 3 persen. The Economist juga memproyeksikan 17 negara anggota G-20 bakal mengalami resesi tahun ini.

Selain resesi, sejumlah lembaga dan ekonom bahkan menyebut krisis yang akan kita hadapi sebenarnya sedang mengarah pada Depresi Besar (Great Depression) seperti tahun 1930. WTO (World Trade Organization), misalnya, memperkirakan perdagangan internasional akan turun ke level sangat rendah, sehingga dunia dapat kembali masuk ke situasi krisis seperti pernah terjadi pada 1930-an.

Apa yang diperkirakan WTO itu juga serupa dengan proyeksi IMF (International Monetary Fund). Bahkan, IMF memperingatkan situasi bakal lebih buruk dari Depresi Besar 1930-an. Prediksi ini berkebalikan dengan proyeksi yang mereka buat lima bulan lalu. Ketika itu IMF mengeluarkan perkiraan pertumbuhan pendapatan per kapita positif di lebih dari 160 negara anggotanya. Kini, mereka memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan tumbuh negatif.

Perekonomian dunia memang sedang mengarah pada ‘negative supply shock’ dan ‘deglobalisasi’, karena semua negara akan berusaha melindungi perekonomian domestik melalui berbagai skema, mulai dari proteksi, pengetatan tarif, dan sejenisnya. Pelonggaran pembatasan sosial sebenarnya tak akan otomatis mengalirkan kembali perekonomian. Sebab, pengangguran sudah terjadi, deindustrialisasi sudah berlangsung, dan turunnya tingkat pendapatan masyarakat adalah keniscayaan. Padahal, dalam konteks Indonesia, misalnya, konsumsi rumah tangga itu menyokong 56,82 persen PDB (Produk Domestik Bruto).

Konsep pemulihan ekonomi oleh Pemerintah memerlukan peningkatan defisit fiskal yang sangat besar. Melalui Perppu No. 1/2020, misalnya, Pemerintah telah mematok pelebaran defisit lebih dari 3 persen, yang dalam realisasinya bisa mencapai lebih dari 5 persen PDB. Padahal, saat ini tingkat utang publik sudah sangat tinggi. Akhir Mei lalu, jumlah utang Pemerintah tercatat mencapai Rp5.258,57 triliun.

Sektor-sektor yang terdampak terutama adalah jasa akomodasi, makanan, perdagangan, manufaktur, dan properti. Di Indonesia, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah berlangsung. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan sebagai imbas pandemi. Sebanyak 10,6 persen di antaranya, atau sekitar 160 ribu orang, kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4 persen sisanya karena dirumahkan.

Di sisi lain, pandemi Covid-19 mungkin akan berdampak cukup panjang. Inilah yang dapat membuat perekonomian global jatuh terpuruk ke titik yang jauh lebih buruk daripada yang pernah terjadi pada 1930-an.

Ketiga, ancaman perubahan geopolitik global dan kawasan. Dalam seminggu terakhir, dunia sedang menyaksikan akselerasi konflik serius di sejumlah kawasan, yang ditandai meletusnya kontak senjata antara tentara India dan Cina di perbatasan kedua negara, memanasnya kembali Semenanjung Korea, serta kian meningkatnya aktivitas militer Amerika Serikat dan Cina di Laut Cina Selatan.

Pekan lalu, misalnya, kapal induk USS Theodore Roosevelt, USS Nimitz, dan USS Ronald Reagan, sudah hadir di Laut Cina Selatan. Unjuk kekuatan militer semacam itu sangat tak lazim, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, sehingga harus disikapi sebagai penanda bakal ada yang berubah dalam geopolitik global dan kawasan ke depannya.

Jadi, kita tak lagi hanya menghadapi perang dagang antara Amerika dengan Cina, melainkan ancaman konflik, bahkan perang, yang bisa menyeret banyak negara di dalamnya. Sentimen anti-Cina, misalnya, kini sudah menjangkiti India. Negara-negara seperti Jepang, Vietnam, atau Australia, yang juga memiliki “masalah” dengan Cina, juga bisa memanaskan sentimen tersebut di kawasan.

Semua itu akan membuat dunia hari esok mungkin tak akan sama lagi dengan kemarin. Persoalannya adalah, menghadapi ancaman-ancaman itu, bagaimana sikap dan di mana posisi Indonesia?

Saat negara-negara lain sedang sibuk mengkonsolidasikan kekuatan militer menghadapi dinamika geopolitik global, kita harus lebih sensitif terhadap dinamika politik global dan kawasan.

Saya sependapat dengan pernyataan Jeffrey Sachs, bahwa untuk menghadapi pandemi dan krisis yang menguntitnya, dibutuhkan kepemimpinan yang cakap. Yaitu para pemimpin yang bisa memobilisasi sumber daya nasional untuk merespon bencana dan krisis. Hanya pemimpin cakap yang akan bisa membawa sebuah negara keluar dari krisis dan pandemi.

Kecakapan serta karakter kepemimpinan yang kuat itu, misalnya, kita lihat ada pada Merkel di Jerman, atau Ardern di Selandia Baru. Terbukti, keduanya berhasil membawa negaranya mengatasi pandemi dan krisis.

Hal kebalikan kita lihat ada pada Trump di Amerika. Selain belum bisa mengatasi pandemi, Trump juga gagal merespon secara dini gelombang protes terkait isu rasialisme di negaranya, sehingga berujung bentrok dan kerusuhan di banyak tempat.

Saya ingin mengingatkan saja, para pemimpin sekarang sedang diuji. Bagaimana tempat mereka dalam sejarah, sangat ditentukan keberhasilan mereka mengatasi ancaman tiga krisis tadi.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Artikel Hati-hati, Ancaman Krisis dari Tiga Jurusan pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/hati-hati-ancaman-krisis-dari-tiga-jurusan/feed/ 0
RUU HIP Bikin Anak Bangsa Bertengkar https://parade.id/ruu-hip-bikin-anak-bangsa-bertengkar/ https://parade.id/ruu-hip-bikin-anak-bangsa-bertengkar/#respond Wed, 17 Jun 2020 04:49:00 +0000 https://parade.id/?p=538 Jakarta (PARADE.ID)- Anggota DPR RI dari partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan bahwa RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tidak memiliki urgensi sama sekali. Sebaliknya, yang ada justru akan memunculkan pertengkaran terkait idelogi antaranak bangsa. “Kita kembali bertengkar mengenai soal ideologi, kotak pandora yg sebenarnya secara formil sudah kita tutup sejak 1959 lalu,” demikian cuitannya, kemarin. Pancasila, […]

Artikel RUU HIP Bikin Anak Bangsa Bertengkar pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
Jakarta (PARADE.ID)- Anggota DPR RI dari partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan bahwa RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tidak memiliki urgensi sama sekali. Sebaliknya, yang ada justru akan memunculkan pertengkaran terkait idelogi antaranak bangsa.

“Kita kembali bertengkar mengenai soal ideologi, kotak pandora yg sebenarnya secara formil sudah kita tutup sejak 1959 lalu,” demikian cuitannya, kemarin.

Pancasila, sebagai hakikat pemersatu dinilai sudah cukup. “Dengan diangkatnya RUU HIP ini mnjd pintu masuk perpecahan. RUU ini bs membuka luka-luka lama sejarah dan akhirnya memecah belah.”

Tak dicantumkannya TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran, menurutnya semakin memupuk penolakan sebagian masyarakat. Sebab sebagian masyarakat curiga RUU ini digunakan untuk menyusupkan kepentingan kaum komunis atau PKI yang sudah dilarang.

RUU ini di mata pemerintah ditunda pembahasannya. Artinya, suatu waktu akan kembali dibahas.

Padahal, MUI beserta ormas besar Islam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sudah menolaknya. Lantas, apakah pemerintah dan DPR akan berubah?

(Robi/PARADE.ID)

Artikel RUU HIP Bikin Anak Bangsa Bertengkar pertama kali tampil pada Parade.id.

]]>
https://parade.id/ruu-hip-bikin-anak-bangsa-bertengkar/feed/ 0