Site icon Parade.id

UAS Dideportasi Imigrasi Singapura, Fahri Hamzah Singgung Islamofobia dan Ketetapan PBB

Dok: cb.uk

Jakarta (PARADE.ID)- Baru-baru ini, Ustaz Abdul Somad (UAS), pendakwah kondang Indonesia dideportasi imigrasi Singapura. UAS juga sempat “ditahan” oleh imigrasi setempat.

Waketum partai Gelora, Fahri Hamzah yang menyoroti hal itu pun menyinggung islamofobia dan ketetapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Ada persoalan lain yang nampak dari kasus UAS ini, yaitu berkembangnya Islamophobia tidak saja di beberapa negara tetangga tetapi juga termasuk di dalam negeri. Islamophobia dan berbagai macam kebencian kepada sesama adalah penyakit ummat manusia kita hari ini,” ungkap Fahri, Rabu (18/5/2022).

Jika benar Singapura terjangkit apa yang disinggung oleh Fahri, maka negara itu sama saja seperti menganulir ketetapan PBB tanggal 15 Maret sebagai hari Internasional melawan Islamophobia. Dimana PBB telah mulai melancarkan kampanye global untuk melawan penyakit sosial ini.

“Kasus UAS ini dapat menjadi pelajaran awal di kawasan ASEAN. Paling tidak di dlm negeri sendiri,” tertulis demikian di akun Twitter-nya.

Di alam demokrasi ini, melintas negara menurut Fahri adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Statuta ASEAN juga mengatur itu.

Makanya, kata dia, tidak perlu visa. Negara pun tidak perlu menjelaskan kenapa seseorang diterima, karena itu hak. Namun negara wajib menjelaskan kenapa seseorang ditolak (bagi yang setuju prinsip demokrasi dan HAM).

“Waktu UU imigrasi No. 6 Tahun 2011, Indonesia telah menerapkan seluruh konvensi dan aturan internasional yang menjunjung tinggi HAM dlm keimigrasian. Bahkan di beberapa pintu imigrasi memakai teknologi yg tidak perlu lagi ada pertemuan petugas dengan melintas batas.”

Dalam prinsip keimigrasian modern, lanjut dia, tugas penjaga perbatasan imigrasi hanya memastikan kelengkapan dokumen. Dia tidak memeriksa ceramah atah pandangan politik orang apalagi yang disampaikan di majelis-majelis keilmuan.

“Makanya perbatasan cukup pakai cap jari atau pengenal wajah.”

Sedangkan dalam konsep keimigrasian kuno, pelintas batas sangat bergantung kepada penerimaan politik negara tujuan yang sangat subjektif dan tidak bisa menerapkan prinsip-prinsip umum tentang HAM, tentang perjalanan dari satu titik ke titik lain.

“Itulah sebabnya kelengkapan administrasi bukan segalanya,” pungkas mantan Wakil Ketua DPR RI itu.

(Rob/PARADE.ID)

Exit mobile version