Site icon Parade.id

UU Ciptaker Banyak Versi? Pemerintah Pakai yang Mana?

Foto: politisi Demokrat, Jansen Sitindaon, dok. suara.com

Jakarta (PARADE.ID)- Terkait UU Ciptaker yang dianggap banyak versi, terutama jumlah halamannya, menurut politisi Demokrat, Jansen Sitindaon harusnya tidak langsung memberikan label hoax dari pemerintah, apalagi itu dijadikan alasan masyarakat turun aksi kemarin.

“Versi 905 halaman saya terima 6 hari lalu. 1028 hal 2 hari lalu. Kalau pak @jokowi @airlangga_hrt dll pakai versi mana? Atau ada yg lain lagi? Jd menyatakan ini yg benar itu HOAX pakai yg mana?” kata Jansen, Ahad (11/10/2020), di akun Twitter-nya.

“Saya kasih contoh opini @kompascom Sabtu kemarin pakai 905 hal. Salah tidak ini pak?” sambungnya.

Menurut dia, harusnya pemerintah dan lainnya tidak mudah menuduh orang lain atau masyarakat hoax atas apa yang diketahuinya soal UU tersebut.

“Inilah akibat pengesahan UU yg cacat prosedur. Sudah diputuskan tapi anggota DPR yg ngesahkanpun tdk memegang apa yg dia sahkan. Pdhl hasil paripurna inilah pegangan bagi kita semua TIDAK TERKECUALI PEMERINTAH.”

Menurut Jansen, sebagaimana ia memandang, sejak awal Ciptaker telah cacat prosedur. Sebabnya, yang ia pahami pengesahan dan pembentukan UU itu ada due proces of law, dan itu harus dipenuhi.

“Mari para ahli hukum legislasi yg lain bahas soal ini. Silahkan beri pandangan. Sehat selalu utk kita semua.”

Sebelumnya, ia mengaku telah merespon pernyataan beberapa anggota DPR RI. Mulai dari ketika paripurna naskah RUU-nya yang tidak ada, sampai sekarang yang final-masih dirapikan dan lain-lain, UU ini nyatanya telah cacat prosedur.

“Krn anggota DPR yg mengesahkan saja tidak tahu apa yg dia sahkan & putuskan. Harusnya PARIPURNA ULANG.”

Sesuai UU 12/2011, kata dia, DPR punya waktu paling lama 7 hari menyerahkan UU yangg telah disetujui ke Presiden. Tapi rentang waktu 7 hari ini ia pahami bukan untuk “utak-atik” ulang isinya, karena isinya sudah disahkan di Paripurna.

“Pertanyaannya isi mana yg jd pegangan jika diparipurna tdk dibagi?”

“Apakah paripurna ulang bisa dilakukan? Mari kita tanya lembaga @DPR_RI. Jikapun tidak bisa, ini perbandingan saja: sejak dulu Jaksa tak bisa ajukan PK (263 ayat 1 KUHAP).”

Tapi dalam praktik atas nama tafsir mewakili kepentingan umum, korban dan lain-lain mereka ajukan dan ada yang diterima MA. Tetapi, jika paripurna ulang tidak dimungkinkan.

“Ini diskusi hukum. Mari ahli hukum pakar legislasi lain berpendapat. Pandangan saya tidak ada keadilan substantif dapat diraih tanpa hukum formil — proses pengambilan keputusan — yg benar.”

Ia berharap semoga proses ini jadi catatan Mahkamah Konstitusi (MK).

(Robi/PARADE.ID)

Exit mobile version