Jakarta (parade.id)- Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) melontarkan kritik tajam terhadap dinamika internal Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang dinilai telah melenceng jauh dari idealisme gerakan mahasiswa. Dalam pernyataan resminya, Ketua BEM KM UGM, Tiyo Ardianto, menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki ambisi untuk menduduki posisi strategis di tubuh BEM SI dan hanya ingin menjadi bagian yang konsisten menegakkan nilai pergerakan mahasiswa, bukan meniti jabatan.
Menurut Tiyo, kehadiran BEM KM UGM di forum BEM SI melalui dirinya, Wakil Ketua Bidang Analisis Sheron Adam Funay, dan Koordinator Pergerakan Fedora Rifqi Ramadhan, dilandasi semangat untuk merumuskan arah perjuangan mahasiswa bersama rakyat. Namun, kenyataan di lapangan justru sangat paradoks: forum yang seharusnya menjadi ruang strategis untuk perjuangan kini berubah menjadi arena konflik internal tanpa substansi serta alat pencitraan elite kekuasaan.
“Forum tersebut menjadi ruang konfliktual nir-substantif dan tempat penguasa memoles muka. Mahasiswa yang seharusnya satu visi justru terpecah hanya karena sesuatu yang diperebutkan—entah apa,” tulis Tiyo dalam keterangan persnya, dikutip Selasa.
BEM KM UGM juga secara terbuka mempertanyakan independensi gerakan mahasiswa ketika forum-forum BEM SI justru dihadiri oleh deretan pejabat negara dan simbol kekuasaan, seperti Ketua Umum Partai Perindo, Menteri Pemuda dan Olahraga, Wakil Gubernur Sumatra Barat, Kapolda, serta Kepala BIN Daerah Sumatra Barat. Tiyo menuding kehadiran mereka sebagai bentuk intervensi dan upaya “memoles muka penguasa” lewat kebersamaan dengan mahasiswa, seperti yang dipamerkan di media sosial masing-masing pejabat tersebut.
“BEM harusnya berjarak dengan penguasa demi menjaga independensi. Kenyataannya, BEM SI tidak memberi teladan dan malah membangun kemesraan yang mencurigakan,” tegasnya. Salah satu bukti yang diungkap adalah kemunculan karangan bunga dari Kepala BIN Daerah Sumatra Barat, yang sempat disembunyikan lalu dimunculkan saat para elit hadir di acara pembukaan.
“Sebenarnya, kemesraan apa yang terjalin antara BEM SI dan BIN sehingga karangan bunga itu begitu tersembunyi tetapi akhirnya dipamerkan?” sindir Tiyo.
Kondisi internal yang semakin keruh dan minim transparansi pun mencapai puncaknya pada Jumat, 18 Juli 2025. Insiden kekerasan terjadi menjelang fajar; dua mahasiswa terluka—satu mengalami patah tulang, satu lagi lebam dan berdarah. Trauma psikis menghantui peserta lain. “Kami prihatin dan menyesalkan. Tidak ada jabatan yang seharga kesatuan dan martabat mahasiswa. Aset berharga gerakan adalah kesatuan kita, bukan kursi struktural!” tandasnya.
Tiyo juga memberi isyarat bahwa apa yang terjadi di balik layar jauh lebih besar dari yang tampak, namun demi menjaga kemurnian gerakan mahasiswa, data dan penjelasan lebih lanjut masih disimpan. Ia berpesan, jika semua hal dibuka, bukan tidak mungkin banyak kampus akan menarik diri dari gerakan BEM SI.
Menutup pernyataannya, Tiyo menegaskan BEM KM UGM akan tetap memegang teguh nilai dan marwah gerakan mahasiswa. “Kami memilih jalan sunyi tapi bercahaya: setia bersama rakyat Indonesia,” pungkasnya dalam rilis yang dirilis pada 20 Juli 2025.
Sikap kritis BEM KM UGM ini menjadi alarm keras bagi seluruh gerakan mahasiswa di Indonesia agar selalu waspada terhadap potensi kooptasi, infiltrasi kekuasaan, dan konflik tanpa substansi yang justru merusak sendi-sendi perjuangan dan solidaritas mahasiswa.***