Jakarta (parade.id)– Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto untuk kelima kalinya mendapat tentangan keras dari gabungan organisasi masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM berat yang bernama Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS). Dalam konferensi pers yang digelar KontraS, Senin (3/11/2025), mereka menilai pengusulan ini bukan sekadar langkah keliru, melainkan sebuah “impunitas sempurna” dan “pengkhianatan terbesar” terhadap mandat Reformasi 1998.
Suara Korban yang Diabaikan
Konferensi pers ini menghadirkan langsung suara-suara yang selama ini kerap disingkirkan dalam narasi resmi sejarah. Uchikowati, korban peristiwa 1965, dengan bergetar menceritakan bagaimana di usia 13 tahun ia harus kehilangan orang tuanya.
“Stigma dan trauma itu masih ada hingga saat ini. Anak-anak dari keluarga 1965 tidak bisa menjadi pegawai negeri, guru, atau wartawan. Negara tidak pernah memberikan pemulihan, tidak pernah memberikan konseling kepada para korban,” ujarnya.
Ia menegaskan, kekerasan dengan pola yang sama terus berulang dari peristiwa 1965 hingga Tanjung Priok dan Aceh.
Saiful, korban peristiwa Tanjung Priok 1984, menyatakan penolakan kerasnya. “Kami sebagai korban merasakan bagaimana pahitnya penderitaan. Alih-alih menyelesaikan pelanggaran HAM, pemerintah malah mengusulkan pelakunya jadi pahlawan. Ini adalah pengkhianatan,” tegasnya.
Dosa-Dosa yang Tak Terselesaikan: Dari 1965 hingga Timor Leste
Narasumber dari berbagai organisasi memaparkan rentetan dosa Orde Baru yang mereka nilai tidak bisa ditebus hanya dengan dalih “jasa pembangunan”.
Kania Mamonto dari AJAR Indonesia menyoroti dampak kekejaman rezim Soeharto di tingkat regional. “Di Timor Leste, Soeharto membunuh presiden mereka, mengambil ribuan stolen children, dan menjadikan perkosaan sebagai strategi penundukan. Di Aceh, sumber daya alamnya dikeruk untuk elit Jakarta. Memberi gelar pahlawan berarti menjadikan impunitas sebagai budaya kita,” paparnya.
Bedjo Untung, korban 1965 dari YPKP 65, menyodorkan bukti-bukti fisik. “Kami telah menemukan 360 titik kuburan massal. Proses Soeharto menjadi presiden adalah proses yang berlumuran darah 500 ribu hingga 3 juta jiwa. Dia bukan pahlawan, tapi pengkhianat nasional dan jagal rakyat Indonesia,” tandasnya.
Proses Cacat dan Politik Balas Budi Elit
Para penolak juga mengkritik keras proses pengusulan yang dinilai tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik. Andri Yunus dari KontraS menyebutkan petisi penolakan online telah ditandatangani lebih dari 12.000 orang. “Prosesnya tidak transparan. Negara mengesampingkan aspirasi korban,” ujarnya.
Haeril Halim dari Amnesty International Indonesia melihat ini sebagai bagian dari “ekosistem impunitas sempurna”. “Dewan Gelar diisi oleh orang-orang dekat keluarga Soeharto dan Presiden Prabowo. Ini adalah upaya sistematis untuk membersihkan dosa-dosa masa lalu sekaligus mengakhiri Reformasi 1998,” tegasnya.
Ardi Manto Putra dari IMPARSIAL menambahkan bahwa pemberian gelar ini adalah bentuk “politik balas budi” elit. Dia melihat kesamaan pola pemerintahan militeristik Orde Baru dengan pemerintahan saat ini, di mana TNI kembali terlibat dalam urusan-urusan sipil.
“Ini adalah legitimasi terhadap rezim militeris dan kekerasan,” ujarnya.
Merisa dari Setara Institute menyoroti pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR tentang KKN sebulan sebelum pelantikan Prabowo. “Ini langkah sistematis. Soeharto adalah wujud militerisme yang masih bergentayangan. Jika ini diteruskan, ini bukan hanya pengkhianatan, tapi kejahatan berdarah akan terjadi lagi,” pungkasnya.
Kesimpulan: Pahlawan atau Simbol Impunitas?
Konferensi pers ini dengan jelas menyampaikan pesan: pengusulan gelar pahlawan untuk Soeharto bukan sekadar perdebatan historis, melainkan pertaruhan masa depan demokrasi dan HAM di Indonesia. Bagi korban dan pegiat HAM, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan sama dengan mengukuhkan bahwa kekuasaan dapat menghapus kejahatan masa lalu, mengubur keadilan bagi korban, dan mengkhianati semangat reformasi yang dibayar dengan nyawa.
Keputusan akhir pemerintah akan menjadi penanda, apakah Indonesia memilih jalan rekonsiliasi berbasis kebenaran dan keadilan, atau justru melanggengkan budaya impunitas.*







