Jakarta (parade.id)- Ratusan petani singkong yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) bersama sejumlah elemen mahasiswa dan aktivis agraria menggelar demonstrasi di Jakarta, Rabu (24/9/2025), bertepatan dengan Hari Tani Nasional (HTN). Aksi ini menjadi puncak kekecewaan para petani atas apa yang mereka sebut sebagai “pemerintahan yang tidak berpihak” setelah 10 bulan terus mengalami kerugian akibat harga komoditas yang anjlok dan praktik monopoli.
Dalam orasinya, Ketua DPD PPUKI Lampung, Dasrul, menyampaikan lima tuntutan utama. “Kami sampaikan tuntutan kita. Regulasi tatanan ubi kayu harus direalisasikan, praktik ‘stop tapioka’ dihentikan, HET ubi kayu ditetapkan Rp1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 15 persen, dan tuntaskan pungutan liar (pungli) di pabrik,” tegas Dasrul dalam orasinya.
Selain itu, PPUKI juga menuntut agar ubi kayu dimasukkan sebagai komoditas strategis nasional, sejajar dengan sektor pangan dan energi terbarukan. Ia berharap tuntutan ini dapat disampaikan secara damai kepada kementerian terkait, termasuk Menko Perekonomian.
Petani Merasa ‘Dirampok’ oleh Industri dan Pemerintah
Kekecewaan mendalam diungkapkan oleh Kadek, seorang petani yang juga dari Lampung, merasa telah “dirampok” oleh industri selama 10 bulan terakhir. Ia mengibaratkan, setiap kali menjual dua singkong, satu singkongnya “diambil” oleh pihak industri.
“Kami pertanyakan apa yang dilakukan pemerintah. Pemerintah belum berpihak pada petani. Kami menuntut Prabowo melakukan audiensi untuk menentukan peraturan menteri HET singkong yang diterapkan di pabrik-pabrik,” kata Kadek.
Ia juga memperingatkan pemerintah agar tidak memancing kemarahan petani. “Jangan paksa kami untuk marah. Rezim ini tidak menyejahterakan petani. Kami menuntut payung hukum untuk kami bawa pulang hari ini,” tambahnya.
Mahasiswa dan Aktivis Berkolaborasi, Minta Menteri Dicopot
Senada dengan petani, mahasiswa dari DPD IMM Lampung, Jefri Ramdani, menegaskan bahwa suara petani yang terabaikan selama 10 bulan terakhir harus segera didengarkan. “Kami di sini hadir karena ingin pemerintah memutuskan tuntutan kami. Saat kami ke Kementan menuntut HET, tidak direalisasikan,” ucapnya. Jefri juga menyoroti praktik monopoli singkong yang merugikan di Lampung.
Seorang orator bahkan secara lantang meminta Presiden untuk mencopot Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto jika tidak mampu mengatasi masalah ini. Menurutnya, kebijakan yang ada justru menyengsarakan petani.
Sekretaris LMID, Zulfikar, dan Kabid Hukum LMND, Wempi, menambahkan bahwa situasi ini mencederai janji Asta Cita pemerintahan dan memperlihatkan ketidakberdayaan pemerintah di hadapan perusahaan. “Pergub Lampung yang menetapkan harga Rp1.500 tidak dijalankan, ini yang membuat kami marah,” tegas Wempi.
Konflik Agraria dan ‘Indonesia Cemas’
Aksi ini juga menjadi momentum bagi aktivis agraria untuk menyuarakan masalah yang lebih luas. M Ridwan, petani pemuda dari Riau, menyoroti konflik agraria yang tidak pernah terselesaikan dan petani yang dipaksa berhadapan dengan pengadilan, di mana potensi korupsi dan kolusi sangat besar.
“Presiden, jangan sampai negara kalah dengan aturan yang sudah dibuat tetapi tidak dikerjakan untuk kami,” seru seorang orator.
Puncak dari kekecewaan ini dirangkum oleh seorang petani dari Tulang Bawang yang mengatakan, “Indonesia saat ini bukan menuju Indonesia Emas tetapi Indonesia Cemas.”
Pernyataan ini diperkuat oleh Syaiful Wathoni dari PP AGRA yang menyebut bahwa 65 tahun setelah terbitnya UU Pokok Agraria, hidup petani justru terasa seperti dijajah. “Taipan diberi karpet, kita malah seperti hidup dalam hina dan dianggap tamu di negeri sendiri. Kita harus bersatu padu, kuatkan barisan kita, menyatakan mereka adalah musuh—untuk mewujudkan reforma agraria sejati.”
Selain elemen di atas, ada pula elemen tani lain, yakni Serikat Petani Indonesia (SPI). Keduanya, di tengah aksi, diterima perwakilan pemerintah atau pihak istana. Pun keduanya, mengaku dalam aspirasinya diakomodir oleh pemerintahan Prabowo, meski belum kapan terealisasi.*