Jakarta (parade.id)- Indonesia di ambang kehilangan kedaulatan dalam kebijakan kesehatan nasional jika tidak segera menolak amandemen International Health Regulations (IHR) yang akan ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada hari ini, Jumat, 19 Juli 2025. Peringatan keras ini disampaikan oleh Dr. dr. Siti Fadilah Supari SPJP(K) dan Purn. Komjen Dharma Pongrekun dalam sebuah konferensi pers, menyerukan pemerintah untuk segera bertindak sebelum otomatis terikat pada aturan yang dinilai sangat merugikan.
Menurut Siti Fadilah Supari dan Dharma Pongrekun, amandemen IHR ini memuat sejumlah pasal yang berpotensi melanggar kedaulatan bangsa dan negara, dengan memberikan kewenangan penuh kepada Direktur Jenderal WHO untuk menyatakan status darurat pandemi, bahkan tanpa persetujuan presiden suatu negara. “Jika disetujui, artinya Presiden sekalipun tidak dapat lagi melindungi rakyatnya sendiri,” tegas mereka, menyoroti ancaman terhadap hak negara untuk menentukan kebijakan kesehatan lewat keterangan persnya kepada media.
Beberapa poin krusial yang menjadi sorotan utama penolakan meliputi:
- Hilangnya Kedaulatan Nasional: Amandemen IHR, khususnya Pasal 1, 12, dan 49, memberikan kekuasaan kepada Dirjen WHO untuk mendeklarasikan darurat pandemi, yang berpotensi mengesampingkan keputusan kepala negara. Ini dapat berarti Indonesia harus tunduk pada WHO Treaty dan Pandemic Agreement, yang bisa merugikan kepentingan nasional.
- Redefinisi Pandemi yang Berbahaya: Perubahan definisi pandemi menjadi setara dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan epidemi, ditambah dengan masuknya pengobatan gen dan sel dalam produk kesehatan relevan (Pasal 1), dinilai membuka celah bagi WHO untuk menciptakan “darurat artifisial” dan berpotensi disalahgunakan untuk mengklaim bioterrorisme.
- Beban Finansial Tak Terbatas: Pasal 44 amandemen IHR disebut akan membebankan pendanaan penanganan pandemi tanpa batas kepada negara anggota, termasuk yang sedang kesulitan ekonomi. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan negara terjerat utang global, kemiskinan, bahkan kebangkrutan.
- Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Pasal 44bis dinilai tidak memberikan kejelasan mengenai pengelolaan dana, audit, dan perlindungan konflik kepentingan. WHO juga tidak diwajibkan mempertanggungjawabkan hasilnya, sehingga negara yang bangkrut akibat pandemi tidak bisa menyalahkan WHO.
- Cacat Hukum dan Pelanggaran HAM: Versi final amandemen disebut tidak diserahkan WHO minimal empat bulan sebelum pemungutan suara (Pasal 55(2)). Selain itu, aturan mengenai karantina paksa orang sehat (Pasal 27) dan kewajiban vaksinasi bagi pelancong internasional tanpa mempertimbangkan kondisi individu (Pasal 31.2) dianggap melanggar hak asasi manusia dan kebebasan pribadi yang dijamin konstitusi.
- Intervensi Hukum Nasional: Pasal 4 mewajibkan negara membuat undang-undang nasional sesuai kemauan WHO, bukan berdasarkan kepentingan rakyat. Hal ini terlihat pada Omnibuslaw Kesehatan Pasal 446 di Indonesia.
- Monopoli Produk Kesehatan: Pasal 15, 16, 17, dan 18 IHR mewajibkan pre-kualifikasi dan Emergency Use Authorization (EUA) pada semua produk kesehatan, yang berpotensi menimbulkan monopoli dan membatasi perjalanan internasional jika menolak vaksin tertentu.
Siti Fadilah Supari dan Dharma Pongrekun menegaskan bahwa penolakan resmi dari pemerintah Indonesia harus dilakukan sebelum batas waktu hari ini, 19 Juli 2025. Jika tidak ada penolakan, amandemen akan secara otomatis berlaku efektif di Indonesia. Mereka mendesak seluruh elemen masyarakat untuk segera menginformasikan hal ini kepada Presiden agar dapat segera mengambil langkah sebelum terlambat, mencegah potensi penekanan bahkan “penghukuman” dari pihak asing dan WHO yang pada akhirnya merugikan rakyat.***