Jakarta (parade.id)- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal mendapat dukungan dari sejumlah pakar hukum tata negara. Mereka menilai keputusan ini merupakan langkah rasional untuk memperbaiki sistem pemilu Indonesia yang selama ini bermasalah.
Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara, menyatakan bahwa MK telah melakukan evaluasi mendalam terhadap pelaksanaan Pemilu 2024. “Problem di Pemilu sangat banyak, mulai dari hulu hingga hilir. MK melihat kerumitan luar biasa dalam Pemilu 2024, mulai dari persiapan penyelenggara hingga partai politik dalam menyiapkan kader,” ungkap Zainal dalam satu kesempatan acara yang diadakan Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Ahad.
Menurutnya, kerumitan juga terjadi pada pemilih yang kesulitan memilih karena dihadapkan pada banyak calon. “Isu lokal menjadi mati hingga terjadi kejenuhan pemilu. Ini yang menjadi pertimbangan MK,” jelasnya.
MK sebenarnya sudah memberikan tawaran sejak 2019 melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 dengan 6 opsi model keserentakan pemilu. Namun, implementasi pada Pemilu 2024 menunjukkan berbagai kelemahan yang memerlukan perbaikan fundamental.
Feri Amsari, pakar hukum konstitusi, menekankan bahwa putusan MK memiliki dasar yang kuat. “Mahkamah secara eksplisit merujuk pada dua putusan sebelumnya sebagai fondasi. MK memberikan ruang bagi DPR untuk memperbaiki model sistem keserentakan, tetapi faktanya tidak dilakukan,” katanya di kesempatan yang sama.
Alasan pemisahan pemilu nasional dan lokal, menurut Feri, sangat jelas. Pertama, untuk kemaslahatan penyelenggara pemilu yang selama ini mengalami kelelahan luar biasa. Kedua, demi peserta pemilu khususnya partai politik yang memerlukan ruang lebih sehat untuk membangun kedekatan di level lokal. Ketiga, dari sisi pemilih agar fokus tidak teralihkan hanya pada isu nasional.
Violla Reininda, peneliti pemilu, menyoroti aspek kemanusiaan yang sering terabaikan. “Di Pemilu 2024, tercatat 181 penyelenggara di tingkat teknis meninggal dunia. Di Pilkada tahun yang sama, 28 petugas juga berpulang. Ini adalah tragedi dalam demokrasi kita,” ungkapnya.
Menurutnya, keputusan MK menjawab keluhan banyak pihak terkait tumpang tindih antara Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. “Kualitas Pilkada 2024 tercatat sebagai yang paling banyak disengketakan dalam sejarah. MK bahkan mengeluarkan 24 putusan yang memerintahkan pemungutan suara ulang di berbagai daerah,” jelasnya.
Bivitri Susanti, ahli hukum konstitusi, membantah kritik terhadap MK yang dianggap melampaui kewenangan. “Perdebatan soal positive legislator versus negative legislator sebenarnya sudah usang. MK di berbagai negara, termasuk Indonesia, berkembang sangat jauh dari konsep awal,” katanya.
Bivitri menekankan bahwa MK hanya merespons permohonan dan bekerja berdasarkan pasal yang diuji. “Ini yang disebut Judicial Activism atau Responsive Judicial Review. Bukan hal aneh dalam konteks perkembangan hukum konstitusional modern,” jelasnya.
Putusan MK ini menuai kritik keras dari DPR, terutama dari Partai NasDem yang menyerukan DPR untuk bersuara keras menentang keputusan tersebut. Namun, para pakar menilai kritik ini tidak tepat sasaran.
“Sangat disayangkan ketika argumen tandingan terhadap putusan MK justru dibangun oleh figur-figur yang bermasalah secara etik atau hukum,” kata Feri Amsari.
Bivitri Susanti menduga ada motif tersembunyi di balik reaksi keras DPR. “Hipotesis kami, ada agenda pemilihan gubernur oleh DPRD yang ingin dikembalikan oleh Presiden Prabowo. Mayoritas DPR hari ini adalah koalisi pendukung pemerintah, maka wajar jika mereka merasa terancam dengan putusan ini,” ungkapnya.
Para pakar menekankan bahwa putusan MK ini merupakan langkah menuju perbaikan sistem pemilu yang lebih rasional dan adil.
Zainal Arifin Mochtar menegaskan bahwa MK ingin mengembalikan demokrasi ke jalurnya dalam konteks keserentakan pemilu yang lebih rasional.
“Jangan berharap MK menjawab semua masalah termasuk persoalan money politics. Tetapi setidaknya, putusan ini memberikan fondasi untuk sistem pemilu yang lebih baik,” pungkasnya.
Putusan MK ini diharapkan dapat menjadi pijakan bagi DPR, DPD, dan Presiden untuk menyelaraskan sistem kepemiluan secara lebih baik, demi kualitas demokrasi Indonesia yang lebih berkualitas di masa depan.***