Jakarta (PARADE.ID)- Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menyikapi pembubaran Front Pembela Islam (FPI) oleh pemerintah beberapa waktu lalu yang disampaikan oleh Menkopolhukam, Mahfud MD dan pejabat lainnya. Ada beberapa poin sikap BEM UI soal itu.
Pertama, mendesak kepada negara untuk mencabut SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI dan Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan
FPI.
Kedua, BEMI UI mengecam segala tindakan pembubaran organisasi kemasyarakatan oleh negara tanpa proses peradilan sebagaimana termuat dalam UU Ormas.
“Mengecam pemberangusan demokrasi dan upaya pencederaian hak asasi manusia sebagai
bagian dari prinsip-prinsip negara hukum,” demikian keterangan persnya, Senin (4/1/2021).
BEM UI juga mendesak kepada negara, dalam hal ini pemerintah, tidak melakukan cara-cara represif dan sewenang-wenang di masa mendatang. Dan serta mendorong masyarakat untuk turut serta dalam mengawal pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum, terutama perlindungan hak asasi manusia dan jaminan demokrasi oleh negara.
“Kendati demikian, prosedur dan landasan atas keputusan dilarangnya organisasi kemasyarakatan tersebut tidak merefleksikan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945.”
Pun BEM UI menilai tidak selarasnya muatan SKB tersebut dapat ditinjau dengan penggunaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU Ormas”) yang menghapuskan mekanisme peradilan dalam proses pembubaran organisasi kemasyarakatan.
Dalam prinsipnya, demokrasi merupakan salah satu dari 12 (dua belas) prinsip negara hukum sebagaimana diuraikan oleh Prof Jimly Asshidiqie. Jimly ketika itu disebutkan telah memaparkan bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Pasalnya, hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, tetapi menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa terkecuali.
“Dengan demikian, negara hukum yang dikembangkan adalah negara hukum yang demokratis.”
Namun hal ini menjadi ironi ketika SKB yang diterbitkan guna melarang kegiatan Front Pembela Islam juga memuat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) dalam konsideran Mengingat. Padahal, dalam Pasal 3 Ayat (2) UU HAM diuraikan bahwa,
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum yang sama di depan hukum.”
Poin tersebut menurut BEM UI menjadi wujud dari pertentangan ketika dibersamai dengan UU Ormas yang dapat membubarkan organisasi kemasyarakatan melalui Menteri Hukum dan HAM, tanpa putusan pengadilan.
Dengan demikian, negara dapat secara sewenang-wenang membubarkan organisasi kemasyarakatan tanpa pengawasan atau proses pengadilan sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dari prosedur pelarangan dan pembubaran Front Pembela Islam melalui SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) juga telah mengeluarkan aturan teknis implementasi kebijakan terkait SKB tersebut dalam bentuk Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI. Dan menurut BEM UI aturan ini jauh lebih problematis karena dalam poin 2d normanya berisi tentang larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial.
Padahal, mengakses konten internet adalah bagian dari hak atas informasi yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 14 UU HAM. Aturan Maklumat Kapolri a quo tentu saja akan dijadikan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan represif dan pembungkaman, khususnya dalam ranah elektronik.
(Rgs/PARADE.ID)