Jakarta (PARADE.ID)- Kritik itu bagian dari pengingat, sekaligus vitamin bagi siapa saja, termasuk pemerintah. Asal kritik itu disampaikan dengan bijak, maka ia rasanya perlu menjadi perhatian oleh kita, terlebih oleh pemerintah.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yang juga merupakan Anggota DPD, Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa kritik itu sah-sah saja. Tapi jangan selalu menyengaja mau mengkritik.
Untuk kritik, sampaikanlah ide. Sampaikanlah pesan-pesan. Penilaian kepada kebijakan yang pemerintah buat.
“Misalnya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah, ya, itu namanya orang yang mengkritik. Jadi tidak perlu meniatkan untuk mengkritik. Sampaikan saja yang benar,” dalam perbincangan dengan Ketua MUI KH Cholil Nafis, di kanal YouTube TVMUI, belum lama ini.
Kritik itu, kata dia, bukan niat untuk menjatuhkan, apalagi mengkritik itu sampai ngorek-ngorek keluarganya. Itu bukan mengkritik namanya.
Kritik Lewat Mural
Bagi Prof Jimly, kritik (lewat) mural itu ekspresi seni. Di ruang publik. Di ruang umum. Namun demikian, katanya, perlu ada aturan untuk itu. Dimana diperlukannya petugas. Tetapi petugas itu melakukan tindakan harus memakai cara yang baik dalam menindak.
“Soal pandemi ini menyangkut nasib semu kita. Sebaiknya, politik adu domba, politik permusuhan, dikurangi dulu. Fokus dulu mengenai Covid ini. Pasti juga (penanganan) Covid ini tidak sempurna juga,” katanya.
“Bagaimanapun manajemen pemerintah ini banyak kekurangannya. Kita pun kalau yang menempati posisi Pak Luhut, misalnya, pasti banyak juga kekurangannya,” sambungnya.
Jadi, kata dia, ini memang masalah yang dihadapi semua negara. Ekonomi semua negara itu turun semua. Hanya saja kalau ditambah dengan permusahan lagi, makin kacau kita. Menurut dia, keselamatan sebagai hukum tertinggi harus tetap didahulukan.
“Tapi sementara itu kalau pemerintah juga tidak mau terima kritik, ya, repot juga. Mural di sana dihapus. Bisa jadi makin banyak mural di mana-mana, karena politik ini sudah campur aduk. Ditambah masih tiga tahun lagi orang bicarakan Capres,” penglihatannya.
Ia rasa saat ini semua pejabat, presiden harus saling merangkul. Saling merukunkan. Bukan malah memberikan pembenaran permusuhan.
“Jadi, suara-suara dari istana kayak Ngabalin agak turunkan tensi. Tidak baik makin memperparah komunikasi publik. Belum lagi Moeldoko mau merebut partai orang. Ini kan orang jadi mengasosiasikan ke istana semua. Jadi tidak sehat,” sesalnya.
Menurut Prof Jimly, perlu adanya rekonstruksi dari sistem komunikasi, karena salah satu fungsi kepemimpinan itu komunikator. Komunikasinya harus efektif. Selain fungsi keteladanan, sistem building dan kemudian komunikasi, karena pemimpin itu adalah guru.
Pemimpin itu digugu dan ditiru. Jadi tidak bisa tidak dia itu harus menjadi pemimpin yang baik. Sama, guru yang baik itu pemimpin yang baik juga. Jangan mengajarkan sesuatu karena hasil survei. Tidak bisa. Ajarkan yang baik itu dengan cara yang baik seperti pemimpin.
“Maka Konghucu mengatakan, ‘Kalau kamu berpergian bertiga, satu angkat jadi guru.’ Nabi Muhammad bersabda, mirip dengan itu. ‘Apabila kamu berpergian bertiga, angkat satu jadi pemimpin’. Sebab menurut saya itu pemimpin itu, ya, guru. Guru itu, ya, memimpin,” tegasnya.
Hal itu pun bisa dimulai dari Presiden Jokowi. Lanjut ke kiai Ma’ruf Amin, yang diikuti semua menteri: bertindaklah sebagai guru untuk rakyatnya.
(Sur/PARADE.ID)