Jakarta (PARADE.ID)- Staf Khusus Kementerian Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Prastowo Yustinus mengatakan bahwa pajak bukanlah urusan privat. Menurutnya karena sejak awal UU Perpajakan masuk ranah hukum administrasi publik, bahkan memiliki konsekuensi pidana.
Berikut penjelasan detil Prastowo, Sabtu (2/4/2022), melalui akun Twitter-nya, @prastow:
Semangat Sabtu. Mumpung agak longgar sy akan bahas mengenai hubungan pajak dengan sumbangan/bantuan. Ini edukasi UU agar tak keliru dan ada konsekuensi pajak dan hukum. Banyak pula yg keliru memahami, menganggap pajak itu urusan privat. Pajak itu urusan publik. Saya bahas #utas
Apakah pajak itu urusan privat? Bukan. Sejak awal UU Perpajakan masuk ranah hukum administrasi publik, bahkan memiliki konsekuensi pidana. Sifat pajak itu memaksa, bukan sukarela. Utk hindari kesewenangan, pajak harus dipungut dg UU (Pasal 23A UUD 1945). Tipis beda pajak/palak
Tapi UU Pajak jg menghormati kerahasiaan data pribadi. Pasal 34 UU KUP mengatur ‘confidentiality disclosure’, yg menjamin data/informasi yg disampaikan dilindungi UU kecuali utk kepentingan tertentu, seperti pemeriksaan, penyelidikan, atau penyidikan. Jadi proporsional.
Ada yg bilang, jangan ngurusin pajak oranglah, urusin diri sendiri. Keliru. Pasal 35A UU KUP bahkan mengatur, instansi/lembaga/asosiasi/pihak lain wajib memberikan data/informasi yg berkaitan dg perpajakan kepada Dirjen Pajak. Kok ada pasal ini sih? kejam bener ya? Begini
Kita menganut self assessment (swa-lapor). Wajib Pajak, sejak 1984, diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Kantor Pajak merem saja terima laporan. Lha kalau laporannya nggak bener bagaimana dong? hak rakyat kurang?
Ditjen Pajak diberi kewenangan melakukan pemeriksaan utk menguji kepatuhan. Tentu ada aturan dan tata cara, tdk sembarangan. Maka data/informasi yg diterima td menjadi sumber akurat utk profiling dan tindak lanjut. Semua didasarkan pada bukti yg diuji dg UU dan teknik audit.
Cukup jelas ya. Jadi tak ada urusan dg benci atau tak suka. Kita justru harus terus berkampanye soal pajak agar semakin banyak orang sadar, peduli, dan patuh pajak. Hal yg paling sering ditemui di lapangan adalah anggapan bantuan/sumbangan itu bukan objek pajak. Saya bahas ya
UU Pajak Penghasilan (PPh) tak mengatur jenis2 penghasilan sbg objek pajak, tetapi kriteria/ukuran dan contoh. Pajak tdk peduli dg asal usul/sumber penghasilan, yg penting ukurannya jelas: bisa dipakai buat konsumsi atau menambah kekayaan. Silakan dibuat contoh sendiri.
Lalu bagaimana dg bantuan/sumbangan? Concern saya, kita identifikasi agar jgn sampai ini sebenarnya objek tp dianggap bantuan/sumbangan yg bukan objek. Sy ambil contoh jasa ceramah/pelayanan keagamaan. Ini trmsk penghasilan atau bukan ya? Mari kita uji dg UU PPh sehingga jelas
Rumusnya begini: sepanjang tidak dikecualikan berarti objek pajak. Maka kita cek Ps 4 ayat 3 UU PPh, apakah dikecualikan? Penghasilan ceramah/jasa keagamaan tdk dikecualikan, artinya objek pajak. Namun bantuan/sumbangan dikecualikan, bukan objek pajak.
Dengan demikian clear, jika seorang rohaniwan memberi pelayanan dan mendapatkan uang, itu objek pajak. Apakah serta merta dipajaki? Belum tentu. Ada batasan nominal yg dikecualikan. Pengguna jasa pun tdk semua berhak memotong pajak. Utk hal ini rasanya sdh cukup jelas.
Mudahnya, jika penghasilan kita sdh melampaui PTKP (kira2 Rp 54 jt setahun), silakan mendaftarkan diri agar mendapatkan NPWP. Jika tak ber-NPWP tarif pemotongan lebih gede. Jika penghasilan blm dipotong pajak, di akhir tahun saat isi SPT digunggung dan kita hitung pajaknya.
Inilah esensi pajak: semua sama di hadapan UU. Yang mampu membayar lebih besar, yang tak mampu dibantu. Yang harus dihindari adalah menganggap apa yg diterima sbg bantuan/sumbangan lalu kita perlakukan bukan objek pajak. Sebentar, ada petunjuk teknis yg musti dipahami.
Ada PMK-90/2020 yg memperjelas maksud Ps 4 ay 3 UU PPh.
Bantuan/sumbangan yg bukan objek pajak harus memenuhi syarat diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat (ortu-anak dan sebaliknya), dan tdk ada hubungan usaha/pekerjaan/kepemilikan/penguasaan
Jadi cukup jelas. Hal ini saya sampaikan justru karena saya ingin mengajak semua sadar, peduli, dan patuh pajak, tak terkecuali. Juga agar dipahami bahwa tak sesederhana itu menjadikan pemberian orang lain sbg bantuan/sumbangan. Silakan diterima, tetapi jangan lupa pajaknya.
Bukankah itu rejeki dari Tuhan kok dipajaki? semua rejeki yang kita terima dari Tuhan. Para pekerja, wirausahawan, buruh, tani, nelayan mendapatkan rejeki dari Tuhan atas jerih payah yang dilakukan. Itu juga objek pajak. Justru di sinilah esensi gotong royong yg sejati.
Lalu bagaimana jika ada penghasilan yg sdh saya terima tapi belum saya laporkan pajaknya? Justru di sinilah relevansinya. Ada Program Pengungkapan Sukarela yg memfasilitasi mereka yg ingin jujur melapor. Alih2 diberi sanksi, justru diberi keringanan. Syaratnya jujur selamanya
Kenapa sy menaruh concern? Karena penghasilan itu tampak dari apa yg terlihat: tas mewah, jam tangan mewah, mobil mewah, rumah megah, doyan plesir, tabungan berlimpah. Negara tak membenci orang kaya, tapi mengajak menunaikan kewajibannya. Ini tugas kepublikan.
Jika Anda ingin ikut PPS, ini kesempatan emas. Hanya sampai 30 Juni 2022. Jika tarif pajak normal 30%, Anda cukup bayar 12, 14, atau 18% sesuai kondisi & pilihan. Utk harta lama (sblm 2016) pun ada skema tarif 6, 8, dan 11%. Maka, mari manfaatkan. Pajak Anda, menolong sesama.