Jakarta (parade.id)- Presiden Jokowi baru saja menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat yang mengetahui hal itu langsung memberikan catatan kritisnya.
Pertama, kata dia, tidak adanya pelibatan (dalam proses penerbitan Perppu) resmi kepada serikat pekerja atau serikat buruh. Hal itu pun disayangkan olehnya.
“Pasca pengumuman konstitusi, memang diberikan waktu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kepada pemerintah selama dua tahun, namun pemerintah cerdik sehingga mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022,” ujarnya, lewat pesan singkat kepada parade.id, Jumat (30/12/2022).
Catatan lainnya dari ASPEK Indonesia yaitu agar Perppu itu jangan sama dengan isi UU Ciptaker. Kalau isinya sama, kata Mirah, maka itu sama saja dianggapnya bohong.
“Sebab sudah dinyatakan bahwa UU Ciptaker itu inkonstitusional bersyarat. Maka dari itu catatan penting kami adalah, Perppu yang dimaksud adalah perbaikan yang betul-betul mengakomodir apa yang selama ini disampaikan oleh serikat pekerja serikat buruh di mana di beberapa kluster adanya penolakan-penokan,” tegasnya.
Poin-poin itu di antaranya terkait dengan upah minimum (perhitungannya), kemudian pekerja asing yang sangat-sangat mudah (dalam hal pengajuannya), kemudian kontrak kerja yang terlalu lama (yang bisa dilakukan terus menerus), kemudian juga hilangnya upah minimum sektoral (kabupaten/kota), dan kemudian terlalu banyak yang hilang uang pesangon kita (terlalu besar hilangnya, dari 33 ke 19 gaji).
“Nah itu catatan penting dari serikat pekerja serikat buruh. Tentu harapan kami adalah jangan isi Perppu itu sama dengan isi UU Ciptaker, tidak ada perbaikan sama sekali, hanya dibungkus saja. Misalnya upah minimum,” imbuhnya.
Ia tidak menampik bahwa ia mendapatkan informasi bahwa upah minimum akan diakomodir perhitungannya. Dimana upah minimum itu, yang biasanya memilih salah satu, menggunakan inflasi atau pertumbuhan ekonomi, dalam Perppu sudah diakomodir menggunakan seperti menggunakan PP Nomor 78 Tahun 2015 itu (menggunakan rumus pertumbuhan ekonomi plus inflasi).
Hal lainnya, ia mengaku belum mendengar atau membaca juga terkait kontrak tenaga kerja yang selama lima tahun. Harapan dia tiga tahun, seperti dalam UU 13/2003, bisa diputuskan menjadi karyawan tetap atau di-PHK sesuai dengan kinerja pekerja tersebut selama rentang waktu kontrak.
Hal lainnya yakni terkait UMSK. Itu mesti diadakan atau dikembalikan lagi. Itu penting, katanya, karena untuk membedakan antara perusahaan otomotif dengan perusahaan kerupuk. Jangan sampai menjadi upahnya disamakan.
“Tentu harus ada upah sektoral untuk itu. Jangan disamakan,” pintanya.
Selanjutnya adalah terkait perlu lagi diatur lagi penggunaan tenaga kerja asing. Perlu diperketat lagi. Ia meminta agar soal itu diperbaiki.
(Rob/parade.id)