Jakarta (parade.id)- Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), lewat Presiden Mirah Sumirat meminta Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja (Ciptaker) dibatalkan. Pembatalan itu kata dia demi menjamin hak kesejahteraan rakyat Indonesia dan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum.
“Menggantinya dengan menerbitkan Perppu Pembatalan Omnibus Law UU Ciptaker, serta memberlakukan kembali UU yang ada sebelum adanya UU Ciptaker. Saya menduga, terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini karena Pemerintah dan DPR gagal memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan dalam dua tahun, kemudian justru memaksakan pemberlakuan UU Ciptaker melalui Perppu,” kata dia, dalam keterangannya kepada media, Senin (2/1/2023).
“Ini akal-akalan untuk memaksakan Omnibus Law UU Ciptaker yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi,” sambungnya.
ASPEK Indonesia diakui oleh Mirah telah mempelajari isi salinan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang beredar di masyarakat sejak semalam. Ternyata kata dia isinya hanya copy paste dari isi UU Ciptaker, yang ditolak oleh masyarakat termasuk serikat pekerja.
Kalaupun ada perbedaan redaksi, lanjutnya, ternyata isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 justru semakin tidak jelas dan tidak ada perbaikan sebagaimana yang dituntut oleh serikat pekerja.
“Berbagai hal yang dituntut oleh serikat pekerja, ternyata dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah lagi sehingga Pemerintah bisa seenak-enaknya sendiri menerbitkan Peraturan Pemerintah, yang tentunya hanya akan menguntungkan kelompok pemodal atau investor. Modus seperti ini sudah menjadi rahasia umum, karena sejak awal Omnibus Law UU Ciptaker memang didesain oleh dan untuk kepentingan pemodal, bukan oleh dan untuk kepentingan rakyat,” kecurigaannya.
Ada dua alasan prinsip perlunya Perppu Pembatalan Omnibus Law UU Ciptaker Kerja. Pertama, alasan formil, karena Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 telah memutuskan UU Ciptaker Kerja inkonstitusional bersyarat, dengan kewajiban kepada Pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun, menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta larangan menerbitkan peraturan pelaksana baru sebagai turunan dari UU Ciptaker, sehingga demi memenuhi rasa keadilan masyarakat dan memberikan kepastian hukum sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi maka Pemerintah seharusnya menerbitkan Perppu untuk membatalkan Undang Undang Cipta Kerja, dan mengembalikan berlakunya seluruh UU yang terdampak Omnibus Law.
“Termasuk kembali memberlakukan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta seluruh peraturan turunannya,” paparnya.
Alasan kedua perlunya Perppu Pembatalan Omnibus Law UU Ciptaker, menurut Mirah adalah terkait aspek materiil. Mirah mengungkapkan, dampak buruk Omnibus Law UU Ciptaker, khususnya kluster Ketenagakerjaan, telah membuat pekerja Indonesia semakin miskin. Hal ini karena menurut dia UU Ciptaker telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah dan juga jaminan sosial bagi pekerja Indonesia.
ASPEK Indonesia pun menilai isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tidak mengakomodir tuntutan serikat pekerja. Pertam, karena sistem kerja outsourcing tetap dimungkinkan diperluas tanpa pembatasan jenis pekerjaan yang jelas. Kedua, sistem kerja kontrak tetap dimungkinkan dapat dilakukan seumur hidup, tanpa kepastian status menjadi pekerja tetap.
Ketiga, sistem upah yang tetap murah, karena tidak secara tegas menetapkan upah minimum harus berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak. Keempat, masih hilangnya ketentuan upah minimum sektoral provinsi dan kota/kabupaten. Kelima, tetap dimudahkannya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui Penetapan Pengadilan.
Keenam, berkurangnya kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) pesangon dan penghargaan masa kerja. Dan keenam, memudahan masuknya tenaga kerja asing (TKA), bahkan untuk semua jenis pekerjaan yang sesungguhnya bisa dikerjakan oleh pekerja Indonesia.
“Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 hanya semakin menegaskan bahwa rakyat Indonesia selama ini hanya dijadikan obyek untuk keuntungan pemilik modal, yang memanfaatkan DPR selaku legislatif dan Pemerintah selaku eksekutif,” tandasnya.
(Rob/parade.id)