Jakarta (parade.id)- Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) soal kenaikan upah sebesat 6,5 persen di tahun 2025 dianggap belum menggembirakan kaum buruh. Malah kenaikan yang disampaikan Presiden Prabowo itu masih jauh dari harapan buruh dan tuntutan GSBI.
“Upah Minimum (UM) tahun 2025 secara nasional dalam hitungan GSBI adalah sebesar Rp7,2 juta. Sementara dengan kenaikan sebesar 6,5 persen, UMP DKI Jakarta tahun 2025 hanya menjadi 5,39juta dan Kabupaten Karawang UMK-nya menjadi 5,59juta,” kata Ketum GSBI Rudi HB Daman kepada parade.id, Selasa (3/12/2024).
Kenaikan upah sebesar 6,5 persen ini kata Rudi juga tidak akan berarti apa-apa bagi buruh, apalagi kalau kenaikan PPN 12 persen resmi diberlakukan per Januari 2025. “Ya sudah wassalam,” singkat Rudi.
Ia melanjutkan, belum lagi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang juga biasanya naik dan tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah. “Upah nya buruh tambah tekor lagi,” tekannya.
“Jadi kami menuntut agar Presiden Prabowo membatalkan Kenaikan PPN 12 persen. Lagian juga itu kan kebijakan jahat dan culas sisa rezim Joko Widodo. Menaikan pajak rakyat terus menerus seperti PPN menjadi 12 persen dan mengeruk uang seger dari rakyat seperti Tapera, Asuransi wajib kendaraan bermotor itu menunjukkan ketidakkreatifan dan kebodohan para pejabat negara ini dalam mengatasi defisit APBN yang begitu besar,” tegas Rudi.
Menurut GSBI kata Rudi, masalah kenaikan upah minimum tidak berhenti pada masalah angka persentase kenaikan tetapi juga apa yang akan dilakukan Pemerintah setelah penetapan kenaikan upah minimum oleh Gubernur. “GSBI berharap bahwa pengumuman kenaikan upah minimum tahun 2025 oleh Presiden Prabowo juga diikuti dengan perbaikian ekosistem industri dan ketenagakerjaan yang sudah amburadul,” katanya.
Pertama kata Rudi, kaum buruh bisa menerima kenaikan upah minimum (UM) tahun 2025 ini sebesar 6,5 persen, asal tidak ada penetapan upah minimum padat karya, kalau mau menetapkan upah sektor padat karya yang masuk pada penetapan Upah Minimum Sektoral (UMS). Selanjutnya kata dia, tidak ada penangguhan upah minimum yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan.
“Jika ada penangguhan pun harus seizin resmi dari pemerintah dengan proses yang transparan dan jujur. Dan buruh yang terdampak penangguhan upah harus disubsidi langsung oleh pemerintah (baik pusat/daerah) dari kekurangan upah minimumnya,” paparnya.
Selanjutnya kata Rudi adalah membenahi Pengawas Ketenagakerjaan, dengan cara jumlahnya ditambah dan kualitas, serta kinerjanya juga ditingkatkan, dengan sistem pengawasan, kontrol dan evaluasi yang ketat. Hal ini kata dia, untuk mengawal pelaksanaan upah minimum paska ditetapkan gubernur.
“Bahwa upah minimum yang seharusnya diberikan hanya untuk pekerja dengan masa kerja nol sampai dengan setahun tetapi pada faktanya banyak diberikan kepada pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun. Artinya banyak yang namanya upah minimum tetapi menjadi Upah Maksimum,” ungkap Rudi.
“Demikian juga, masih banyak pengusaha yang membayar upah di bawah ketentuan upah minimum yang berlaku,” imbuhnya.
Langkah lainnya adalah menurutnya memberantas secara serius penyelundupan dan praktik mudahnya Impor yang tidak terkendali. Yaitu harus membasmi dan memberantas penyelundupan dan praktik mudahnya impor yang tidak terkendali sampai ke akarnya, tindak para pelakunya jangan tebang pilih, jebloskan ke penjara dan tinjau aturan yang mempermudahnya impor, dimana impor menjadi tidak terkendali.
“Lihat salah satunya sampai saat ini masih bebasnya impor pakaian ilegal dari China yang membanjiri pasar dalam negeri. Setiap tahunnya tembus sampai dengan 31 persen total pasar tekstil dan produk tekstil di dalam negeri, yang nilainya mencapai 100 triliun. Kalau begini bagaimana industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri bisa hidup?” kata Rudi.
“Tidak terbantahkan lagi, bahwa Indonesia adalah surga bagi negara-negara eksportir karena begitu mudahnya mengimpor barang ke Indonesia,” imbuhnya.
(Rob/parade.id)