Jakarta (parade.id)- Di tengah skeptisisme publik terhadap partai politik yang ada, Partai Gerakan Perubahan resmi berdiri dengan mengusung narasi yang mengejutkan: mengkritik tajam sistem kepartaian Indonesia yang dinilai sebagai “hama bagi bangsa” dan sumber korupsi sistemik.
Dalam pidato penandatanganan akta notaris pendirian partai di Rumah Perwakilan Rakyat – Administratur Politik Nasional, Ketua Umum Agung Mozin menyampaikan diagnosis yang keras terhadap sistem politik Indonesia kontemporer.
Analogi Feudalisme Politik
Mozin menggambarkan struktur partai politik saat ini dengan analogi yang provokatif: “Jika ketua partai adalah para tuan tanah, maka anggota DPR adalah petani penggarap.” Menurutnya, sistem feudalisme modern inilah yang merawat praktik korupsi di Indonesia.
“Kalau dulu tuan tanah membagi-bagikan tanah, hari ini ketua partai membagi-bagikan jabatan,” ujar Mozin di hadapan 99 pendiri dari 38 provinsi, Senin (28/10/2025) di DPP Partai Gerakan Perubahan, Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat. Ia menambahkan bahwa APBD-APBN yang dulu dikorupsi segelintir orang di era Orde Baru, kini ditambah beban baru: partai politik sebagai variabel korupsi.
Kritik terhadap Mimpi Reformasi
Mozin menarik refleksi sejarah reformasi 1998 yang menurutnya telah melenceng dari cita-cita awal. “Kita berkumpul waktu itu—bahkan ada yang mati—atas nama demokrasi,” katanya, menyiratkan kekecewaan terhadap hasil reformasi yang tidak sesuai harapan.
Pernyataan ini menjadi ironi tersendiri: partai baru yang lahir justru dengan mengkritik keras eksistensi partai-partai yang ada, termasuk yang lahir dari rahim reformasi itu sendiri.
Solusi: Kontrol dari Bawah
Sebagai solusi, Partai Gerakan Perubahan mengklaim telah merumuskan mekanisme kontrol demokratis dalam AD/ART mereka. “Orang yang ada di Papua bisa memberhentikan Ketua Umum,” klaim Mozin, merujuk pada Pasal 2.1.1.2 yang disebutnya sebagai inovasi sistem kontrol partai.
Namun, Mozin sendiri mengaku tidak memahami detail mekanisme tersebut dan menyerahkan penjelasan kepada rekannya, Derwanto, yang menimbulkan pertanyaan: apakah ketua umum memahami sistem yang dijanjikannya?
Pertanyaan Publik
Kelahiran partai ini mengundang pertanyaan kritis: Jika partai politik adalah “hama” seperti yang disampaikan Mozin, bukankah pembentukan partai baru justru menambah “hama” tersebut?
Dengan 99 pendiri dari berbagai generasi (36,4% Baby Boomers, 39,4% Generasi X, 21,2% Milenial, 3% Gen Z) dan hanya 30% keterwakilan perempuan, partai ini kini menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa mereka berbeda dari partai-partai yang dikritiknya.
Partai Gerakan Perubahan mengusung semboyan “Satu Gerakan Hari Ini, Sejuta Perubahan di Hari Esok” dan berjanji menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, bukan modal. Namun, publik tentu menunggu bukti konkret di lapangan, bukan sekadar janji-janji politik yang sudah terlalu sering didengar.*







