Jakarta (PARADE.ID)- Mantan Ketum PP Muhammadiyah, Prof. Amien Rais mengatakan bahwa perkembangan kehidupan politik, sosial, ekonomi, penegakkan hukum serta kehidupan moral bangsa terus mengalami kemerosotan. Padahal, kata dia, kehidupan yang tidak memiliki pijakan kokoh di atas akhlak atau moralitas, atau etika dapat dipastikan akan meluncur ke bawah.
Tidak mustahil pula proses kemerosotan multi-dimensional itu membuat semakin redup kehidupan bangsa kita. Menjadikan bangsa ini seolah tanpa masa depan.
Ia pun menyampaikan beberapa yang dianggapnya masalah nasional, yang semakin memprihatinkan.
Pertama, menurut Amien, bangsa Indonesia dibelah. Dan dikatakan olehnya, sejak Jokowi jadi Presiden pada periode pertama (2014/2019) dan diteruskan pada periode kedua, sampai sekarang perkembang politik nasional bukan semakin demokratis, tetapi malahan kian jauh dari spirit demokrasi.
“Tidak berlebihan bila dikatakan hasil pembangunan politik di masa Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kecurigaan dan ketakutannya terhadap umat Islam yang bersikap kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas kita rasakan,” kata dia, kemarin, di akun IG-nya.
Kriminalisasi dan demonisasi, dan persekusi terhadap para ulama beramar makruf bernahi mungkar pun dianggapnya telah menjadi rahasia umum.
“Sebagai presiden, Jokowi harusnya berpikir, bekerja, dan terus berusaha supaya tidak jadi pemimpin partisan: membela sekitar separuh anak bangsa dan menjauhi, bahkan keliatan memusuhi sekitar separuh anak bangsa lainnya,” kata dia.
“Politik partisan semacam ini tidak bisa tidak, cepat atau lambat membelah bangsa Indonesia,” sambungnya.
Tidak boleh, lanjut beliau, seorang Presiden terjebak pada mentalitas “koncoisme”.
“Sekeping contoh bisa dikemukakan tatkala jutaan umat Islam berunjuk rasa secara damai, tertib, bersih, dan bertanggung jawab pada tanggal 4 Nopember 2016. Tiga orang utusan mereka ingin bertemu dengan Jokowi. Tetapi ditunggu dari pagi sampai larut senja, Jokowi di hari itu seharian meninggalkan istana. Alasannya, ada satu urusan teknis harus diselesaikan di bandara Sukarno-Hatta,” kenangnya.
Sampai sekarang penyakit politik bernama pastisanship dirasakan olehnya tetap menjadi pegangan resmi Jokowi dalam menghadapi umat yang kritis terhadap kekuasaannya.
“Para buzzer bayaran dan juga para jubir istana di berbagai diskusi atau acara di banyak stasiun televisi semakin menambah kecurigaan banyak kalangan terhadap politik Jokowi yang berensi politik belah bambu, menginjak sebagian dan mengangkat sebagian yang lain,” sindir mantan Ketua MPR itu.
(Robi/PARADE.ID)