Surabaya (PARADE.ID)- Sekitar 150-an orang massa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dari Surabaya, Malang dan Bali bersama Front Rakyat Indonesia untuk west Papua (FRI-WP) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi, Jalan Gubernur Suryo Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur, Selasa (1/12/2020). Aksi tersebut digelar dalam rangka memperingati 59 tahun manifesto rakyat West Papua.
Dari pantauan parade.id, massa aksi yang dipimpin oleh Jerry dan Jones serta penanggung jawab Yoab Orlando (AMP KKS) berkumpul di Monkasel, Jalan Pemuda Kota Surabaya pada pukul 09.15 WIB. Selanjutnya massa aksi melakukan long march menuju Gedung Negara Grahadi sambil membawa bendera organisasi AMMP dan FRI WP, poster bendera Bintang Kejora serta spanduk yang bertuliskan Tolak Otsus Jilid II, cabut Omnibus Law, tarik militer dari tanah Papua, tolak Otonomi di West Papua, Papua bukan Merah Putih, Referendum West Papua, bebaskan semua tahanan politik, berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis, buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua, setop operasi di tanah Papua, Pendeta Yerenias dibunuh TNI, usut tuntas dan adili pelaku pembunuh pendeta serta tutup PT. Freeport.
”Kebahagiaan orang Papua hari ini turun ke jalan untuk melakukan perjuangan di antara penindasan di negara ini. Kami menyampaikan kepada rakyat Indonesia, kolonialisme Indonesia betapa pentingnya kemanusiaan orang Papua”, demikian orator aksi.
Anindya (Front Mahasiswa Nasional Kota Surabaya) dalam orasinya menyampaikan bahwa teriakan rasis yang ditujukan kepada kawan-kawan adalah diskriminasi yang seolah-olah rakyat Papua tidak boleh pintar.
”Komentar hinaan dari seluruh rakyat Indonesia di media sosial itulah yang membuat saya ikut campur dan berani dalam membantu kawan-kawan Papua untuk menyuarakan kemerdekaan”, ujarnya.
Menurutnya, sebagai perempuan Indonesia saya juga merasakan bagaimana perempuan Papua yang diperkosa secara paksa dan ditindas oleh aparat di tanah Papua. Aparat TNI dan Polri yang sering melakukan penindasan serta kekerasan kepada rakyat Papua itulah yang membuat kami akan lebih berani untuk melawan.
Peserta aksi lainnya juga menyampaikan bahwa 1 Desember 1961, sejarah mencatat bahwa telah merdeka suatu negara yang bernama Papua Barat. Tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari karena pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Indonesia Ir. Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) yang pada intinya adalah menggagalkan kemerdekaan itu dan upaya menganeksasi wilayah Papua ke NKRI.
Kemudian lebih lanjut, dengan perjanjian New York Agreeman tanggal 15 Agustus 1962, yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda yang melibatkan Amerika sebagai penengah terkait sengketa wilayah Papua.
”Perjanjian New York adalah peristiwa yang sarat kepentingan imperialis dan kolonial (Belanda maupun Indonesia yang kemudian menjadi kolonial baru) dan perjanjian itu bermasalah, karena dilakukan tanpa melibatkan rakyat West Papua. Padahal, perjanjian tersebut berhubungan dengan keberlangsungan hidup dan masa depan Papua”, katanya.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi wilayah West Papua pada Pemerintah Indonesia. Setelah transfer administrasi, Indonesia bertanggung jawab mempersiapkan pelaksanaan pembangunan di West Papua dan terutama penentuan nasib melalui referendum sesuai amanah kesepakatan dalam Perjanjian New York.
Pada tanggal 7 april 1967, Freeport sebagai perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani kontrak pertamanya dengan Pemerintah Indonesia. Sementara PEPERA sebagai pengejawantahan referendum yang juga bermasalah itu baru digelar dua tahun setelahnya.
Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dilaksanakan tidak sesuai dengan prinsip Perjanjian New York Agreeman yaitu One Man One Vote yang pada praktiknya tidak demokratis. Di mana hanya 1.026 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dibawa tekanan todongan senjata, intimidasi dan teror untuk memilih integrasi ke NKRI.
Sehingga hanya 175 orang yang memberikan pendapat dari kurang lebih 800.000 orang Papua yang memiliki hak suara saat itu.
Kemudian, kebijakan Negara melalui UU Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, tidak ada perlakuan khusus yang bisa didapatkan oleh rakyat Papua. Apa yang tampak khusus tak lain hanyalah pengiriman pasukan militer secara besar-besaran ke tanah West Papua.
Kenyataannya, Otsus tidak bisa memproteksi masyarakat Adat West Papua dari perampasan tanah untuk kepentingan investasi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menjadi amanah dalam undang-undang Otsus tidak pernah dijalankan, tidak ada upaya untuk mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
“Kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua mengajak rekan-rekan sekalian untuk terlibat dalam memperingati 59 tahun Manifesto Politik Bangsa West Papua.”
Selesai menyampaikan orasi, aktivis dari mahasiswa pembebasan/FRI WP melakukan aksi tratikal dengan menutup mata dan tangan terikat, yang menggambarkan penindasan rakyat Papua. Selanjutnya aksi dilanjutkan dengan orasi bergantian yang intinya menuntut hak menentukan nasib sendiri, tolak otsus jilid II dan tarik TNI dan Polri dari tanah Papua.
(Verry/PARADE.ID)