Jakarta (PARADE.ID)- Ekonomi Singapura sudah memasuki fase resesi karena dua triwulan berturut-turut mengalami kontraksi alias pertumbuhan produk domestik bruro (PDB) negatif. Pada triwulan kedua (April-Juni) 20202 pertumbuhan PDB Singapura terjun bebas, memecahkan rekor baru, merosot 41,2 persen dibandingkan triwulan I-2020. Sektor konstruksi yang menjadi andalan Singapura praktis tak bergerak akibat menciut (kontraksi) sebesar 95,6 persen. Jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun lalu (year-on year) kemerosotan ekonomi Singapura hanya 12,6 persen. Walaupun lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan (quarter-to quarter), kemerostan dua digit itu tetap saja mencerminkan kemerosotan yang cukup dalam.
Apakah Indonesia bakal mengalami derita sangat dalam seperti Singapura? Insya Allah tidak. Peranan sektor kontruksi dalam PDB Indonesia jauh lebih kecil ketimbang Singapura, hanya 10,75 persen.
Yang juga sangat kontras adalah peranan ekspor barang dan jasa dalam PDB di Singapura sangat tinggi, bahkan juah lebih besar dari PDB, yaitu 174 persen. Mengapa ekspor lebih besar dari PDB, padahal ekspor adalah salah satu komponen dari PDB? Karena Singapura adalah negara transhipment dan menjadi hub dari negara-negara tetangganya termasuk Indonesia.
Tidak lengkap kalau hanya menggunakan data ekspor. Kita harus membandingkannya dengan data impor. Kalau impor turun proporsional dengan ekspor, efek netonya nol. Tapi untuk kasus Singapura porsi impor dalam PDB –walaupun juga tinggi–lebih rendah dari porsi impor, yaitu 146 persen. Jadi efek netonya negatif terhadap pertumbuhan.
Indonesia beruntung. Peranan ekspor barang dan jasa relatif rendah dan jauh lebih rendah dari Singapura, hanya 18,4 persen. Sementara itu, peranan impor hampir sama dengan peranan ekspor, yaitu 18,9 persen. Kebetulan juga impor merosot lebih dalam dari impor. Jadi kemerosotan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) justru positif buat pertumbuhan ekonomi sehingga memberikan sumbangsih dalam meredam kemerosotan pertumbuhan.
China adalah salah satu dari segelintir negara yang sejauh ini belum tersentuh oleh resesi, padahal negeri ini adalah yang pertama mengalami hantaman coronavirus yang sempat memopakporandakan global supply chains. Padahal China adalah pengekspor terbesar di dunia dan pengimpor terbesar kedua di dunia. Sedemikian hebatnya China dalam perdagangan dunia, namun peranan ekspor dan impor dalam PDB-nya relatif sangat kecil. Ekspor hanya menyumbang 18,4 persen (persis sama dengan Indonesia) dan impor 17,3 persen. Yang membedakan, ekspor neto China masih positif sedangkan eskpor neto Indonesia negatif (porsi impor lebih tinggi dari porsi ekspor).
Beberapa negara tetangga dekat kita di ASEAN lebih terpukul ketimbang Indonesia. Malaysia dan Thailand, misalnya, diprediksi mengalami kontraksi karena peranan perdagangan luar negerinya relatif tinggi dan jauh lebih tinggi dari Indonesia tetapi jauh lebih rendah dari Singapura. Peranan ekspor dan impor di Malaysia masing-masing 65 peren dan 58 persen; sedangkan di Thailand 60 persen dan 51 persen. Vietnam, meskipun peranan ekspor dan impornya tiga digit (di atas 100 persen), diperkirakan terhindar dari resesi atau masih bisa tumbuh positif karena ditopang oleh investasi yang tidak anjlok tajam dan konsumsi rumah tangga serta konsumsi pemerintah yang masih tumbuh positif.
Trasksi perdagangan Indonesia selalu terbantu jika dunia mengalami resesi maupun tatkala perekonomian Indonesia mengalami tekanan berat. Bahkan membuat current accountberbalik menjadi surplus seperti pascakrisis 1998. Sayang Indonesia tak kunjung belajar dari krisis-krisis sebelumnya, tak bisa mempertahankan surplus akun lancar ini.
Jadi, tumpuan Indonesia agar terhindar dari krisis lebih dalam adalah belanja pemerintah dan menahan laju penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan penopang utama perekonomian dengan sumbangan dalam PDB sebesar 57 persen. Investasi yang merupakan penyumbang terbesar kedua tidak bisa diandalkan karena dunia usaha fokus mempertahankan produksi yang ada. Berbagai macam bantuan kepada masyarakat yang rentan dari dampak COVID-19 berupa bantuan langsung tunai, Program Keluarga Harapan (PKH) yang yang dinaikkan nilai bantuannya dan diperluas jumlah penerimanya serta paket bantuan lainnya sungguh sangat membantu menopang daya beli masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif pada triwulan I-2020. Hampir bisa dipastikan pada triwulan II-2020 akan mengalami kontraksi. Kalau COVID-19 bisa segera dijinakkan, kita berpeluang tidak mengalami resesi karena pertumbuhan triwulan III-2020 masih ada kemungkinan positif kembali. Namun, separah-parahnya tekanan yang bakal kita hadapi, agaknya resesi tidak akan sedalam Singapura dan beberapa negara tetangga. Masih ada waktu menyiapkan beragam amunisi.
[Catatan: semua data adalah untuk tahun 2019, kecuali dinyatakan lain.]
*Ekonom Faisal Basri