Jakarta (parade.id)- Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengkritik kondisi perekonomian nasional yang disebut hanya menguntungkan segelintir elite, meski pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2 persen pada 2025. Pertumbuhan itu, dinilai belum dirasakan langsung rakyat kecil.
Ketua Umum (Ketum) DPP GMNI Sujahri Somar menganalogikan situasi ini sebagai ketidakadilan struktural.
“Ketidakadilan tidak lahir secara alamiah, melainkan dipelihara oleh sistem yang timpang,” ujar Sujari, saat berdemonstrasi di Jakarta, Rabu (3/9/2025).
Dalam aksi dengan tema “Runtuhkan Ketidakadilan Struktural, Wujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, GMNI mempertanyakan relevansi angka pertumbuhan ekonomi yang tidak dirasakan langsung oleh rakyat kecil.
Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), Sujahri menunjukkan realitas yang kontras antara kesejahteraan rakyat dengan angka pertumbuhan ekonomi. Data membuktikan, pekerja informal masih mendominasi dengan persentase 59,40 persen.
“Kemudian kesejahteraan buruh terus tergerus praktik outsourcing yang belum dihapus meski telah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.
Senada, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP GMNI Amir Mahfut mempertanyakan makna pertumbuhan ekonomi yang tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat.
“Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika rakyat masih lapar, petani tercekik utang, guru honorer bergaji ratusan ribu, dan buruh dipaksa hidup dengan upah yang tidak manusiawi?” kritiknya.
GMNI juga menyoroti kontras mencolok antara kemewahan elite dengan penderitaan rakyat. Organisasi mahasiswa ini mengkritik penambahan fasilitas mewah DPR di tengah kenaikan harga pangan yang membelit masyarakat.
Fenomena pejabat yang memamerkan kekayaan, lemahnya empati terhadap penderitaan rakyat, hingga maraknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dinilai sebagai bukti kekuasaan yang semakin menjauh dari rakyat.
“Bagaimana mungkin kita bicara Indonesia Emas 2045 jika guru masih lapar, sekolah masih roboh, dan rakyat kecil masih diperlakukan sebagai warga kelas dua?” tegasnya.
Sang Sekjen juga mendorong Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera meruntuhkan ketidakadilan struktural ekonomi dan mengembalikannya kepada prinsip ekonomi Pancasila.
“GMNI menegaskan bahwa negara harus meruntuhkan ketidakadilan struktur sosial dan mengembalikannya pada prinsip sosialisme Indonesia, serta mereformasi struktur hukum dan politik menuju demokrasi konstitusional yang sejati,” sebutnya.
Dirincikannya, di aksi ini GMNI menyuarakan tiga sikap atas aksi massa yang berujung amuk massa yang terjadi pada 25-31 Agustus 2025, di Jakarta dan sejumlah daerah di Tanah Air.
Pertama, meski mengkritik keras Pemerintah, GMNI menegaskan penolakannya terhadap gerakan anarkisme dalam aksi mahasiswa. Organisasi ini menghimbau semua elemen gerakan untuk menjaga keamanan dan memastikan demonstrasi sesuai aturan yang berlaku.
Kedua, GMNI juga mewanti-wanti agar gerakan mahasiswa tidak ditunggangi kelompok tertentu untuk kepentingan politik, melainkan benar-benar menyuarakan aspirasi masyarakat Indonesia terhadap Pemerintah.
Ketiga, dengan tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, GMNI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kebijakan pro-rakyat dan menolak segala bentuk tindakan anarkisme dalam perjuangan mewujudkan keadilan sosial.*