Jakarta (parade.id)- Hari ini, Rabu (19/10/2022), Kopi Party Movement mengadakan diskusi publik dengan tema “Habis Sambo dan Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan, Terbitlah Teddy: Quo Vadis Reformasi Total Polri?” di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Hadir beberapa pembicara dalam diskusi itu, di antaranya Mantan Kepala BAIS TNI Soleman B Ponto, Praktisi Hukum Kamaruddin Simanjuntak (virtual) , Direktur Eksekutif LOKATARU Haris Azhar (virtual), Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, Mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji (virtual), serta Pengamat sosial dan kepolisian Sidra Tahta.
Pembicara pertama diberikan kepada Mantan Kepala BAIS TNI, Soleman B Ponto. Dalam paparannya terkait tema, ia menyinggung sistem yang menyangkut Polri.
Menurut dia, sistem yang menyangkut Polri saat ini mesti direvisi. Misal, supaya Polri tidak berlaku seperti tentara.
Ia memberikan contoh kasus terkait itu, di mana kasus kematian Brigadir J salah satunya, yang kini menjadi tersangka (Bharade E) karena adanya perintah atasan sehingga ia melaksanakannya.
“Di pengadilan, Bharade E meminta maaf karena sebagai bawahan, ia tak bisa membantah (menolak) saat diperintahkan oleh atasan. Ini seperti militer. Harusnya, contoh, jika ada sebuah perintah keluar rumah dari atap maka ia bisa membantah (menolak), untuk keluar lewat pintu,” analoginya.
Apabila sistem ini diubah atau diganti, kita, kata dia, akan mendapatkan (wajah) polisi Indonesia yang sebenarnya, mengayomi masyarakat. Bukan seperti sekarang (terkesan militer), karena polisi adalah temannya masyarakat: jangan disamakan dengan militer (sistemnya).
“Masalahnya polisi sekarang itu, siapa yang bagus dan siapa yang baik belum tentu terlihat bagus. Apa standarnya? Tidak ada,” kata dia.
Maka, ke depannya, harapannya Polri kita sesuai dengan kultur bangsa. Sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia, mengerti tentang perasaan orang, dan jangan menyamakan (sistemnya) dengan militer.
Sementara itu, Praktisi Hukum Kamaruddin Simanjuntak menyoroti rekrutmen polisi. Menurut dia, soal rekrutmen ini perlu dibenahi.
Hal lain yang ia sorot adalah soal gaji polisi, yang dinilainya sangat kecil. Soal ini, agar kepolisian kita ke depannya (dengan gaji yang cukup), tidak mengabdi kepada selain presiden ataupun negara.
“Kalau gaji kecil maka akibatnya mereka semua tidak mengabdi kepada pada negara. Mereka malah mengabdi kepada mafia. Maka jangan kaget kalau ada di antara mereka lebih kaya daripada pengusaha,” ungkapnya.
Aktivis HAM yang juga Direktur Eksekutif LOKATARU Haris Azhar menyoroti soal wewenang kepolisian. Dalam pandangannya, soal wewenang, polisi tampak seperti kembali ke kondisi lalu.
Dimana ada kondisi aparat unjuk kekuatan (memobilisasi). Juga adanya indikasi peran kepolisian dari selain bidangnya, seperti adanya dugaan (memiliki) kepentingan bisnis.
“Walau kondisi itu tidak persis seperti sekarang. Tidak banyak seperti yang lalu,” kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis juga turut menyinggung sistem kepolisian saat ini. Ia memberikan contoh adanya Satgasus, di mana tercipta tanpa adanya pengetahuan atau persetujuan dari DPR maupun pemerintah.
“Itu kan dibikin sendiri. Kemudian dibuat keputusan sendiri. Dan dilaksanakan sendiri. Saya khawatir, jangan-jangan di tahun ini (2022-2024) akan muncul lagi seperti itu, karena mereka kan tinggal membuatnya,” katanya.
Mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji sebaliknya, tampak masih optimis dengan adanya (peran) kepolisian, walau belakangan banyak masalah yang datang. Kata dia, terpenting, kita, sebagai masyarakat jangan pernah lelah untuk mengkritik Polri.
Polri juga jangan anti terhadap kritik yang dilontarkan oleh banyak masyarakat. Itu tanda masyarakat masih cinta kepada Polri.
“Pahami, bahwa kritik itu bukan benci. Justru kita sangat sayang kepada Polri. Sejak dunia ini ada hingga kiamat, tidak mungkin kita tiadakan Polri (polisi), karena kita memerlukannya,” katanya.
Jadi kata dia, sekaligus mengimbau kepada aparat kepolisian untuk berbenah. Berubah. Belum begitu terlambat kata dia merespon perubahan: terima kritikan.
Jangan melihat siapa yang mengkritik, melainkan lihat isi dari kritikan itu.
Pembicara terakhir adalah Pengamat sosial dan kepolisian Sidra Tahta. Ia menyinggung posisi Polri yang di bawah Presiden.
Menurut dia, posisi Polri saat ini telah menjadi pemicu. Memiliki keanehan, karena berlebihan dalam fungsi sesungguhnya (misal berkaitan dengan pengawasan publik).
“Jangan diborong sehingga ia (Polri) mengawasi dirinya sendiri, misal adanya Kompolnas. Itu kan strategic partner-nya,” kata dia.
Acara diskusi selesai pada sore hari. Diikuti oleh puluhan audiens. Selain pemaparan dari pembiccara, juga ada sesi tanya jawab terkait tema diskusi.
(Rob/parade.id)