Jakarta (PARADE.ID)- Gelombang gagal bayar dari perusahaan-perusahaan Indonesia mulai jadi perhatian. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings ikut menyoroti masalah yang sedang terjadi di industri keuangan tanah air.
Dalam riset terbarunya, beberapa waktu lalu Fitch menyebut, risiko gagal bayar justru banyak terjadi di industri keuangan non bank (IKNB).
“Kegagalan terkait tata kelola telah menghasilkan kerugian hingga USD3,5 miliar bagi investor sejak 2018,” tulis Fitch.
“Serangkaian kasus gagal bayar baru-baru ini akibat kegagalan tata kelola perusahaan di industri keuangan di Indonesia,” tulis Fitch Ratings, dikutip Senin (6/7/2020).
Kegagalan akibat tata kelola perusahaan yang kurang baik ini menyebabkan kerugian hingga USD 3,5 miliar bagi investor sejak 2018. Kondisi ini, turut diperparah dengan dampak pandemi Covid-19 yang mengguncang perekonomian nasional, sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal bayar.
Fitch mencatat, beberapa kasus gagal bayar datang dari industri keuangan non bank karena Fitch meyakini, industri ini tidak diatur secara ketat seperti sektor perbankan meskipun ada beberapa penguatan regulasi dan pengawasan dalam beberapa tahun terakhir.
Beberapa kasus yang mencuat dan jadi sorotan publik antara lain, kasus dugaan korupsi perusahaan asuransi milik negara PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang gagal bayar pada Oktober 2018 dengan perkiraan simpanan sebesar US$ 1,2 miliar.
Ini terjadi tak lama setelah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan, perusahaan pembiayaan yang dituduh melaporkan piutang fiktif dan gagal membayar utang dengan total sekitar US$ 300 juta.
Tak hanya itu, kasus gagal bayar juga menerpa Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta (Koperasi Indosurya) sebesar US$ 1 miliar. “Kami melihat IKNB yang lebih kecil dan dimiliki swasta lebih rentan terhadap penyimpangan tata kelola daripada entitas yang lebih besar dan terdaftar yang biasanya akan menarik perhatian lebih besar,” tulis Fitch.
Selain gagal bayar dalam bentuk investasi. Gagal bayar utang juga mulai dialami perusahaan-perusahaan Indonesia.
Emiten peritel ponsel dan voucher PT Tiphone Mobile Indonesia bk (TELE) bersama dengan empat anak usahanya resmi berada dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara setelah perusahaan mengalami gagal bayar atas utang baik utang obligasi maupun utang bank sindikasi.
Nilai total utang gagal bayar itu mencapai Rp 3,23 triliun untuk nilai pokok. Sementara itu nilai bunga untuk rupiah dari utang obligasi dan sindikasi mencapai Rp 72,16 miliar, ditambah dengan nilai bunga untuk mata uang dolar AS (US$ 1,68 juta) setara dengan Rp 23,56 miliar, maka nilai total bunga yakni Rp 95,72 miliar.
Dengan demikian, jika pokok ditambah nilai bunga maka total mencapai Rp 3,33 triliun. Perseroan telah menyampaikan keterbukaan informasi sehubungan dengan utang gagal bayar pada 22 Juni 2020. Adapun alasan keterlambatan dikarenakan pembuatan surat jawaban tersebut membutuhkan diskusi dari beberapa pihak manajemen terkait.
Selain Tiphone, Modernland Realty juga menyampaikan penundaan pembayaran obligasi dengan nilai pokok Rp 150 miliar yang seharusnya jatuh tempo pada hari ini, Selasa, 7 Juli 2020.
Mengacu pengumuman yang disampaikan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), perseroan akan melaksanakan Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) yang salah satu agendanya membahas tanggal pelunasan
Obligasi Berkelanjutan I Modernland Realty Tahap I Tahun 2015 seri B. Obligasi itu memiliki tenor lima tahun dengan tingkat kupon 12,5 persen per tahun.
Situasi ekonomi Indonesia memang sedang mengalami tekanan akibat dampak covid-19. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan beberapa kali berbicara mengenai krisis ekonomi dan kesehatan yang dialami Indonesia, akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Terakhir kali Jokowi berbicara soal krisis ekonomi dan kesehatan, saat memberikan pengarahan untuk penanganan Covid-19 terintegrasi di Provinsi Jawa Tengah, Semarang, yang disiarkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (30/6/2020).
“Saya titip yang kita hadapi ini bukan urusan krisis kesehatan saja, tapi juga masalah ekonomi. Krisis ekonomi,” tegas Jokowi.
Jokowi menjelaskan soal krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini. Suplai barang dan produksi sudah mulai terganggu. Hal ini pada akhirnya membuat aktivitas perekonomian lumpuh total.
“Pada kuartal pertama kita masih bisa tumbuh keadaan normal di atas normal. Tapi kuartal I kemarin kita (ekonomi) tumbuh 2,97%. Tapi di kuartal II kita sangat khawatir kita sudah berada pada posisi minus pertumbuhan ekonomi kita,” katanya.
Jokowi lantas menjelaskan konsep rem dan gas dalam upaya mengendalikan Covid-19 sekaligus menjaga perekonomian. Menurutnya, kedua hal tersebut mau tidak mau harus dilakukan.
“Ekonomi bagus tapi Covid naik. Bukan itu yang kita inginkan. Covid terkendali, tapi ekonomi juga tidak mengganggu kesejahteraan masyarakat. Tapi ini bukan barang yang mudah. Semua negara alami,” katanya.
“Oleh sebab itu, kalau kita bisa atur dan kelola gas dan rem antara Covid, antara kesehatan dan ekonomi, inilah yang kita harapkan. Dan ini menjadi tanggung jawab kita semua,” tegasnya.
(cnbcindonesia/PARADE.ID)